Faktor Kriminogen dan Kendala dalam Pengungkapan
Kejahatan Bank
1. Rahasia Bank sebagai Perlindungan Hukum
Baik dari ketentuan dalam UU No 7 Tahun 1992 dan
dengan perubahan dalam UU No 10 tahun 1998, telah memberi perlindungan hukum
kepada data keuangan dan keterangan lain dari nasabah bangk. Hanya saja dalam
UU No 10 tahun 1998, perlindungan hukum itu diberikan kepada pihak nasabah
penyimpan saja, tidak lagi diberi perlindungan kepada data keuangan
dan hal lainnya nasabah debitur.
Lebih lanjut sehubungan dengan pelindungan hukum ini
adalah ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 47 dan 47A UUP 1998. Pasal 47
ayat (1) memberi ancaman dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan
paling lama 4 tahun dengan denda sekurang-kurangnya Rp 10 Milyar dan paling
banyak Rp 200 milyar, terhadap orang yang tanpa membawa perintah tertulis atau
izin dari Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud atau pihak terafiliasi untuk
memberikan keterangan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 40.
Pasal 40 ayat (2) mengancam dengan pidana denda
sekurang kurangnya Rp 4 milyar dan paling banyak 8 milyar terhadap Anggota
Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya dengan
sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40.
Dari ketentuan, di atas terlihat bahwa perlindungan
hukum yang diberikan oleh undang-undang cukup kuat untuk menjaga agar tidak
terjadi pembocoran rahasia bank tersebut.
Dilihat dari segi hakekat rahasia bank Taufik EL Rahim
menulis bahwa adanya kewajiban bank untuk menyimpan rahasia dari nasabah
didasarkan kepada 4 hal:
1. Hak setiap orang atau badan untuk tidak
mencampuri dalam masalah yang bersifat pribadi (personal privacy)
2. Hak yang timbul dari hubungan perikatan antara
bank dan nasabahnya wajib dan dengan itikat baik wajib untuk melindungi
kepentingan nasabahnya.
3. Bank dalam menghimpun dana dari masyarakat
bekerja berdasarkan kepercayaan masyarakat dengan demikian pengetahuan bank
mengenai keuangan nasabah tidak disalahkan dan wajib dijaga oleh bank.
4. Kebiasaan dan kelaziman dalam dunia perbankan
(Taufik EL Rahim, 1998:61)
Jika dikaitkan antara rahasia bank yang diatur dalam
UUP, tidak terlepas dari dasar permahaman dari hakekat rahasia bank itu sendir.
Oleh karena itu perlindungan hukum yang diatur dalam UUP tersebut merupakan
suatu kepatutan, yang pengecualian hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang
sangat diperlukan.
Ditilik dari sudut sifat kerahasian bank ada 2 teori
sebagaimana dikemukakan oleh Djumhana yaitu teori rahasia bank yang bersifat
mutlak dan yang bersifat nisbi.
Teori yang bersifat mutlak menghendaki bahwa bank
berkewajiban menyimpan rahasia nasabah karena kegiatan usahanya dalam keadaan
apapun baik dalam keadaan biasa maupun luar biasa, sedangkan teori yang
bersifat nisbi memperolehkan bank membuka rahasia nasabahnya untuk kepentingan
yang mendesak seperti kepentingan negara (Djumhana, 1993,111).
Negara Swiss menganut teori mutlak (absolut) dimana
kepentingan individu nasabah dalam segala hal dilindungi sedemikian rupa
tanpa melihat kepentingan kepentingan lain, seperti kepentingan negara. Kasus
pemburuan harta kekayaan Soeharto di bank-bank Swiss sebagaimana diberitakan di
media massa, juga terkait dengan rahasia bank.
UU No.10 tahun 1998 jelas menganut teori nisbi
(sholehuddin,1997,74) yang membenarkan tindakan bank untuk membuka rahasia
dalam beberapa kepentingan sebagaimana yang telah dibahas terdahulu.
2. Rahasia Bank Sebagai Faktor Kriminogen
Ada berbagai tindak pidana yang terdapat terjadi
karena berlindung pada rahasia bang, seperti pencurian uang (money laundering), penggelapan
pajak, korupsi.
Sumarkoco menulis bahwa dengan adanya kerahasiaan
bank, oleh oknum-oknum tertentu dapat digunakan sebagai payung pelindung untuk
melakukan berbagai kejahatan yang sulit diungkapkan karena modus operandinya
sangat canggih seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi dewasi ini.
Bentuk kejahatan dibidang perbankan yang sering
dilakukan oleh oknum-oknum tertentu (negarawan, politikus, pengusaha, dan para
koruptor lainnya) adalah apa yang disebut “money laundering” (Sumarkoco S, 1990:1)
Sumitro R menulis tentang praktek Bank Swiss yang disebut
dengan“mumbered account” yang
merahasiakan surat-surat, penunjukkan orang-orang yang fiktif dan lain-lain
sebagainya (simitro, 1977;193). Keadaan ini telah digunakan oleh oknum-oknum
seperti koruptor, penyelundup pajak, bank digunakan sebagai tempat untuk
menyimpan uang agar terhidar dari pengejaran oleh petugas.
Rahasia bank bukan suatu faktor yang berdiri sendiri
di mana orang termotivasi untuk melakukan kejahatan, masih ada faktor lain yang
mendahuluinya.
Dilihat dari sudur teori kriminologi, rahasia bank ini
telah meniadakan kontrol sosial, terhadap terjadinya perbuatan-perbuatan yang
menyimpan.
Reiss, membedakan dua macam kontrol yaitu personal control dan social control (Romli
Atmasasmita, 1992;32). Personal
Control adalah kemampuan seorang untuk menahan diri untuk tidak
mencapai kebutuhannya dengan melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat,
sedangkan socialcontrol atau
eksternal kontrol adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga dalam
masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.
Pertanyaan yang timbul sekarang adalah apakah dengan
terjadinya berbagai kejahatan dalam kaitannya dengan rahasia bank tersebut,
rahasia bank itu sendiri yang ditiadakan? Hemat penulis rahasia bank itu
penting, dan pencegahan kejahatan juga penting, namun meniadakan rahasia bank
akan merugikan nasabah bank misalnya dalam bisnis. Jika keadaan keuangan dan
hal lain dari nasabah terbuka untuk umum, maka kemukinan besar perusahaan
–perusahaan yang sedang dijalankan oleh nasabah akan kehilangan kepercayaan
dari pihak-pihak yang terkait dengan usaha yang sedang dijalankan, karena
keadaa keuangan nasabah yang dianggap tidak bonafit, sehingga relasinya
akan memutuskan hubungan dagang karena takut rugi. Padahal jika keadaan
keuangan nasabah yang sedang dalam keadaan tidak baik itu tidak diketahui oleh
relasinya, nasabah masih mungkin untuk memperbaiki keadaan keuangannya.
Dilain pihak kemungkinan terjadinya kejahatan lain
seperti seperti penculikan dengan meminta tebusan atau pemerasan, jika keadaan
keuangan setiap nasabah tidak dirahasiakan.
Pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan rahasia
bank ini mungkin dapat diikuti ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat untuk
mencegah praktek money laundering dengan menanyakan asal uang yang disimpan,
jika simpanan begitu banyak. Jika diketahui ada bani yang menyimpan yang yang
diperoleh secara legal, bank tersebut akan di kenai sanksi (Bohari, 1999;50) Di
Indonesia ketentuan yang demikian ini belum ada.
3. Kendala Dalam Pengukapan Kasus
Ada anggapan bahwa rahasia bank merupakan salah satu
kendala dalam pengungkapan kasus-kasus dibidang perbankan. Secara formal
kendalanya terletak pada prosedur untuk memperoleh data dari bank karena jalur
birokrasi yang telah ditetapkan dalam UU yaitu dalam Pasal 41, Pasal 41A,
dan Pasal 42.
Diambil contoh jika kasus yang sedang ditangani oleh
penyidik memerlukan data dan keuangan tersangka yang ada dibank , maka penyidik
tidak dapat langsung meminta kepada bank yang bersangkutan data tersebut,
tetapi penyidik harus menyampaikan kebutuhan itu kepada KAPOLRI untuk meminta
izin kepada Bank Indonesia.
Tentunya pula seorang penyidik tidak dapat secara
langsung menyurati KAPOLRI untuk keperluan tersebut, tetapi harus melalui
berakhir secara vertikal. Prosedur ini dapat dipahami sebagai tindakan untuk
mencegah agar tidak secara mudah orang dapat meminta data tersebut dengan
alasan adanya kasus yang sedang ditangani.
Pasal 42 UUP 1998 telah memberikan jaminan yang lebih
kuat dengan memberikan penegasan bahwa data yang diminta oleh pejabat yang
berwenang wajib diberikan oleh bank. Dengan demikian ketentuan ini telah
memperkecil kendala yang ditimbulkan pada tingkatan yang lebih tendah.
Di lain pihak UUP 1998 telah meniadakan sama sekali
kendala untuk memperoleh data dari nasabah debitur misalnya dalam kasus kredit
yang bermasalah dapat diberitahukan oleh bank secara periodek secara terbuka
pertanyaan adalah apakah secara aplikasi ketentuan tersebut akan dilaksanakan.
Kendala dalam pengungkapan kasus-kasus yang berkaitan
dengan rahasia bank, secara kasuistis sangat tergantung kepada kesungguhan dari
pemeritah sendiri. George.J. Aditjondro menulis dalam Majalah Tempo, 6 Juni
1999 tentang pelacakkan dana milik keluarga Soeharto dengan judul mencermati
Misi Muladi-Ghalib. Kedua pejabat tinggi itu ditugasi oleh Presiden B.J Habibie
untuk melacak kebenaran berita Time, bahwa uang sebanyak US $ 9 Milyar telah
ditransfer dari sebuah bank Swiss ke sebuah bank Austria, tak lama setelah
Soeharto meletakan jabatan sebagai Presiden.
Adjitjondro berpendapat hal itu tidak berhasil karena
3 (tiga):
1. Tranfers dana dari Swiss di Austria terjadi
hampir setahun yang lalu, sekitar bulan juli 1998. Tidak ada jaminan
dana tidak ditransfers ketempat lain. Pemerintah B.J Habibie hampir
setahun terlambat bertindak, sebab transfer dana dari Indonesia ke Austria
sejak September 1998. Sumbernya adalah David Hale, analisis ekonomi Zurich
Insurance yang bertempat tinggal di Chicago. Tetapi Indonesia tidak mengirim
petugas untuk memperjelaskan hal itu dari David Hale.
2. Walaupun Menteri Muladi dan jaksa Agung Andi
Ghalib mengantongi surat permintaan resmi Presiden Habibie kepada kedua kepala
negara Swiss dan Austria untuk membantu pelacakan itu. Surat itu tidak
mempunyai efek apa-apa, kecuali Presiden Habibie secara tertulis meminta
pemerintah negara Swiss dan Austria, meminta untuk membekukan semua rekening
atas Soeharto dan keluarganya dan kroninya di, kedua negara. Surat itu pun
harus mengacu pada UU Swiss yang sejak 1 januari 1983, mewajibkan pemerintah
Swiss bekerja sama dengan negara lain dalam pemberantasan kejahatan
Internasional atau UU IMAC (International
Mutual Assistance in Criminal Matters). Namun syaratnya Soeharto telah
dimeja hijaukan pada waktu itu belum dijadikan tersangka.
3. Sebagai federasi dari kantong-kantong (semacam
negara bahagian) pemerintah federal Swiss tidak dapat memaksa kehendaknya untuk
pemerintah Marcos, mulai dicetus dari bawah yaitu Kantong Zurich pada tanggal
29 Mei 1986 yang kemudian diikuti oleh kantong Jenewa, Lausanne, Fribourg dan
Berne. Hal itu tidak diusahakan oleh Indonesia. Kerahasiaan bank Swiss mulai
menipis karena gempuran dari pengacara Yahudi danpengacar Marcos. Namun untuk
negara Austria, sukar ditembus karena banyak berkas koruptor, dikantor,
pengusaha lebih merasa aman menyimpan harta jarahannya di bank Austria, karena
Austria menawarkan jaminan kerahasiaan bank yang lebih tinggi ketimbang Swiss
(Tempo 9 Juni 1999)
Dari illustrasi di atas nampak bahwa kerahasian Bank
di Indonesia telah lebih terbuka dibandingkan dengan negara Swiss dan
Austrasi. Sehingga kendala secara peraturan perundang-undangan dapat
dikatakan menjadi tidak ada lagi kecuali ada faktor ketiadaan kemauan negara
sendiri untuk mengungkapkan kasus-kasus yang merugikan kepentingan umum.
Untuk mengantisipasi kendala yang timbul karena bank
enggan atau tidak mau memberikan keterangan yang menyangkut rahasia bank, maka
dalam Pasal 47A UUP 1998 telah mengancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 tahun dan paling lama 7 tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp 4 Milyar dan paling banyak Rp 15 milyar, bagi Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan
yang wajib dipenuhi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42A dan 44A.
0 komentar:
Posting Komentar