Aku membuka
dompetku, masih ada uang tiga rupiah untuk becak pulang. Itu adalah uangku yang
terakhir dan sampai akhir bulan aku takkan punya uang lagi. Tapi aku tak pernah
cemas.
Aku memang tak
pernah cemas dalam soal uang, seperti aku tak pernah cemas akan jatuh sakit.
Aku merasa sedikit mujur karena untuk dua-duanya itu aku takkan jadi sekarat.
Aku tiba-tiba ingat ibuku, yang fotonya ada di balik kaca plastik dalam
dompetku.
Biasanya, kalau
aku ingat ibu, terasa ada sesuatu yang menggelepar dalam dadaku, karena aku
tahu bahwa aku adalah anaknya, karena aku tahu aku tak sempat berbakti
kepadanya seperti layaknya anak-anak terbaik dan ibu-ibu di dunia ini. Buatku
ibu adalah kenang-kenangan yang menggelepar, sebab ia merupakan masa lampau
yang hidup tanggung-tanggung dalam angan-anganku, karena aku cuma bisa sedikit
sekali untuk mengingat wajahnya, kata-katanya yang lembut, dan kesabarannya
yang besar. Suatu saat aku merasa goyah bila aku dihinggapi rasa sentimentil,
sebab tiba-tiba merasa tidak akan punya lagi seseorang tempat aku membagi-bagi
keindahan hidup ketika aku sedang bahagia dan menceritakan dukacita, ketika aku
sedang dihantam kesedihan. Waktu itu aku merasa seperti kanak-kanak yang manja,
kanak-kanak yang telah berusia seperempat abad yang menangis, biarpun aku sadar
juga bahwa air mataku sudah kering untuk semuanya itu.
Kuangkat
kepalaku, kulihat mukaku sendiri di kaca. Tapi yang dalam kaca itu bukanlah
wajahku. Wajah itu adalah wajah seorang jejaka tua berumur kira-kira tiga puluh
lima tahun dengan uban-uban di atas telinganya. Jejaka itu selama ini sudah
amat cemas menghadapi hidup dan terutama wanita. Tapi kemudian ia datang ke
rumah seorang gadis yang sudah jadi perawan tua pula dan ingin meminang gadis
itu. Tapi mereka bertengkar. Mereka bertengkar bukan dalam hal pertunangan atau
perkawinan.
Mereka
bertengkar pada soal-soal kecil yang tak pantas dipertengkarkan, sehingga
hampir saja lamarannya dikembalikan. Namun untuk suatu sukses tak penting pada
cara memulainya, tapi bagaimana cara mendapatkannya kemudian. Kemudian ternyata
lamarannya diterima oleh calon mertua dan gadis itu, dan kemudian diciumnya
tangan perawan tua itu berkali-kali.
Aku mendengar
kembali bagaimana sambutan orang ramai bersorak-sorak atas kemenangan jaka tua
itu, Mereka adalah penonton-penonton suatu kehidupan.
Kini seharusnya
aku melihat di kaca itu wajah berseri-seri dan jaka tua itu sebab lamarannya
telah diterima. Tapi tidaklah demikian, sebab wajahnya murung.
Kuhapus wajahku
dengan handuk. Aku pergi mencuci muka dan rambutku dan kembali ke kaca. Kini
yang kelihatan di kaca itu bukan wajah jejaka tua itu tapi wajahku sendiri yang
baru berusia mendekati dua puluh empat tahun. Dan tiba-tiba, dari sudut kaca
itu kelihatan pintu kamar terbuka. Dua orang berdiri di pintu.
“He, kukira tak
ada orang lagi di kamar rias ini,” kata yang perempuan.
“Lagi apa kau?”
tanya yang lelaki.
“Engkau
tampan,” pikirku. “Engkau lelaki tampan yang menjadi impian tiap-tiap wanita.”
Melewati kaca besar dihadapanku aku menyalam. Yang tampan mengangguk senyum dan
ketika senyum ia semakin tampan. Kukira ia mirip Glenn Ford kalau tersenyum,
dengan gigi yang tak ditunjukkannya itu. Dan yang di sebelahnya juga tersenyum.
Wajahnya tidak mirip siapa-siapa.
Wajahnya cuma
satu itu di dunia ini. Setengah jam sebelum itu ia menjadi seorang perawan tua
yang dilamar oleh jejaka tua.
Mereka masih
berdiri di pintu.
“Mari pulang
bersama-sama.”
“Mengapa kau
masih di situ? Kau sakit?” Gadis itu masuk. Ia membawa bungkusan.
“Kami membawa
oleh-oleh pisang goreng untuk mama. Biar mama senang, sehabis aku main
sandiwara ada oleh-oleh pembuka pintu.”
Lalu yang
lelaki, yang tampan, berkata, “Kau mau pisang goreng?”
“Terima kasih.”
Mereka menjadi
kaku dan kulihat sekilas di kaca yang lelaki memberi isyarat agar ke luar dan
yang gadis menerima isyarat itu setelah menepuk punggungku. Di luar kudengar
suara mereka, barangkali dia sakit.
Lalu kuingat
pisang goreng itu. Kenapa tidak kuterima? Aku paling suka pada pisang goreng,
dan sewaktu latihan-latihan aku minta pada sutradara agar makanan dalam
istirahat latihan dibelikan pisang goreng. Biasanya aku berlatih agak malas
tanpa pisang goreng.
Lalu kuingat
lagi pisang goreng itu. Tapi kini pisang goreng itu bukan sebagai suatu jenis
makanan kesukaanku dan enak dimakan. Aku ingat perkataan gadis itu, “Pisang
goreng itu sebagai pembuka pintu sehabis main sandiwara.”
Ingat pada
pisang goreng, aku ingat kembali pada ibuku. Aku ingat bagaimana aku mengintip
lewat lubang kunci ibuku tertidur dengan kepala di atas meja menantikan kami
pulang. Ayah menjentik bahuku tanda aku boleh mengetuk pintu. Lalu kuketuk
pintu.
“Ma? Ma? Mam?”
teriakku kecil. Lalu kuintip lagi lewat lubang kunci. Ibu sudah berdiri dan
membetulkan rambutnya.
Aku menoleh
kepada ayah dan menunjukkan jempol jariku tanda keadaan tidak berbahaya. Ayah
selalu memperingatkan, kalau wajah ibu cemberut aku harus menambahkan sebuah
kalimat lagi.
“Aku membawa pisang goreng mam!”
Pintu pun terbuka dan kuberikan bungkusan pisang goreng.
Biasanya, ayah tidak berkata suatu apa lalu terus ke kamar mandi untuk
mencuci muka, membersihkan sisa-sisa coretan di mukanya.
Waktu ayah di kamar mandi, biasanya ibu bertanya, “Bagaimana main papa
tadi?” Aku biasanya berteriak girang, “Tentu, tentu hebat. Penonton-penonton
menjawer sapu tangan dan duit!”
Tapi malam aku pulang itu ibu tak bertanya. Namun aku tetap
menceritakan permainan ayah sebagai si Momba yang kejam adalah baik dan
penonton-penonton bertepuk riuh dan menjawerkan sapu tangan-sapu tangan dan
duit dan orang-orang melihat-lihat kepadaku.
“Mam,
orang-orang ada yang tahu aku ini anaknya papa! Mereka memegang-megang rambutku
dan aku marah-marah seperti Momba!” Aku berharap ibu tertawa. Tapi ibu tidak
tertawa mendengar ceritaku dan aku menunjukkan pisau besar dari karton yang
berbacah-bacah darah gincu.
“Mereka itu
semua tolol-tolol, Ma. Mereka menjerit-jerit. Perempuan-perempuan
menjerit-jerit dan menangis ketika papa menikamkan pisau ini ke perut Maharani
yang bunting itu. Perempuan-perempuan menangis-nangis melihat papa mengeluarkan
orok yang berdarah-darah dari perut Maharani yang bunting itu. Tapi aku
ketawa-tawa, Mam. Penonton-penonton itu bodoh-bodoh, ya Mam? Ya, Mam?”
Ibuku ketawa.
Sangat mahal terasa ketawa itu. Aku melihat ayah muncul masih membersihkan
mukanya dengan handuk dan menyeret aku cepat-cepat kekamar.
Ayah berbisik,
“Ibumu kenapa merengut?”
“Ibu ketawa.
Bukan merengut, kok,” kataku.
Lalu aku ke
luar kamar lagi sebab kamarku berada di sebelah kamar mereka. Kulihat pisang goreng yang kami beli tadinya belum
disentuh ibu. Ibu hanya duduk di meja. Dari kamarku kuintip ibu sedang duduk
saja. Kemudian kudengar ibu memanggil nama ayah dan ayah keluar dan ayah duduk
dan mereka berkata pelan-pelan dan tidak kudengar percakapan mereka dan bila
pun kudengar aku tak mengerti.
Malam itu aku
susah untuk tidur. Barangkali mereka bertengkar. Barangkali kami pulang terlalu
larut dan ibu bosan dengan pisang goreng. Barangkali ibu marah-marah pada ayah.
Tapi ibu tak pernah marah pada ayah dan mereka tidak pernah berkelahi seperti
tetangga-tetangga kami. Waktu itu aku teringat pada si Bakar yang selalu
menyebut namanya dengan “Bakau” karena tidak bisa menyebutkan bunyi “r”. Aku
ingat bagaimana siang harinya aku dan Bakar menyelusuri kota kami. Di depan
gedung komidi tertulis.besar-besar huruf- huruf MAHARANI dan tertulis nama
ayahku. Di dekat pojok Bank Escompto ada lagi didirikan papan besar dengan
huruf itu juga dan tertulis juga nama ayahku.
Aku berkata
bahwa warna hijau pada poster itu akulah yang mencatnya, disuruh ayah. Dan aku
juga berkata pada Bakar, huruf A dari nama ayahku itu aku yang mencatnya.
Kami pergi lagi
ke dekat lapangan sepakbola dan poster sebuah lagi ada di sana dan aku tak
berani mengatakan apa-apa. Sebab sekali aku pernah berbohong bahwa poster itu
sebagian besar aku yang membuatnya. Bohongku ketahuan dan aku terus saja
mengaku bahwa memang aku berbohong. Aku ingat lagi bagaimana aku berdiri
sore-sore di depan gedung komidi yang terletak di jantung kotaku, seakan-akan
menyuruh-nyuruh agar orang membeli karcis dan seakan-akan hendak menyatakan
bahwa ayahkulah yang main sebagai Momba yang mengerikan dan akan kukatakan
bahwa ayahku pemain baik.
Bila layar
terbuka dan penyanyi-penyanyi menyanyi aku menjadi gelisah. Aku katakan pada
orang di sebelahku, bahwa sehabis nyanyi “Hampir Malam Di Jogya”, itu tandanya
sandiwara akan mulai.
Sandiwara
dimulai benar-benar setelah lagu “Hampir Malam Di Jogya” berakhir. Aku tidak
ingat lagi bagaimana cerita sandiwara itu. Yang kuingat adalah ayahku bermain
sebagai Momba yang kejam yang membunuh Maharani yang cantik. Ayah mencabut
pisaunya. Perempuan -perempuan menggumam ngeri dan aku berbisik memberitahu,
“Itu bukan pisau betul-betulan. Itu cuma karton!” Perempuan itu marah-marah.
Aku berdiri melihat ke belakang dan seakan-akan mengatakan itu pada penonton di
belakang dan akan mengatakan juga, bahwa yang memegang pisau karton itu adalah
ayahku. Pisau karton itu tiba-tiba menggelegar sebab tangan ayahku menggigil.
Dan ayahku berteriak dengan suara seperti hantu kubur, “Mahaaaaaraniii!”
Penonton- penonton ngeri dan gedung komidi menggumamkan suara penonton dan aku
berdiri lagi dan akan berteriak, kamu tolol semua.
Ayahku
pura-pura marah itu! Ayahku berteriak lagi, “Mahaaaaaraniiii!” dan kemudian
tertawa besar menggetar, “Ha-ha-ha-ha-ha!” dan ayah berteriak, “Maharani” lagi
dan aku membalikkan tubuhku ke arah penonton belakang lagi dan akan
menenteramkan hati mereka yang ngeri dan menyatakan bahwa ayahku pura-pura dan
ayahku itu adalah ayahku!
Ayahku dengan
rambut kusut masai macam hantu kemudian akan menikamkan pisau karton itu ke
perut Maharani yang bunting. Kemudian Maharani menjerit keras-keras dan
perempuan di sebelahku menutup mukanya dan aku berbisik, “Jangan takut,
perempuan itu cuma pura-pura.” Tapi perempuan di sebelahku tetap menutup
mukanya.
Kulihat pisau
karton itu seakan-akan menembus ke perut Maharani dan ayahku tertawa
keras-keras lagi ha-ha-ha, dan kemudian, ayah mengeluarkan orok dari perut
Maharani yang bergelimang darah. Aku akan mengatakan
sesuatu sekarang. Aku berdiri menghadap ke belakang. Aku akan mengatakan pada
penonton-penonton yang ketakutan dan menangis-nangis itu, bahwa orok itu
bukanlah orok betul-betulan. Itu adalah popi-popi
si Aci. Si Aci adalah adikku. Itu bukan orok, itu popi dan popi bukan orok.
Kamu semuanya tolol-tolol.
“Aduh,
seremnya,” kata seorang perempuan tua di belakangku.
“Tidak serem,”
kataku membantah.
“Serem. Anak
kecil sialan!”
“Itu
bohong-bohongan saja!” kataku.
“Lihat
darahnya!” kata perempuan tua itu.
“Itu bukan
darah betul-betulan,” debatku. “Itu gincu saja. Itu
gincu!”
Perempuan tua
itu berdiri dan memegang leherku. Aku dimaki-makinya dalam bahasa Lampung
totok. Aku duduk sekarang.
Aku jengkel dan
ingin mengumumkan lewat mikropon itu rasanya bahwa kalian itu bodoh-bodoh
semua. Biasanya di sekolah kuceritakan semua cerita bohong itu kepada
kawan-kawan sekelasku, atau kuceritakan di rumah pada adikku yang kecil, tentang
popinya yang menjelma jadi orok, kepada ibuku yang sudah bosan, kepada siapa
saja yang mau mendengar ceritaku.
Malam ini aku
teringat lagi pada ibuku, terutama ibuku. Aku ingat sejak malam beliau tak
bergembira itu, ayah tak pernah main sandiwara lagi dan asyik dengan permainan
brigde.
Aku berdiri dan
kulihat lagi wajahku di kaca. Jauh lain dari ia yang dulu, penuh naf'su dan
keberahian hidup. Aku ke luar dari kamar rias. Sepi gedung pertunjukan. Penjaga
gedung sedang menyapu. Aku ke luar gedung. Sepi jalan raya. Aku berjalan
menyelusuri Malioboro. Aku teringat pisau karton itu. Hanya pisau dari karton
untuk menyatakan peristiwa pura-pura saja.
Tapi mungkin
bagi ibuku dulu pisau karton itu adalah pisau yang sebenarnya buat beliau, aku
tidak tahu benar. Aku waktu itu masih terlalu kanak-kanak untuk mengetahui
kesedihan ibuku, kesedihan banyak orang. Aku waktu berjalan itu tidak peduli
lagi apakah mereka tahu atau akan tahu, bahwa akulah yang bermain sebagai
jejaka tua dalam cerita Anton Chekov yang barusan beberapa jam lalu kuperankan.
Aku lalu ingat
pada sebuah cerita pendek Anton Chekov tentang seorang suami yang kematian
istrinya, yang memuji-muji kejujuran istrinya sebagai perempuan setia, tapi
yang semasa hidupnya disebarkannya berita bahwa istrinya main mata dengan
kepala polisi di kota itu. Benih berita itu disebarkan si suami supaya
orang-orang tidak mengganggu istrinya yang cantik dan orang takut mengganggu
bukan sebab dia, tapi sebab orang-orang itu tentu akan takut pada kepala polisi
itu.
Kubuka pintu
kamar tempat aku memondok. Tidak ada seorang menunggu di kamar. Ada sebuah
patung seorang tua yang bongkok di atas mejaku. Ia memegang tongkat. Patung itu
kubeli di Bali dengan harga murah sekali, — setahun yang lalu. Di belakang
patung itu ada kertas-kertas bekasan beberapa cerita pendekku yang tak jadi. Di
belakang ada buku-buku pocket kumpulan cerita pendek atau novel atau roman dari
pengarang-pengarang besar. Mereka banyak menceritakan tentang perempuan, banyak
sekali.
Ketika
kutaruhkan diriku di tempat tidur, tiba-tiba aku merasakan seakan-akan aku
telah punya istri yang tertidur disebelahku.
Seakan-akan
kudengar kata-kata, “Betapa pun, jagalah kesehatan engkau.”
Aku tidak malu,
bahwa memang aku pernah punya angan-angan demikian.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar