Biasanya pada tanah
yg dikerjakan infiltrasinya meningkat dan limpasan berkurang, karena kerak di
permukaan tanah pecah. Data dari percobaan Rao dkk, (1994) menunjukkan bahwa
peningkatan infiltrasi itu tidak berpengaruh pada limpasan tahunan dan
perbedaan perlakuan pada tanah yg dikerjakan tersebut kecil dan tidak
konsisten. Hal itu memperkuat pendapat Yule dkk (1990) yang mempelajari
tanggapan atas tanah yg dikerjakan dari waktu ke waktu dan hasilnya menunjukkan
bahwa berkurangnya limpasan hanya untuk suatu jangka pendek setelah tanah
tersebut dikerjakan, tetapi kemudian terjadi degradasi struktural dan
pembentukan kerak yang lebih banyak pada permukaan (Rao dkk, 1994). Asseline
dkk., (1994) menyatakan bahwa pengolahan tanah justru dapat mengganggu tanah
dan mengubah hubungan massa volume tanah. Hilangnya topsoil mengurangi bulk
density tanah dan meningkatkan pemadatannya. Sebaliknya menurut Gajri dan
rekan dalam sebuah tulisan yang tidak diterbitkan, perubahan kekuatan tanah
pasir akibat pengelolaan justru tetap bertahan sampai waktu panen, tidak
seperti bulk density (Gajri dan
Prihar, 1994).
Oleh karena itu praktek manajemen pengelolaan
tanah menurut Rao, dkk, (1994), harus bertujuan memaksimalkan infiltrasi air
hujan ke tanah. Hal ini pada gilirannya berkaitan dengan pengelolaan permukaan
tanah yang memadat. Berbagai pilihan manajemen pengelolaan tanah yang tersedia
menurut Rao dkk (1994) adalah:
1. Memecah permukaan yang padat secara mekanis,
2. Melindungi permukaan dari degradasi struktural sebagai dampak turunnya
hujan, dilakukan dengan penerapan residu tanaman sebagai mulsa;
3. Meningkatkan struktur tanah, dengan penambahan pupuk kandang peternakan
yang cenderung meningkatkan stabilitas struktur tanah.
Residu tanaman yang
ditinggalkan di permukaan tanah terbukti efektif melindungi tanah dari dampak
hujan dan mengurangi kecepatan angin di permukaan tanah, sampai tumbuhnya
kanopi tanaman berikutnya. Awalnya dilakukan pembajakan untuk mengganti tanah
yg dikerjakan, membalikkan tanah dan mengubur residu tanaman, sehingga permukaan
tanah yang retak menjadi lebih gembur, meninggalkan potongan akar, membunuh
rumput liar, dan meninggalkan sebagian besar residu tanaman pada permukaan
tanah. Namun, akibatnya pada penanaman berikutnya, sering dibutuhkan pekerjaan
tambahan yakni pengendalian gulma, karena sebagian besar permukaan tanah
terkubur oleh residu tanaman. Untuk itu digunakan bahan kimia atau kombinasi
bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Scherts dan Kemps, 1994). Selain
pengendalian gulma, perubahan topografi mikro dan pencampuran amandemen, tanah
yg dikerjakan juga ditujukan untuk pengentasan kendala tanah yang terkait
dengan pertumbuhan tanaman. Struktur fisik tanah sering berubah dengan
pengerjaan tanah dan dan pada gilirannya mempengaruhi lingkungan edaphic tanah
(yaitu, impedansi mekanis, ketersediaan air tanah dan aerasi dan rezim termal)
di persemaian dan/atau akar persemaian. Sejauh mana aspek ini akan berubah
tergantung pada kondisi tanah yang ada dan jenis dan metode penerapan alat pada
tanah yg dikerjakan.
Adapun keuntungan
sistem CRM menurut Scherts dan Kemps (1994) antara lain:
1. mengurangi erosi tanah oleh air, besarnya bervariasi dari 40 hingga lebih
dari 90 persen tergantung pada jumlah penutup permukaan tanah yang tersisa di
permukaan. Namun, efektivitas pengendalian erosi residu tanaman juga ditentukan
oleh faktor-faktor seperti jenis, jumlah dan cara aplikasi mulsa (Khera dan
Kukal, 1994; Williams, John D., dkk.,
2000). Manfaat dari residu tanaman permukaan dalam mengurangi erosi
tanah oleh air juga berkorelasi erat dengan pengurangan erosi angin;
2. meningkatkan bahan organik pada tanah dari 1,87 % menjadi 4% dalam waktu
sekitar 15 tahun, melalui penggunaan residu atau mulsa (Sparrow, dkk., 2006). Dengan adanya mulsa maka
terjadi peningkatan jumlah bahan organik, dapat meningkatkan produktivitasnya
dan akan lebih sulit tererosi, karena meningkatkan stabilitas agregat tanah dan
infiltrasi, yang selanjutnya dapat mengurangi erosi tanah; (Khera dan Kukal,
1994; Rao dkk., 1994; Govaerts dkk, 2007).
Residu tanaman penutup menghalangi air hujan sebelum mereka mencapai tanah,
menetralkan energi yang tersimpan dan dengan demikian mengurangi pelepasan
tanah dan transportasi. Bahan organik juga menghambat kecepatan aliran
permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak (Khera dan
Kukal, 1994; Arsyad, 2006). Sebaliknya penanaman yang intensif dapat menurunkan
bahan organik tanah kurang dari separuh dari yang ada sebelum budidaya dimulai;
3. mengurangi efek kekeringan meningkat secara signifikan karena residu
tanaman tersebut menghasilkan kelembaban tanah (Arsyad, 2006; Govaerts dkk, 2007). Mempertahankan kelembaban
tanah adalah hal yang sangat penting untuk pertanian. Menurut Jalota dan Prihar
(1990), sebagaimana diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), konservasi kelembaban
tanah tersebut tergantung pada jenis tanah, kondisi iklim, dan kedalaman dan
jenis tanah yg dikerjakan. Namun di daerah-daerah lembab, ketika tanaman sangat
membutuhkan air, hujan justru tidak selalu terjadi. Sebagai contoh, Bauer dan
Black (1991) dalam Scherts dan Kemps (1994), menemukan bahwa sistem CRM yang
baik di Northern Great Plains di US, dapat menyimpan 6-10 cm kelembaban tanah
dan meningkatkan sebesar 134 hasil gandum dan hasil barley sebesar 188 kg/ha.cm
setiap tambahan kelembaban;
4. meningkatkan infiltrasi dan kapasitas menahan air serta menurunkan air
limpasan dan penguapan, Akibatnya produksi tanaman per unit curah hujan
meningkat. Menurut Moore (1981) ketidakstabilan struktur tanah akibat hujan
dapat membentuk pemadatan di permukaan, sehingga dapat mengurangi infiltrasi
dan meningkatkan limpasan. Akibatnya, air yang tersedia dalam profil akan
berkurang (Rao dkk, 1994, Gajri dan Prihar, 1994). Dengan meninggalkan residu
tanaman pada permukaan tanah melindungi permukaan tanah dari dampak tetesan air
hujan, mengurangi gangguan, dispersi, dan penyegelan permukaan tanah berikutnya
dan dengan demikian membantu mempertahankan tingkat infiltrasi yang tinggi dan
mengurangi kecepatan limpasan (Khera dan Kukal, 1994; Parr dkk., 1990 dalam Rao
dkk., 1994), menyediakan lebih banyak air untuk produksi tanaman dan
meningkatkan pengisian ulang ke aquifers, serta meningkatkan proses aerasi
oksigen tanah;
5. meningkatkan populasi serangga dan cacing-cacing yang memakan permukaan dan
menggali bahan organik di dalam tanah untuk perlindungan (Govaerts dkk, 2007; Nikita dkk, 2009). Liang mereka sering
memfasilitasi infiltrasi lebih cepat dan di beberapa daerah dapat secara
signifikan mengurangi limpasan;
6. mengurangi evaporasi air dari tanah, meninggalkan lebih banyak air yang
tersedia untuk digunakan tanaman (Gajri dan Prihar, 1994). Menurut Linden dkk
(1987), sebagaimana dijelaskan oleh Scherts dan Kemps (1994); hanya dengan 30
persen residu tanaman yang menutupi permukaan tanah, maka potensi relatif
evaporasinya mencapai 70 persen dibandingkan dengan jika tidak ada residu
tanaman. Penggunaan mulsa ternyata cukup efektif dalam melestarikan kelembaban
tanah dan meningkatkan hasil panen (Khera dan Kukal, 1994). Sebagaimana
diuraikan oleh Gajri dan Prihar (1994), di lingkungan sub-tropis India Utara,
suhu di lapisan tanah yang dikerjakan dengan mulsa supra-optimal selama musim
panas meningkatkan hasil panen jagung;
7. mempertahankan atau meningkatkan kualitas air permukaan. Pengelolaan residu tanaman membantu menjaga sedimen, kotoran hewan,
patogen dan pestisida yang keluar dari permukaan di areal pengelolaan (Addiscott dan Dexter, 1994). Air yang
mencapai aquifers umumnya mengandung kurang dari 1 persen pestisida dan 99
persen adalah bahan organik alami. Air yang telah disaring perlahan-lahan
tersebut melalui Mollisols, dan praktis bebas dari patogen serta umumnya dapat
diminum.
0 komentar:
Posting Komentar