a.
Pengertian observasi/pengamatan (Observation)
Menurut Kartono (1980: 142)
pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan
pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah:
“mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-elemen
tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola
kulturil tertentu”.
Observasi dapat menjadi teknik
pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Diabdikan pada pola dan tujuan
penelitian yang sudah ditetapkan.
2)
Direncanakan dan dilaksanakan
secara sistematis, dan tidak secara kebetulan (accidental) saja.
3)
Dicatat secara sistematis dan
dikaitkan dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak karena didorong
oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4)
Validitas, reliabilitas dan
ketelitiannya dicek dan dikontrol seperti pada data ilmiah lainnya (Jehoda, M.
dkk, 1959 dalam Kartono 1980: 142).
Catatan penulis: Untuk nomor 4) istilah validitas dan reliabilitas dalam penelitian
kualitatif tidak biasa digunakan, istilah yang biasa digunakan untuk
menggantikan kedua istilah tersebut adalah kredibilitas.
Poerwandari tidak memberikan batasan
tentang observasi tetapi memberikan penjelasan tentang observasi sebagai
berikut: “Observasi barangkali menjadi metode yang paling dasar dan paling tua
di bidang psikologi, karena dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat
dalam proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif
maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi
diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”.
Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat
fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena
tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental)
maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan penulis: Observasi yang dilakukan dalam laboratorium dalam konteks
eksperimental itu adalah observasi dalam rangka penelitian kuantitatif.
Observasi dalam rangka penelitian kualitatif harus dalam konteks alamiah (naturalistik).
Patton (1990: 201 dalam Poerwandari,
1998: 63) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam
penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memberikan
data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus
dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta
telah mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak memberikan batasan
tentang observasi, tetapi menguraikan beberapa pokok persoalan dalam membahas
observasi, diantaranya: a) alasan pemanfaatan pengamatan, b) macam-macam
pengamatan dan derajat peranan pengamat (Moleong, 2001: 125).
a) Manfaat
Pengamatan
Menurut Guba dan Lincoln (1981: 191 – 193 dalam Moleong 2001:
125-126) alasan-alasan pengamatan (observasi) dimanfaatkan sebesar-besarnya
dalam penelitian kualitatif, intinya karena:
1)
Pengamatan merupakan pengalaman
langsung, dan pengalaman langsung dinilai merupakan alat yang ampuh untuk
memperoleh kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh kurang meyakinkan, maka
peneliti dapat melakukan pengamatan sendiri secara langsung untuk mengecek
kebenaran informasi tersebut.
2)
Dengan pengamatan dimungkinkan
melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Pengamatan memungkinkan
peneliti mencatat peristiwa yang berkaitan dengan pengetahuan yang relevan
maupun pengetahuan yang diperoleh dari data.
4)
Sering terjadi keragu-raguan
pada peneliti terhadap informasi yang diperoleh yang dikarenakan kekhawatiran
adanya bias atau penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan karena
responden kurang mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak psikologis
antara peneliti dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk
menghilangkan keragu-raguan tersebut, biasanya peneliti memanfaatkan
pengamatan.
5)
Pengamatan memungkinkan
peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin
terjadi jika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi
pengamatan dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan
untuk perilaku yang kompleks.
6)
Dalam kasus-kasus tertentu
dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat
yang sangat bermanfaat. Misalkan seseorang mengamati perilaku bayi yang belum
bisa berbicara atau mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu ditekankan disini pengamatan
dimaksudkan agar memungkinkan pengamat melihat dunia sebagaimana yang dilihat
oleh subjek yang diteliti, menangkap makna fenomena dan budaya dari pemahaman
subjek. Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan
dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
Jadi interpretasi peneliti harus berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.
b)
Macam Pengamat dan Derajat
Pengamat
Menurut Moleong (2001: 126-127)
pengamatan dapat dibedakan menjadi: a) pengamatan berperan serta, b) pengamatan
tidak berperan serta. Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a)
pengamatan terbuka, apabila keberadaan pengamat diketahui oleh subjek yang
diteliti, dan subjek memberikan kesempatan kepada pengamat untuk mengamati
peristiwa yang terjadi dan subjek menyadari adanya orang yang mengamati apa
yang subjek kerjakan, b) pengamatan tertutup apabila pengamat melakukan
pengamatan tanpa diketahui oleh subjek yang diamati. Pengamatan juga dapat
diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan dengan latar alamiah atau pengamatan
tidak terstruktur dan b) pengamatan buatan atau pengamatan terstruktur.
Pengamatan terstruktur ini disebut eksperimen biasa digunakan dalam penelitian
kuantitatif. Sedang pengamatan alamiah atau pengamatan tidak terstruktur inilah
yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif.
Selanjutnya Bunford Junker (dalam
Moleong, 2001: 126-127) membagi peran peneliti sebagai pengamat menjadi 4
(empat) jenis, yaitu:
1)
Berperan serta secara lengkap (the complete participant). Pengamat
dalam hal ini menjadi anggota penuh dari suatu kelompok yang diamati, artinya
peneliti bergabung secara penuh atau menjadi anggota secara penuh dalam
kelompok yang diamati sendiri oleh peneliti. Dengan demikian peneliti dapat
memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang rahasia.
2)
Pemeran serta sebagai pengamat
(the participant as observer).
Peneliti tidak sepenuhnya menjadi anggota kelompok yang diamati (misalnya
anggota kehormatan), tetapi masih dapat melakukan fungsi pengamatan. Hal-hal
rahasia masih dapat diketahui.
3)
Pengamat sebagai pemeran serta
(the observer as participant).
Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala macam
informasi termasuk yang rahasia dapat dengan mudah diperoleh.
4)
Pengamat penuh (the complete observer). Biasanya hal ini
terjadi pada pengamatan suatu eksperimen dilaboratorium yang menggunakan kaca
sepihak. Peneliti dengan bebas mengamati secara jelas subjeknya dari belakang
kaca, sedang subjeknya sama sekali tidak mengetahui apakah mereka sedang
diamati atau tidak.
Flick (2002: 135) menjelaskan tentang
observasi sebagai berikut: disamping kemampuan berbicara dan mendengarkan
sebagaimana digunakan dalam wawancara-wawancara, observasi merupakan
keterampilan harian lain sebagai secara metodelogis disistematisir dan
diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak hanya persepsi visual tetapi juga
persepsi berdasarkan pendengaran, perasaan dan penciuman yang diintegrasikan.
(“Besides the competencies of speaking
and listening which are used in interviews, observing is another everyday skill
which is methodologically systematized and applied in qualitative research. Not
only visual perceptions but also those based on hearing, feeling and smelling
are integrated (Adler and Adler 1998)”).
Dengan menyetujui pendapat Friedrichs
(1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan prosedur observasi secara umum
diklasifikasikan menjadi 5 (lima )
dimensi, yaitu:
a)
Observasi tertutup versus
observasi terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang
diobservasi. (“Covert versus overt
observation: how far is the observation revealed to those who are observed”).
b)
Observasi tidak terlibat versus
observasi terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi bagian yang aktif dari
lapangan yang diamati. (“Non-participant
versus participant observation: how far does the observer become an active part
of the observed field”).
c)
Observasi sistematis lawan
observasi yang tidak sistematis: adalah suatu observasi yang lebih atau kurang
terstandarisasikan dalam pola pelaksanaannya atau observasi yang lebih
fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic versus unsystematic observation:
is a more or less standarized observation scheme applied or does observation
remain rather flexible and responsive to the processes themselves”).
d)
Observasi secara alamiah versus
situasi-situasi buatan: apakah observasi dilakukan dalam lapangan yang diminati
atau apakah observasi dilakukan terhadap interaksi yang mengarah ke suatu
tempat yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi
yang lebih baik. (“Observation in natural
versus artificial situations: are observation done in the field of interest or
are interactions ’moved’ to a special place (eq. a laboratory) to give a better observability”).
e)
Observasi diri versus
mengobservasi orang-orang lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa
banyak niat/atensi peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri sendiri
untuk dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang
diobservasi. (“Self-observation versus
observing others: mostly other people are observed, so how much attention is
paid to the researcher’s reflexive self-observation for futher grounding the
interpretation of the observed”).
Mengenai tahap-tahap observasi,
penulis seperti Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b), dan Spradley (1980)
(dalam Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi memiliki 7 (tujuh) tahap,
yaitu:
a)
Seleksi suatu latar (setting)
yaitu dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu yang menarik itu
dapat diobservasi (“The selection of a
setting, i.e. where and when the interesting processes and persons can be
observed”).
b)
Berikan definisi tentang apa
yang dapat didokumentasikan dalam observasi itu dan dalam setiap kasus. (“The definition of what is to be documented
in the observation and in every case”).
c)
Latihan untuk pengamat supaya
ada standarisasi misalnya apa yang dijadikan fokus-fokus penelitian. (“The training of the observers in order to
standarized such focuses”).
d)
Observasi deskriptif yang
memberikan suatu pemaparan umum mengenai lapangan. (“Descriptive observations which provide an initial general presentation
of the field”).
e)
Observasi terfokus yang semakin
terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian. (“Focused observations which concentrate more
and more on aspects that are relevant to the research questions”).
f)
Observasi selektif yang
dimaksudkan untuk secara sengaja menangkap hanya aspek-aspek pokok. (“Selective observations which are intended to
purposively grasp only central aspects”).
g)
Akhir dari observasi apabila
kepenuhan teori telah tercapai, yaitu apabila observasi lebih lanjut tidak
memberikan pengetahuan lanjutan. (“The
end of the observations, when theoretical saturation has been reached (Glaser
and Strauss, 1967), i.e. futher observations do not provide any futher
knowledge”).
Kerlinger (1986, terjemahan
Simatupang 1990: 857) intinya menyatakan bahwa manusia melakukan pengamatan
sehari-hari terhadap orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain. Tetapi
pengamatan seperti itu jelas tidak memberikan data yang dapat dipergunakan
untuk penelitian ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif agar data hasil
pengamatan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan prosedur
pengukuran yaitu setiap perilaku diberi skor menurut aturan tertentu, sehingga
berdasarkan skor-skor tersebut dapat disusun kesimpulan. Namun menurut
Kerlinger hal tersebut ternyata masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan bahwa perilaku
tersebut harus dikontrol secara ketat dan cermat agar perilaku tersebut dapat
dikenakan prosedur pengukuran, dengan demikian data tersebut bermanfaat untuk
ilmu pengetahuan ilmiah. Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa
pengamatan harus alamiah (naturalistik): pengamat harus larut dalam situasi
realistik dan alami yang sedang berlangsung, dan harus mengamati perilaku
sebagai yang muncul dalam wujud yang sebenarnya. Walaupun hal ini dalam
pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.
Sedang Bachtiar (dalam
Koentjoroningrat, 1977: 139) intinya menyatakan bahwa dalam pengetahuan ilmiah
mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta, pengamatan merupakan
teknik yang pertama-tama digunakan dalam penelitian ilmiah. Selanjutnya dinyatakan
berbeda dengan pengamatan yang dilakukan sehari-hari, pengamatan sebagai cara
penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan
bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran
penelitian. Syarat-syarat tersebut adalah peneliti harus berusaha membandingkan
dengan hasil pengamatan orang lain dalam masalah yang sama dan dalam keadaan
yang sama, apabila ternyata mendapatkan hasil yang tidak sama, maka harus
diperiksa kembali dimana kesalahannya. Untuk menguji kebenaran suatu
pengamatan, peneliti dapat mengulang pengamatannya kemudian membandingkan
dengan hasil pengamatan pertama. Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan
karena ada peristiwa yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak dapat diamati lagi.
Catatan penulis: untuk membandingkan
hasil pengamatan dari seorang peneliti dengan peneliti lain adalah sangat sulit
karena belum tentu mendapatkan peneliti dalam masalah yang sama dengan subjek
yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan wajib penelitiannya
dengan hasil pengamatan significant
others yaitu individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh
subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti
dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Suparlan (1997: 103) metoda
pengamatan digunakan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang
dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya
didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Selanjutnya
menurut Suparlan (1994: 62) intinya terdapat anggapan sementara pihak bahwa
pengamatan dinilai bukan suatu metoda penelitian yang ilmiah karena sederhana,
tidak rumit teknik-tekniknya dan tidak susah memahami dan menggunakannya.
Padahal apabila digunakan sesuai persyaratannya akan memperoleh data yang tepat
dan dapat dipertanggung jawabkan. Suparlan selanjutnya mengemukakan bahwa dalam
penelitian ilmiah yang menggunakan metoda pengamatan, si peneliti hendaknya
memperhatikan 8 (delapan) hal sebagai berikut:
a)
Ruang atau tempat: setiap
gejala (benda, peristiwa, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau tempat
tertentu. Bahkan keseluruhannya dari benda atau gejala yang ada dalam ruang
yang menciptakan suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti,
sepanjang hal itu mempunyai pengaruh gejala-gejala yang diamatinya.
b)
Pelaku: pengamatan terhadap
pelaku mencakup ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem
kategorisasi yang berpengaruh terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
c)
Kegiatan: dalam ruang atau
tempat tersebut para pelaku tidak hanya berdiam diri saja tetapi melakukan
kegiatan-kegiatan, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan, yang dapat
mewujudkan adanya serangkaian interaksi di antara sesama mereka.
d)
Benda-benda atau alat-alat:
semua benda-benda atau alat yang berada dalam ruang atau tempat yang digunakan
oleh para pelaku dalam melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan
kegiatan-kegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
e)
Waktu: setiap kegiatan selalu
berada dalam suatu tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti
harus memperhatikan waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau
hanya memperhatikan kegiatan tersebut dalam satu jangka waktu tertentu saja dan
tidak secara keseluruhan.
f)
Peristiwa: dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku, bisa terjadi sesuatu
peristiwa diluar kegiatan-kegiatan yang nampaknya rutin dan teratur itu atau
juga terjadi peristiwa-peristiwa yang sebenarnya penting tetapi dianggap biasa
oleh para pelakunya. Seorang peneliti yang baik harus tajam pengamatannya dan
tidak lupa untuk mencatatnya.
g)
Tujuan: dalam kegiatan-kegiatan
yang diamati bisa juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para
pelakunya sebagaimana terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka
dan gerak tubuh atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan
bahasa.
h)
Perasaan: pelaku-pelaku juga
dalam kegiatan dan interaksi dengan sesama para pelaku dapat terlihat dalam
mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan,
ekspresi muka dan gerakan tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan
oleh si peneliti.
Dari berbagai pendapat beberapa tokoh
tentang pengamatan (observasi) maka dapat disimpulkan bahwa pengamatan
(observasi) dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan
dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan
mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam
konteks kehidupan sehari-hari, dan memperhatikan syarat-syarat penelitian
ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Agar hasil pengamatan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya maka hasil pengamatannya hendaknya
dibandingkan dengan hasil pengamatan peneliti lain tentang orang atau fenomena
yang sama dan dalam situasi yang sama pula. Dapat juga dilakukan dengan
mengulangi pengamatannya atau melengkapi dengan menggunakan teknik lain
misalnya wawancara dan lain-lain. Atau dapat pula dilakukan dengan
membandingkan dengan hasil pengamatan dari significant
others. Jelaslah bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif
harus ditegakkan.
b.
Ciri-ciri Observasi
1)
Persyaratan lain disamping
diterapkannya prinsip triangulasi, maka agar hasil observasi dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya perlu adanya latihan untuk melakukan
observasi, dan telah dimilikinya secara mantap pengetahuan teoritis atau
konseptual dalam bidang atau masalah yang diobservasi oleh si peneliti. Atau
dengan kata lain peneliti telah memiliki kepekaan teoritis (theoretical sensitivity).
2)
Pengamatan dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif karena mempunyai keunggulan
sebagai berikut:
a)
Pengamatan yang dilakukan
sendiri oleh si peneliti dapat diperoleh kebenaran yang meyakinkan, karena si
peneliti dapat secara langsung mengecek kebenaran informasi.
b)
Pengamatan memungkinkan si
peneliti mampu memahami situasi yang rumit yaitu jika si peneliti ingin memperhatikan
beberapa tingkah laku sekaligus atau tingkah laku yang kompleks.
c)
Dengan pengamatan dimungkinkan
melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kegiatan
sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Dalam kasus-kasus tertentu
dimana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat
yang sangat bermanfaat, misalnya mengamati bayi yang belum dapat berbicara,
atau mengamati orang yang menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna netra,
dan lain-lain.
Perlu mendapatkan perhatian bagi peneliti muda
(mahasiswa S-1 yang sedang menyusun Skripsi dengan pendekatan kualitatif)
tujuan pengamatan adalah menangkap makna fenomena sebagaimana pemahaman subjek
yang diteliti terhadap fenomena tersebut. Merasakan apa yang dirasakan dan
dihayati oleh subjek yang diteliti, bukan apa yang yang dirasakan dan dihayati
oleh si peneliti.
4)
Menggaris bawahi pendapat
Poerwandari (1998: 62) yang menyatakan bahwa pengamatan diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan
hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Ini berarti pengamatan harus
dilakukan dengan teliti dan cermat, dengan demikian pengamatan tidak dapat
dilakukan secara bersamaan dengan wawancara, karena tidak mungkin pengamatan
yang dilakukan bersamaan waktu dengan wawancara akan mendapatkan hasil teliti
dan cermat.
5)
Mengacu pendapat dari Kerlinger
(1986 terjemahan Simatupang, 1990: 857) yang menyatakan pengamatan dalam
konteks penelitian kualitatif situasi yang diamati harus realistik dan alami
(naturalistik), maka pendapat Banister dkk (1994 dalam Poerwandari, 1998: 62)
yang menyatakan observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratorium
(eksperimental) maupun konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan
observasi tersebut dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini
eksperimen direncanakan dan dilaksanakan oleh si peneliti. Subjek yang diteliti
dalam eksperimen penelitian kuantitatif berperan sebagai objek eksperimen.
Observasi dapat pula dilakukan dalam penelitian kualitatif apabila eksperimen
disusun dan dilakukan oleh peneliti lain, si peneliti mengamati subjek yang
diteliti dalam eksperimen tersebut dalam situasi apa adanya. Subjek yang
diteliti tidak menjadi objek eksperimen dan tidak tahu kehadiran observer
(eksperimen dengan laboratorium berkaca).
6)
Agar dapat berfungsi sebagai
metoda dalam penelitian ilmiah pengamatan harus dilakukan sesuai
persyaratannya. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan memperoleh data yang
tepat dan dapat dipertanggung jawabkan (Suparlan, 1994: 62). Peneliti dalam
penelitian ilmiah dengan menggunakan teknik pengamatan harus memperhatikan 8
(delapan) hal, yaitu: a) ruang atau tempat, b) pelaku, c) kegiatan, d)
benda-benda atau alat-alat, e) waktu, f) peristiwa, g) tujuan, h) perasaan
subjek yang diteliti.
7)
Mengacu pendapat beberapa
penulis Flick (2002: 136) menyatakan terdapat 7 (tujuh) tahap dalam pelaksanaan
observasi, yaitu:
a)
Melakukan seleksi terhadap setting penelitian.
b)
Mendefinisikan apa yang dapat
didokumentasikan dalam observasi dan dalam setiap kasus.
c)
Melakukan latihan bagi peneliti
tentang aturan-aturan yang harus ditaati dalam melakukan pengamatan sesuai
fokus-fokus penelitian yang direncanakan.
Catatan penulis: fokus penelitian dapat berubah sesuai kondisi dilapangan.
d)
Mendiskripsikan apa yang akan
dilakukan dilapangan.
e)
Memokuskan observasi pada
aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian.
f)
Menyeleksi apa yang diobservasi
dengan mengutamakan aspek-aspek pokok.
g)
Mengakhiri observasi apabila
tujuan observasi telah tercapai artinya apa yang akan diobservasi tidak dapat
dikembangkan lagi karena telah sesuai dengan teori yang mendasari, dan tidak
akan mendapatkan data-data baru lagi yang memberikan pengetahuan baru.
0 komentar:
Posting Komentar