Ayam broiler
merupakan jenis ayam ras yang dimuliakan dan dibibitkan serta dikembangbiakkan
untuk menghasilkan daging dengan cepat (Abdul Haris, 1997 : 22). Masa panen
ayam broiler singkat. Untuk pertumbuhan yang baik dibutuhkan pakan yang baik,
pemeliharaan dan pencegahan penyakit yang baik. Ayam broiler sepanjang hidupnya
terkurung sehingga segala kebutuhannya dipenuhi oleh manusia (Muhammad Rasyaf,
1985 : 72).
Ditinjau dari
segi mutu, ayam broiler memiliki nilai gizi yang tinggi dibanding daging ternak
lainnya. Dagingnya lembut, berwarna merah terang dan menarik, memiliki asam
amino lengkap serta mudah diolah (Aak, 1987 : 91). Adapun sifat-sifat yang
dimiliki ayam broiler diantaranya :
(1) daging empuk, kulit licin, lunak,
tulang rawan dada belum membentuk tulang yang keras,
(2) ukuran badan besar
dengan bentuk dada yang lebar, padat, dan berisi,
(3) efisiensi terhadap
makanan cukup dan sebagian besar makanan diubah menjadi daging,
(4) pertumbuhan
dan pertambahan berat badan sangat cepat. Umur 7-8 minggu dapat mencapai bobot
kurang lebih 2 kg (Aak,1987 : 12).
Sebagai bahan makanan, ayam broiler saat ini merajai
pemasarannya. Selain murah, dagingnya yang lebih empuk dibandingkan ayam
kampung, menyebabkan masyarakat kita lebih cenderung memilih daging ayam
broiler. Namun demikian, ternyata ayam broiler memiliki kadar kolesterol yang
relatif tinggi dibandingkan ayam kampung. Menurut DepKes RI (1995 : 41) bagian
dada ayam merupakan bagian luar ayam yang terbanyak mengandung kolesterol. Hal
ini disebabkan dada merupakan tempat timbunan lipid, terutama pada bagian
kulitnya yang berminyak.
Kolesterol merupakan produk khas hasil metabolisme hewan.
Dengan demikian semua makanan yang berasal dari hewan, seperti kuning telur,
daging, hati, dan otak sudah jelas mengandung kolesterol (Murray, et. al., 1996
: 248). Biosintesis kolesterol terbanyak berlangsung dalam jaringan hati,
kulit, kelenjar lemak ginjal, kelenjar kelamin.
Kolesterol dapat larut dalam pelarut organik, misalnya
eter, kloroform, benzene, karbon disulfida, aseton, dan alkohol panas, tetapi
tidak larut dalam air, asam atau basa. Pada konsentrasi tinggi, kolesterol
mengkristal dalam bentuk kristal tak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, dan
memiliki titik lebur 150oC – 151oC (Anna Poedjiadi, 1994
: 147 - 150). Di udara terbuka atau terkena sinar matahari langsung, kolesterol
akan teroksidasi secara lambat menjadi senyawa yang memiliki titik lebur lebih
rendah dan akan berubah sifat reaksinya (Otto, 1982 : 213 - 216). Reaksi yang
terjadi dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Keberadaan
kolesterol dalam suatu bahan makanan dapat diisolasi dengan cara ekstraksi
menggunakan pelarut organik. Sedangkan secara kualitatif dapat diidentifikasi
dengan menggunakan Uji Salkowski atau Uji Liebermann – Burchard. Ko-lesterol
mengalami reaksi adisi pada ikatan rangkapnya. Adisi dengan hidrogen membentuk
dihidrokolesterol, dan dengan halogen membentuk kolesterol dihalida. Adapun
reaksi adisi tersebut sebagai berikut :
Pada proses pemasakan /
pengolahan daging ayam broiler, terutama pada pengu-kusan, yaitu pengolahan
makanan dengan uap air mendidih, dapat mempengaruhi keadaan daging yang dimasak
yang berarti mempengaruhi kandungan zat-zat makanan yang terkandung di
dalamnya. Menurut Lawrie (1995 : 261 - 264), suhu yang tinggi pada pengukusan
akan melelehkan lemak dan cenderung merusak struktur yang ada di dalamnya,
salah satunya adalah struktur kolesterol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Efrison (2004) dimana pada organ tubuh ayam broiler yang meliputi
sayap, dada, dan paha mengalami penurunan kadar kolesterol ketika dikukus selama 20, 40, dan 60
menit. Secara jelas hasil penelitian
Efrison dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini :
Organ |
Lama Pengukusan |
Kadar
kolesterol rata-rata organ (mg)
|
Sayap
|
0 menit
20 menit
40 menit
60 menit
|
8,9110
7,0814
4,7754
3,4998
|
Dada
|
0 menit
20 menit
40 menit
60 menit
|
26,5213
18,3610
16,3082
8,1982
|
Paha
|
0 menit
20 menit
40 menit
60 menit
|
18,4824
11,2791
8,5571
5,6685
|
Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa organ dada
memiliki kadar kolesterol tertinggi dibandingkan dengan organ sayap dan paha.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan DepKes RI (1995 : 41) bahwa bagian dada
ayam merupakan bagian luar ayam yang terbanyak mengandung kolesterol, karena
dada merupakan tempat timbunan lipid, terutama pada bagian kulitnya yang
berminyak. Sedangkan pada organ tubuh ayam bagian paha lebih rendah daripada
organ dada, hal ini karena organ paha paling banyak melakukan gerak (berjalan)
sehingga lebih banyak memerlukan energi. Dengan demikian meskipun kadar kolesterolnya relatif cukup
banyak, sebagian besar diubah menjadi energi yang digunakan untuk bergerak.
Organ sayap memiliki kadar kolesterol terendah diban- dingkan kedua organ
lainnya, karena meskipun dalam sayap terdapat timbunan lipid tetapi tidak
sebanyak pada organ dada dan paha. Selain itu organ sayap pada ayam broiler
meskipun dapat digunakan untuk terbang, tetapi
ayam jarang sekali beraktivitas terbang.
Menurut Lawrie (1995 : 261 - 264) kolesterol yang diolah
/ dimasak dengan menggunakan suhu yang tinggi kemungkinan mengalami oksidasi, sehingga struktur molekul
kolesterol-nya mengalami kerusakan dan ketika direaksikan dengan reagen
Liebermann-Burchard maka kolesterol yang telah rusak tersebut tidak dapat
bereaksi menghasilkan warna hijau. Kemungkinan kerusakan lainnya dikemukakan
oleh Otto (1982 : 213 – 216)) yang menyatakan bahwa meskipun kolesterol titik
leburnya 150oC – 151oC, tetapi titik lebur tersebut dapat
turun akibat pemberian panas karena terjadinya oksidasi yang dapat menghasilkan
senyawa yang sifat reaksinya tidak sama ketika dalam bentuk kolesterol. Senyawa
baru tersebut bila masuk ke dalam sistem pencernaan kita tidak terkenali,
sehingga tidak masuk dalam metabolisme dan akhirnya ke luar kembali. Reaksi
pembentukan warna hijau antara kolesterol dengan reagen Liebermann-Burchard
adalah :
Penelitian yang
lainnya tentang kolesterol dilakukan Kritchevsky dan Tepper (1969) yang dikutip
oleh Lawrie (1995 : 264), memberikan hasil bahwa kadar kolesterol dalam daging
sapi yang dimasak dengan cara dioven lebih rendah dibandingkan bila tidak
dimasak. Mengingat kolesterol yang terdapat dalam daging sapi sama dengan yang
terdapat dalam ayam broiler, maka bila daging ayam broiler dimasak dengan cara
dioven akan mengalami penurunan kadar kolesterol juga. Pengolahan daging dengan
dioven artinya daging tersebut dimatangkan dengan temperatur dan suhu yang
tinggi, sehingga tulangnyapun menjadi lunak. Oleh karena itu daging yang diolah
melalui cara oven sangat baik dalam menurunkan kadar kolesterol, sebab semakin
tinggi suhunya semakin cepat oksidasi terjadi, sehingga semakin banyak struktur
kolesterol yang rusak.
Pengolahan daging lainnya adalah
dengan cara direbus. Perebusan berbeda dengan pengukusan, sebab dalam perebusan
daging dari awal pemanasan sudah kontak air yang semakin tinggi suhunya,
sedangkan pada pengukusan daging mengalami kontak dengan air ketika sudah
berubah menjadi uap air. Daging yang direbus secara perlahan-lahan telah menjadi
empuk seiring dengan pertambahan suhu air, sehingga ketika mendidih waktu yang
diperlukan untuk mematangkan tidak terlalu lama. Oleh karena kolesterol hanya
mengalami kerusakan ketika suhu tinggi, maka ini berarti perebusan relatif
tidak banyak memberikan penurunan kadar kolesterol pada daging. Berbeda halnya
bila daging tersebut dikukus, karena daging mengalami pematangan hanya ketika
air telah mendidih dan menghasilkan uap air. Oleh karena kontak antara daging
dan uap air baru terjadi setelah air mendidih, maka waktu pematanganpun menjadi
lebih lama, sehingga kerusakan kolesterolnyapun akan lebih banyak.
Pengolahan daging dengan cara
dibakar (disate) merupakan cara yang kurang tepat bila kita menginginkan kadar
kolesterol dalam daging tersebut berkurang. Hal ini karena pada pembakaran
daging (pembuatan sate) biasanya suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi
dimana daging langsung kontak dengan sumber api, sehingga suhu pembakaran tidak
cukup untuk membuat kerusakan struktur kolesterol. Oleh karena itu, bagi
seseorang yang kadar kolesterol darahnya tinggi sangat disarankan untuk tidak
mengkonsumsi sate, terutama sate kambing yang memang kadar kolesterolnya
tinggi.
Menggoreng daging adalah cara yang
wajar dilakukan masyarakat kita ketika akan mengkonsumsinya. Bahan utama dalam
menggoreng adalah minyak goreng yang berfungsi sebagai pengantar panas,
penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winarno, 2002 :
95). Kualitas minyak goreng ditentukan oleh titik asap, yaitu suhu pemanasan
minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan
rasa gatal pada tenggorokan. Semakin tinggi titik asapnya semakin baik kualitas
minyak goreng, karena titik asap yang tinggi relatif sulit untuk dicapai. Hal
ini berarti bila kita ingin menggoreng daging, sebaiknya tidak sampai mencapai
titik asapnya agar tidak terbentuk akrolein.
Minyak
yang telah digunakan untuk menggoreng, titik asapnya akan turun, karena telah
terjadi hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya hidroli-sis,
pemanasan minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari
yang seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan berkisar antara 177oC
– 211oC, sedangkan suhu perebusan atau pengukusan hanya 100oC
yang merupakan titik didih air. Ketika
kita menggoreng daging pada suhu penggorengan tersebut, berarti suhunya lebih
tinggi dari suhu dimana air mendidih (titik didih air), sehingga sudah pasti
kolesterol yang rusak lebih banyak. Namun hilangnya kolesterol dari daging yang
digoreng seringkali mendapat ganti dari kolesterol yang terkandung dalam minyak
goreng. Dengan demikian kolesterol dalam daging yang digoreng masih tetap
tinggi. Kenyataan inilah yang mendorong para produsen minyak goreng untuk
mengeluarkan produk minyak goreng non kolesterol, agar tidak menyebabkan
pertambahan kolesterol pada makanan apapun yang diolah dengan menggunakan
minyak sebagai bahan baku menggoreng.
Kelima
cara pengolahan daging sebelum dikonsumsi yang diuraikan di atas merupakan
informasi penting bagi masyarakat kita, terutama bagi yang menderita jantung
koroner dan lain-lain penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar kolesterol
darah. Dengan mempertimbangkan hal di atas, maka minimal kita sudah mencoba
pola hidup sehat, khususnya menjamin kesehatan diri kita sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar