Sejak 1985, telah
dikembangkan sekitar 1,7 juta rencana konservasi oleh kongres AS melalui UU
Ketahanan Pangan yang berisi beberapa ketentuan konservasi. Rencana ini melibatkan sekitar 58 juta ha lahan pertanian sangat kritis. Pada Desember 1993, sekitar 70 persen dari lahan sangat
kritis dikonservasi. Petani memilih beberapa bentuk CRM untuk
memenuhi tujuan tersebut, untuk membantu petani mengendalikan erosi dan
mendapatkan manfaat dari program USDA tersebut. Pemilihan sistem ini-terutama karena ekonomi dan manfaat pengendalian erosi (Scherts dan Kemps, 1994).
Penerapan sistem
CRM terus meningkat di AS, didukung pula oleh Departemen AS Pertanian untuk
menerapkan Rencana Aksi CRM yang komprehensif yang melibatkan lembaga 9 USDA
(USDA, 1991) sebagaimana diuraikan oleh Scherts dan Kemps (1994). Rencana
ini menekankan pada usaha:
1.
Pengumpulan dan distribusi informasi ekonomi dari petani
yang mempraktikkan sistem CRM yang baik;
2.
Peningkatan
pelatihan teknis untuk staf lapangan USDA;
3.
Peningkatan kontak dengan petani,
4.
Demonstrasi pertanian, dan
5.
Peningkatan arus informasi teknis dengan
membangun aliansi CRM pertanian.
Pada tahun 1989,
CRM di AS umumnya hanya memanfaatkan 15 persen atau kurang dari permukaan lahan
yang ditutupi dengan sisa tanaman. Pada tahun 1995 sistem CRM ditingkatkan,
yang menutupi permukaan menjadi lebih besar daripada 15 persen lahan, dan hal
itu meningkatkan produksi hampir 75 persen dari areal yang ditanam. Tren CRM di
AS menunjukkan pengelolaan lahan tertutup 15% meningkat lebih cepat daripada
sistem yang lain. Untuk jagung, lebih cepat mengadopsi no-till daripada sistem CRM bentuk lain, diikuti dengan kedelai dan
kapas. Pada kapas saat ini hanya menggunakan no-till pada sebagian kecil dari total areal kapas. Prediksi
menunjukkan bahwa kapas yang dikelola dengan no-till akan meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun
mendatang. Sementara itu penggunaan mulch-till
selama 3 tahun terakhir lebih lambat daripada no-till walaupun pada awalnya juga meningkat. Menurut Smika dan
Wicks (1968), sistem yang paling efektif di AS untuk melestarikan ketersediaan
air untuk tanaman adalah dengan no-till
(Scherts dan Kemps, 1994), sementara itu pertumbuhan gulma dikendalikan oleh
herbisida dan benih ditaburkan secara langsung ke dalam sisa tunggul dari
tanaman sebelumnya.
Budidaya dan
manajemen residu tanaman juga dapat mempengaruhi, mempertahankan atau
meningkatkan kualitas air permukaan yang keluar dari permukaan di areal
pengelolaan akibat penggunaan bahan kimia yang dipakai untuk mengendalikan
gulma. Cara-cara tersebut dilakukan oleh petani di negara-negara Eropa dengan
tujuan untuk mengubah struktur tanah, mengubah jalur aliran air dan meningkatkan
aktivitas mikroba (Addiscott
dan Dexter, 1994).
Residu tanaman
dalam bentuk mulsa, setelah dipotong-potong di sebarkan merata di atas permukaan
tanah atau jika digunakan sebagai pupuk hijau dibenamkan ke dalam tanah baik
secara merata atau dalam jalur-jalur tertentu. Menurut Arsyad, 2006, penggunaan
mulsa pada tanah Latosol di Citayam dan Podsolik di Lampung, telah diteliti
oleh Suwardjo (1981), dan diketahui bahwa mulsa selain mengurangi erosi juga
mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi,
kemantapan agregat dan perbaikan aerasi tanah. Penelitian penggunaan mulsa di
Indonesia juga pernah dilakukan oleh Sinukaban (2006) di daerah Darmaga dan
Jasinga. Menurut Lal, Pribar, Siny dan Sandhu (1979) sebagaimana dijelaskan
oleh Arsyad (2006), penurunan suhu tanah di daerah tropika merupakan salah satu
faktor penyebab meningkatnya hasil tanaman. Daya guna mulsa dalam melindungi
tanah dari daya perusak/erosi butir-butir hujan ditentukan oleh persentase penutupan
tanah oleh mulsa tersebut (Sinukaban, 2006).
Beberapa studi
pengukuran kekuatan tanah, menunjukkan
bahwa tanah yg dibajak kekuatan tanahnya terhadap erosi oleh air berkurang
secara signifikan di lapisan yang digarap. Sebaliknya Gangwar K.S dkk (2006)
telah membuktikan bahwa dengan dikuranginya pembajakan namun tetap
menggunakan residu tanaman pada tanah
lempung berpasir di dataran Gangga India dapat mencapai produksi gandum yang
optimal setelah sebelumnya ditanami padi terlebih dahulu. Williams, John D.,
dkk. (2000) juga membuktikan pertanian
lahan kering di plato Columbia, Oregon dan Washington (AS) bahwa tanah yg
dibajak memang dapat mengendalikan gulma dan penyakit dan secara konsisten
menghasilkan hasil panen yang baik. Sayangnya, mereka juga merusak struktur
tanah dan mengakibatkan banyak kerugian dengan air tanah erosi. Sebuah sistem
konservasi baru menggunakan residu tanaman manajemen, yang lumbung-sistem
bajak, telah menunjukkan janji untuk pengendalian gulma.
Tanah yg diolah
secara konvensional, yakni dengan pembajakan, seringkali menciptakan kondisi
yang dapat membatasi mikroba dan gerakan cacing tanah dalam mempercepat
dekomposisi residu tanaman, yang pada akhirnya mengurangi pasokan makanan untuk
cacing tanah. Dampak negatif ini dapat diatasi dengan mempertahankan residu
tanaman di agroecosystems. Nikita dkk (2009)
telah melakukan penelitian untuk menentukan efek dari berbagai tanah yg
dikerjakan dan praktek-praktek pengelolaan residu tanaman pada populasi cacing
tanah di di Quebec, Kanada. Pertumbuhan cacing tanah diamati pada tiga sistem
tanah yg dikerjakan: dengan moldboard bajak/garu disk (CT), dengan pahat bajak
atau garu disk (RT), pada tanah yg yang tidak diolah sama sekali (NT), serta pada
tanah dengan dua tingkat input residu tanaman (tinggi dan rendah). Hasilnya diketahui
bahwa populasi dan biomassa cacing tanah dalam jangka panjang lebih besar pada
tanah yang tidak diolah (NT) daripada yang dibajak (CT dan RT), tapi rupanya
kondisi tersebut tidak dipengaruhi oleh residu tanaman.
Tanah yang tidak
diolah (ZT) mempengaruhi infiltrasi air dan kadar kelembaban tanah yang lebih
besar ketika residu tanaman tersisa di lapangan daripada ketika tidak ada residu.
Tingkat infiltrasi menjadi lebih tinggi dan menguntungkan karena didukung meningkatnya
kelembaban tanah yang mencapai 30%. Walaupun terjadi pembusukan akar tanaman
Jagung akibat peningkatan kelembaban tanah yang disebabkan oleh residu tanaman,
akan tetapi dengan melakukan rotasi jagung dengan gandum mengurangi insiden
akar membusuk jagung hingga 30%. Secara umum, insiden penyakit akar lebih
rendah pada gandum (hingga 3 pada skala 7) daripada jagung (hingga 3,93 pada
skala 4) untuk semua jenis pengolahan. Insiden akar
membusuk dan populasi nematoda parasit ini juga tidak berkorelasi dengan hasil.
Walaupun penyakit akar tanaman mungkin mempengaruhi produktivitas, namun
dampaknya masih lebih kecil jika dibandingkan pengaruh faktor-faktor seperti berkurangnya
infiltrasi dan ketersediaan air. Baik kondisi mikroflora maupun lingkungan memainkan
peran kunci secara biologis dan kondisi patogen tanah. Praktek-praktek
pengelolaan tanah dengan tanpa pengolahan seperti ini juga telah dilakukan di
daerah semi-kering dan sawah tadah hujan pada dataran tinggi subtropis Meksiko Tengah
(Govaerts, dkk. 2007).
Peningkatan
kualitas tanah akibat peningkatan bahan organik juga dibuktikan oleh Sparrow,
Stephen D., dkk., (2006) pada
penelitian mereka di Alaska untuk berbagai tipe pengolahan tanah yakni yang
tanpa pengolahan (NT), sekali pengolahan setiap musim semi (DO), dan dua kali pengolahan
(DT, musim semi dan musim gugur). Diketahui bahwa hasil gabah, yang rata-rata 1.980 kg/ha selama
lebih dari 17 tahun di seluruh wilayah studi, menunjukkan bahwa yang tertinggi adalah
yang hanya sekali pengolahan (DO) dan tidak berbeda secara nyata antara NT dan
DT, tapi gulma adalah masalah serius pada tanah yang yang tanpa pengolahan (NT).
Dikuranginya praktek-praktek pengolahan tanah dapat meningkatkan kualitas tanah
dan melestarikan bahan organik, tapi untuk jangka panjang di wilayah subarctic,
tanah yang tanpa pengolahan (NT), tidak dapat dilakukan karena adanya masalah
gulma.
0 komentar:
Posting Komentar