Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya
ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh
peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal
sebagai gejala diabetes melitus. Pada
diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni
tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya
jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor
lingkungan ( environment ). Sedangkan
pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara
absolut.
Gangguan
metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi
insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan
(inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk
terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia
akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30
menit) setelah beban glukosa (makan atau minum).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi
insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara
klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan
pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah
oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara
klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk
mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang
dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila
diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat
menurunkan resistensi insulin ( insulin
sensitizer ).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti
peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan
menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi,
dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang
disebut juga sebagai prediabetic state. Pada
tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami
defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah
postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa
darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test
Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga
dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 – 126
mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).
Keadaan
hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia
akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT,
memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan
komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik
secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.
Resistensi
insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT
menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor
resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai
kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2,
meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia
masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular,
meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular
telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin
dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun
postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi
insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis
dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa
dari hepar.
Jadi,
dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh
kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2,
dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah
(hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh
rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan
atau pengaruh lingkungan seperti gaya
hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit.
Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan
protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang
dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap
glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang
dinamakan sindroma metabolik.
0 komentar:
Posting Komentar