Urgensi Pendidikan Karakter
Pemasalahan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan
di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan
tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat.
Pendidikan karakter merupakan perpaduan yang seimbang diantara empat
hal yaitu, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah hati bermakna
berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir, cerdas yang selalu merasa
membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita luhur, dan olah
raga maknanya menjaga kesehatan seraya menggapai cita-cita tersebut.
Dengan memadukan secara seimbang keempat anasir kepribadian itu, peserta didik akan mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan
karakter.
Banyak yang beranggapan kesuksesan seseorang banyak ditentukan oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. Sesungguhnya tidaklah benar bila
ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis semata, tetapi lebih dominan
ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan
orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard
skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter sangat penting
untuk dikembangkan.
Berbicara masalah pendidikan karakter, tentu tidak terlepas dari pengertian
karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Sang Penciptaa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil.
Dalam konteks
keindonesiaan, penerapan pendidikan
karakter merupakan kebutuhan yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi.
Para putra
putri bangsa telah
banyak pemborong
medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional. Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bagian
implementasi pendidikan karakter. Namun di sisi lain,
kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi
pornografi, kasus narkoba, plagiatisme dalam ujian, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah media. Bukan hanya
terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi
pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademis,
pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.
Realitas mencengangkan tersebut dapat
dianalogikan sebagai sebuah tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders
dan pendidik yang tadinya diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing
madya mangun karsa, dan tut wuri handayani,
malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri, murid
kencing berlari.
"Ketidaksehatan"
lingkungan pendidikan inilah yang akhirnya mendorong munculnya tren homeschooling
dan pendidikan virtual. Model pendidikan baru ini kian membuat sistem
pendidikan formal tersisih. Tak sedikit keluarga peserta didik yang lantas
mengalihkan anaknya untuk mengikuti program homeschooling karena
khawatir akan pengaruh lingkungan sekolah yang tak lagi ‘steril’. Penyebab
lain, tak jarang peserta didik mengalami tekanan psikologis di sekolah
non-virtual disebabkan interaksi dengan guru yang terlalu kaku dan otoriter,
plus tekanan pergaulan antarsiswa. Naasnya, pendidikan virtual bukannya
memberikan solusi, malah membuat peserta didik semakin tercabut dari
persinggungan realitas sosialnya.
Berbagai fenomena di
atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang. Dalam hal ini, kurikulum
sebagai standar pedoman pembelajaran belum sepenuhnya mengejawantahkan tujuan
utama pendidikan itu sendiri, yaitu membentuk generasi cerdas komprehensif. Oleh
karena itu, diperlukan reformasi pendidikan, demi memulihkan kesenjangan antara
kualitas intelektual dengan nilai-nilai moral etika, budaya dan karakter.
Proses pendidikan di
samping sebagai transfer pengetahuan—seharusnya
menjadi alat transformasi nilai-nilai moral dan character building..
Semakin terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana jalan
yang benar dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan kualitas akademis
yang didapatkan tidak disalahgunakan.
Pendidikan karakter
berupaya menjawab berbagai problema pendidikan dewasa ini. Pendidikan tersebut adalah sebuah konsep pendidikan
integratif yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif
peserta didik semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran
baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus
dan RPP dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan mengambangkan pembelajaran
kontekstual.