Riwayat hidup Seicho Matsumoto akan saya bagi dua bagian yaitu kehidupan
sebelum menjadi penulis dan awal
kehidupan sebagai penulis.
Kehidupan sebelum menjadi penulis
Seicho Matsumoto lahir di kota
Kokurakitaku, Kyushu, tanggal
11 Desember 1909 zaman Meiji tahun 42 dari seorang
ayah yang bernama Minetaro Matsumoto
dan seorang ibu yang bernama Tani Okada. Setelah ia berusia satu tahun, keluarganya pindah ke kota Shimonoseki, sebuah kota di tepi laut. Ibunya
terpaksa menjual kue untuk menghidupi keluarga
karena ayahnya yang tidak menyukai pekerjaan kasar. Ayah Seicho lebih menyukai sejarah dan politik
Jepang sehingga hal ini selalu menjadi bahan cerita sebelum tidur bagi anaknya.
Pada zaman Taisho tahun ke-5 (1916), bersamaan dengan saat Seicho memasuki sekolah kelas satu, hubungan kedua
orangtuanya pun kurang harmonis
sehingga ayahnya pun memutuskan untuk pergi meninggalkan
rumah. Kondisi ekonomi keluarganya
memburuk, ia dan ibunya terpaksa tinggal menumpang bersama tetangga. Setahun kemudian, ayah Seicho kembali pulang ke
rumah dan membuka toko makanan. Namun sifat ayahnya yang pemalas membuat bisnisnya berantakan dan Seicho memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah.
Hidup dalam lingkungan yang keras bagi anak
seusianya, membuat ia merasa tidak tentram. Seicho sangat mengharapkan kehidupan
keluarga yang harmornis dengan keadaan ekonomi yang berkecukupan. Latar belakang ini mendorong niatnya untuk bekerja dan membantu
perekonomian keluarga. Karena dalam hidup Seicho Matsumoto, keluarga adalah segalanya.
Setamat dari Sekolah Dasar, ayah Seicho membawanya
ke sebuah agen pekerjaan. Dengan postur badan yang kurus kecil, ayahnya
berharap bahwa anaknya dapat mendapatkan
pekerjaan yang baik tanpa harus menguras tenaga.
Dari agen pekerjaan tersebut, Seicho Matsumoto diperkenalkan ke Kitagawa Denki, sebuah perusahaan yang memproduksi kipas angin listik dan kompor gas.
Ia menerima gaji sebelas yen per bulannya, jumlah yang tidak banyak
pada waktu itu, namun
cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga sehari-hari.
Dalam kurun waktu 3 tahun, Seicho banyak membaca buku-buku sastra. Salah satu pengarang favoritnya adalah Akutagawa
Ryunosuke dan Kikuchi Kan. Ia berkenalan dengan orang-orang yang memiliki hobi yang sama dan menjadi
teman-teman baik bagi dirinya. Namun ada beberapa diantaranya
yang berminat dengan karya sastra
proletariat, sehingga ia juga membaca beberapa majalah
seperti Bungei Sensen.
Pada zaman Showa tahun ke-2 (1927)
terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan perusahaan Kitagawa Denki ditutup, ia pun kehilangan pekerjaann dan menganggur
cukup lama. Namun karena tingkat pendidikan yang rendah, sulit bagi Seicho
untuk
mendapatkan pekerjaan
yang baik. Untuk menggalau kerisauan
hatinya, ia sering ke
toko buku untuk membaca buku-buku pariwisata sebagai
pelampiasan keinginnannya untuk berjalan-jalan.
Suatu hari, ia berjalan
dan melihat iklan lowongan kerja
sebagai penggambar di perusahaan
percetakan. Dengan bakat menggambarnya, ia akhirnya diterima dengan gaji sepuluh yen per bulan. Ia
bekerja keras sehingga banyak mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai
pembuatan plat. Karena sering lembur,
akhirnya Seicho jatuh sakit. Ia hanya dapat beristirahat dirumah karena keterbatasan ekonomi
keluarga, ditambah dengan
hutang-hutang keluarga yang belum terlunasi.
Pada zaman Showa tahun ke-3 (1928), terjadilah San Ichigo Jiken.
Pemerintah mulai menangkap
orang-orang yang berhubungan dengan
partai komunis. Showa tahun ke-4
(1929), Seicho Matsumoto ditangkap karena dicurigai
sebagai anggota komunis, sehubungan dengan majalah
Bungei Sensei yang pernah ia baca.
10 hari kemudian, Seicho
Matsumoto dinyatakan tidak bersalah
dan dibebaskan. Oleh karena
khawatir dan sayang
terhadap anak, ayah
Seicho membakar dan melarang anaknya membaca buku-buku
sastra.
Showa tahun ke-8
(1933), untuk pertama kalinya Seicho Matsumoto pergi ke Hataka (Fukuoka) untuk bekerja dan mencari pengalaman di bidang pembuatan plat di perusahaan percetakan
terbesar yang bernama Shimai.
Showa tahun
ke-11
(1936),
Seicho
Matsumoto
menikah
dengan Neko Uchida. Seiring dengan keahliannya
dibidang percetakan, pendapatannya
pun meningkat. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena
pemilik perusahaan meninggal dunia yang
membuatnya
kehilangan pekerjaan lagi.
Showa tahun
ke-12
(1937),
musim
gugur, Seicho Matsumoto mendengar kabar bahwa Asahi
Shinbun akan membuka cabang di kota Ogura, tempat tinggal Seicho.
Ini merupakan kesempatan emas
baginya untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Ia menulis surat lamaran dengan rasa kesungguhan hati untuk bekerja sehingga ia mendapatkan
panggilan wawancara di
perusahaan ini. Setelah wawancara, akhirnya ia diterima
sebagai pegawai sementara. Gaji yang
ia terima dihitung berdasarkan jumlah cetakan yang ia buat. Ia juga menerima
pekerjaan lain untuk menambah penghasilannya.
Selama bekerja 20 tahun, Seicho Matsumoto merasa sering tidak dihargai oleh atasan maupun rekan kerjanya. Ia juga terlalu sibuk bekerja sehingga tidak ada waktu untuk
membaca
buku-buku sastra.
Pada zaman Showa tahun
ke-17 (1942), Seicho
Matsumoto menjalankan wajib militer dan dikirim
ke Korea, sebagai prajurit yang bertugas untuk membeli obat-obatan,
memasak,
dan mencuci pakaian.
Seiring waktu
perang
yang
berlanjut, persediaan bahan makanan pun menjadi
menipis. Para tentara kekurangan
lauk-pauk sehingga memakan
tumbuhan liar, yang mengakibatkan wabah
penyakit
beri-beri.
Oleh karena
itu untuk menghindari para tentara memakan tumbuhan-tumbuhan liar beracun tersebut maka
Seicho ditugaskan untuk menggambar tumbuhan-tumbuhan liar yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan.
Melalui gambar-gambar yang dibuat
oleh Seicho, banyak tentara yang
terselamatkan, karena dapat membedakan mana
tumbuhan yang boleh dimakan dan mana yang tidak. Komandan
prajurit sangat menghargai bantuan
dan usaha Seicho, suatu penghargaan yang
tidak
pernah
ia
terima sewaktu bekerja di Asahi Shinbun. Setelah Jepang dinyatakan
kalah, Seicho kembali ke tanah airnya dan
bekerja lagi di Asahi Shinbun.
Awal Kehidupan
Sebagai Penulis
Zaman Showa tahun ke-25 (1951), Majalah penerbitan yang bernama Shukan Asahi mengadakan kontes Hyakumannin no Shosetsu. Juara pertama akan mendapat
uang sebesar 300 ribu yen, jumlah yang
cukup besar
pada waktu itu. Bagi Seicho Matsumoto ini adalah kesempatan emas untuk mengikuti kontes
dan memenangkan hadiah
uang yang dapat menghidupi keluarga.
Pada bulan Juni, Shukan Asahi mengumumkan Seicho Matsumoto sebagai
pemenang ketiga,
dengan cerpen yang bernama Saigousatsu.
Ia mendapatkan hadiah sebesar 100
ribu yen.
Di tahun
berikutnya cerpen Saigousatsu masuk ke nominasi penghargaan Nouki. Naoki adalah suatu penghargaan sastra
yang diberikan kepada penulis novel sastra terbaik. Setelah
peristiwa ini ia berharap ada
perusahaan penerbit yang datang untuk memintanya menulis naskah, namun harapan
ini tidak kunjung datang.
Zaman Showa tahun
ke-27 (1952), ia mendapat
rekomendasi dari Taro Kikitaka untuk menulis naskah di majalah
sastra Yamada Bungaku. Karya Aruru Ogura Nikkiden miliknya diterbitkan oleh Yamanda Bungaku dan mendapatkan penghargaan Akutagawa.
Seicho
Matsumoto memutuskan
mengajukan permintaan mutasi kerja ke Tokyo. Selama di Tokyo, ia bekerja keras dan berusaha membawa
keluarganya ke kota ini. Zaman Showa
tahun ke-29 bulan 7 (1954), akhirnya ia dapat membawa keluarganya pindah dan tinggal
di
apartemen. Ia memutuskan untuk berhenti bekerja di Asahi Shinbun dan fokus menjadi seorang penulis novel detektif.
Menurut Wikipedia (2009), cerita detektif adalah cabang fiksi kriminal yang
berpusat atas penyelidikan sebuah kejahatan,
umumnya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang, baik secara amatir atau profesional.
Manji (2000:201) mengatakan, “Suiri shosetsu”
adalah salah satu jenis novel. Dalam novel ini, biasanya menceritakan tentang pembunuhan,
perampokan, penculikan, penipuan dan lain-lain. Selain itu, di dalam novel ini juga menggambarkan bagaimana
sebuah kejahatan terjadi dan akan mengarahkan rangkaian kejadian tersebut ke arah
rasional. Inilah yang merupakan titik awal
munculnya sebuah jenis aliran novel yang disebut dengan “Misteri”
yang disebarluaskan di berbagai media.
Di Jepang muncul bermacam-macam jenis-jenis novel detektif seperti
novel hardboiled eggs, novel suspense, novel polisi, novel yang berisikan
tentang mata-mata dan
lain-lain. Namun salah satu jenis
novel detektif Seicho Matsumoto adalah novel Shakaiha. Menurut Manji (2000:201) mengatakan bahwa
Shakaiha merupakan
salah satu jenis dari Suirishosetsu. Istilah Shakaiha merupakan
sebuah istilah yang dipakai
untuk menggambarkan latar belakang sebuah kasus yang berhubungan erat dengan sebuah pola hidup masyarakat.
Selain menggambarkan sebuah pola hidup masyarakat,
juga menggambarkan kasus kejahatan
yang terjadi dalam kehidupan nyata atau kasus kejahatan yang bersifat non-fiksi,
dan di balik kasus-kasus kejahatan yang diceritakan, novel ini biasanya juga akan
memberikan gambaran tentang penyakit masyarakat
yang tersembunyi. Novel yang tergolong
seperti ini, di Jepang telah ada sejak
era tahun 1960an dan berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dalam jangka waktu tersebut telah
menjadi diwakili dari novel-novel tergolong Shakaiha adalah novel-novel karya Seicho Matsumoto.
Seusai Perang Dunia II, Seicho Matsumoto menjadi salah satu sastrawan Jepang yang terkenal
dan juga sangat digemari oleh kalangan masyarakat Jepang. Dia mendapatkan Akutagawa Prize pada tahun 1952 sebagai penulis terbaik
dalam cerita detektif. Nama asli Seicho Matsumoto adalah
Kiyoharu Matsumoto, Seicho adalah nama pena yang digunakan hanya di dunia sastra. Dibandingkan dengan sastrawan lainnya, masuknya Seicho Matsumoto ke dunia sastra Jepang bisa dikatakan termasuk terlambat.
Di dalam dunia sastra Jepang terdapat
empat kata, yakni Seicho Kakumei (清張革
命 ) yang memiliki makna revolusi Seicho. Makna dari kata ini
adalah
Seicho
Matsumoto telah mengubah cerita detektif yang ada di
Jepang, sehingga membuat cerita tersebut lepas
dari khayalan dan lepas dari cerita yang dianggap terlalu
berlebihan. Novel Seicho Matsumoto lebih menggambarkan kenyataan dan kejadian yang terjadi di
sekitar kehidupan sehari-hari. Di dalam novelnya, Seicho Matsumoto lebih
mementingkan
motif kejahatan dan asal usul mengapa si pelaku harus melakukan kejahatan. Pada umumnya motif kejahatan
yang diceritakan berkisar
tentang cinta segitiga, balas
dendam dan perebutan harta warisan
namun
ditambahkan
beberapa
konflik seperti penjabat yang korupsi, atau organisasi yang melakukan
kejahatan. Motif kejahatan
yang disesuaikan dengan masalah yang terjadi di kalangan
masyarakat dituangkan ke dalam
isi novel dan membuat isinya bertambah luas dan mempunyai arti yang lebih dalam lagi.
0 komentar:
Posting Komentar