Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai
atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan.
Pada masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas
kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme,
batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah tersebut, dan
berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah
yang lebih umum digunakan adalah batas nasional.
Dengan menggunakan pendekatan regional, maka
wilayah dibedakan menjadi :
1.
Wilayah
Formal. Merupakan suatu wilayah yang dicirikan berdasarkan
keseragaman atau homogenitas tertentu. Oleh karena itu, wilayah formal sering
pula disebut wilayah seragam (uniform region). Homogenitas dari wilayah
formal dapat ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau alam ataupun kriteria
sosial budaya. Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik didasarkan pada
kesamaan topografi, jenis batuan, iklim dan vegetasi. Misalnya wilayah pegunungan kapur (karst),
wilayah beriklim dingin, dan wilayah vegetasi mangrove. Adapun wilayah formal berdasarkan
kriteria sosial budaya seperti wilayah suku Asmat,
wilayah industri tekstil, wilayah Kesultanan Yogyakarta,
dan wilayah pertanian sawah basah.
2.
Wilayah
Fungsional. Merupakan suatu
wilayah yang di dalamnya terdapat banyak hal yang diatur oleh beberapa pusat
kegiatan yang satu sama lain saling berhubungan misalnya kota terdapat berbagai
pusat kegiatan mulai dari CBD, perkantoran, pasar
dan seterusnya yang satu sama lain dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Wilayah fungsional lebih bersifat dinamis dibandingkan dengan wilayah
formal.
“Ruang” adalah wadah kehidupan manusia
beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan
ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur,
yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat
berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya
membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas
secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah.
Wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu unit
geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung
secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan
sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak
sama.
Konsep-konsep wilayah klasik, yang
mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik
dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling
berinteraksi secara fungsional;
1) Wilayah homogen, yaitu
wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan
pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak
dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat
dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang
seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam
penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung
utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan
permasalahan masing masing wilayah;
2) Wilayah nodal, menekankan
perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya.
konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti
dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma
adalah daerah belakang ( hinterland );
3) Wilayah sebagai sistem,
dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki
keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan;
4) Wilayah perencanaan adalah
wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu
pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu
perencanaan secara integral;
5) Wilayah
administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada
dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi
atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang dipilih
tergantung dari jenis analisis dan tujuan perencanaannya. Sering pula wilayah
administratif ini sebagai wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai
suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam
pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya.
Daerah, dalam konteks pembagian
administratif di Indonesia, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah
terdiri atas Provinsi,
Kabupaten,
atau Kota.
Sedangkan kecamatan,
desa, dan kelurahan
tidaklah dianggap sebagai suatu Daerah (daerah otonom). Daerah dipimpin oleh
Kepala Daerah (gubernur/bupati/ walikota),
dan memiliki Pemerintahan Daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
PENGEMBANGAN WILAYAH
Kegiatan pengembangan wilayah adalah
suatu kegiatan yang memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan sifat
birokratis dalam mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan istilah
“seyogyanya” dan sifat terapan biasanya menggunakan istilah “seharusnya”.
Dengan demikian, pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan
dan dapat pula tidak digunakan dalam kegiatan pengembangan wilayah
tergantung kemauan politis pemegang kekuasaan. Suatu pendekatan yang sudah
dipilih dan diputuskan oleh pengambil keputusan politis maka “harus”
dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan dan “tidak boleh” menggunakan yang
lain.
Regional science is a field of the social sciences
concerned with analytical approaches to problems that are specifically urban, rural, or regional. Topics
in regional science include, but are not limited to location theory
or spatial economics, location modeling, transportation, migration analysis, land use
and urban development, interindustry analysis, environmental and ecological
analysis, resource management, urban and regional policy analysis, geographical information systems, and spatial data analysis. In the broadest
sense, any social science analysis that has a spatial dimension is embraced by
regional scientists.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_science).
Regional development is the provision of aid and other assistance
to regions which are less economically developed. Regional
development may be domestic or international in nature. The implications and
scope of regional development may therefore vary in accordance with the
definition of a region, and how the region and its boundaries are perceived
internally and externally (http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_development).
Konsepsi
pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pembangunan proyek proyek berdasarkan
hasil analisa data spasial (Sandy dalam Kartono, 1989), sehingga ketersediaan
peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada di tingkat
kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu menyiapkan peta peta
fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup pekerjaan inilah
antara lain dituntut peran aktif kajian-kajian para ahli geografi.
Pewilayahan data
spasial untuk menetapkan proyek pembangunan disebut wilayah subyektif, sedang
wilayah yang ditetapkan untuk suatu bidang kehidupan sebagai tujuan pembangunan
(penetapan wilayah pembangunan) disebut wilayah obyektif. Implementasi wilayah
pembangunan pada umumnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Produk akhir dari analisis
data spasial disebut “wilayah geografik” sedang cakupan ruang muka bumi yang
dianalisis disebut “area/geomer/daerah”.
Pada saat ini
semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan suatu daerah tertentu tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai
daerah yang lebih jauh jaraknya bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya.
Dampak globalisasi telah membuktikan hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai
system spasial dalam lingkup kegiatan pengembangan wilayah merupakan subsistem
spasial dalam lingkup yang lebih luas. Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan
pengembangan wilayah, di samping menganalisis data spasial kabupaten/kota yang
bersangkutan, juga perlu memperhatikan paling tidak bagaimana
perkembangan daerah sekitarnya (interregional
planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan oleh karena
itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya.
Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat
kabupaten/kota sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait
dengan jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap
berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek
tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek
pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui
suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan
ekonomi dan lainnya.
Pendekatan
geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan
analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data,
kegiatan pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan
pemerintah dan skala waktu pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi
secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan
masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut
dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana
itu.
Beberapa cara lain
untuk menetapkan proyek pembangunan dapat disebutkan antara lain dengan
menerapkan teori Economic Base, Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori
input-output dan penerapan teori lokasi, (Location
Theory), teori pusat (Central Place
Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembanngan (Growth Pole Theory). .
1. Teori Lokasi. Paling tidak ada
tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek
pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3)
keuntungan tertinggi.
2. Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal
yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas
tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan
bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu
memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan
administrasi.
3. Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan
Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan
diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan
konsep ekonomi seperti konsep Industri Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Beberapa kelemahan
penerapan cara di atas dalam penetapan kegiatan pembangunan dihadapkan pada faktor
politis pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota, faktor ketersediaan dana
dan ketersediaan lahan tempat dilaksanakannya kegiatan. Pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa pendekatan kewilayahan menjadi faktor kunci dalam kegiatan
penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara tepat.
Location theory is concerned with the geographic location of
economic activity; it has become an integral part of economic geography, regional science,
and spatial economics.
Location theory addresses the questions of what economic activities are located
where and why. Location theory rests on
the assumption that agents act in their own self interest. Thus firms choose
locations that maximize their profits and individuals choose locations that
maximize their utility.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Location_theory).
Central place theory is a geographical
theory that seeks to explain the number, size and location of human settlements
in an urban system. The theory was created by
the German
geographer Walter Christaller, who asserted that
settlements simply functioned as 'central places' providing services to
surrounding areas (Goodall,
B. 1987. The Penguin Dictionary of Human Geography. London: Penguin).
(http://en.wikipedia.org/wiki/Central_place_theory)
Pengembangan wilayah merupakan program
menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya
yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah
adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan
penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta
antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah.
Menurut Undang-undang No. 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang, definisi kawasan adalah Wilayah dengan fungsi utama
lindung atau budi daya.
Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis
pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling
mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan
sebagai kawasan yang mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya,
sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah sekitarnya. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama membentuk suatu klaster.
Pembangunan kawasan adalah usaha untuk mengembangkan
dan meningkatkan hubungan kesalingtergantungan dan interaksi atara sistem
ekonomi (economic system), masyarakat
(social system), dan lingkungan hidup
beserta sumberdaya alamnya (ecosystem).
§ Membangun masyarakat
pedesaan, beserta sarana dan prasarana yang mendukungnya;
§ Mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan;
§ Mengurangi tingkat
kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat;
§ Mendorong pemerataan
pertumbuhan dengan mengurangi disparitas antar daerah;
§ Meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia dan konservasi sumberdaya alam demi kesinambungan
pembangunan daerah.
§ Mendorong pemanfaatan ruang
desa yang efisien dan berkelanjutan.
Konsep pengembangan wilayah bermula dari
konsep atau teori lokasi yang bermula dari Von Thunen, yang intinya adalah
konsentrasi aktivitas ekonomi akan terjadi pada lokasi tertentu karena adanya
proses economies of scale . Walaupun teori Von Thunen tersebut adalah teori
berkaitan dengan sewa tanah, akan tetapi teori itu relevan untuk menjelaskan
aktivitas ekonomi dalam suatu lokasi atau wilayah tertentu. Aktivitas ekonomi
yang terjadi pada suatu lokasi ini kemudian akan diikuti berkembangnya berbagai
fasilitas dan prasarana lain yang mendukung aktivitas ekonomi, dan kemudian
aktivitas tersebut akan dapat menarik aktivitas-aktivitas daerah sekitarnya. Oleh
karena itu, lokasi ini akan menjadi pusat pertumbuhan dalam wilayah tersebut ( growth pole theory ).
Growth pole
theory, as originally formulated, assumes that growth does not appear
everywhere at the same time, but it manifests itself in “points” or “poles” of
growth (Perroux, 1950; 1955). With variable intensities, the growth spreads by
different channels and eventually affects the economy as a whole (Vanneste,
1971). It is widely argued that Perroux’s initial concept of growth pole
denoted an individual plant; one that occupied an abstract economic space,
rather than a specific geographical space such as a city or region (Vanneste,
1971; Monsted, 1974; Mitchell-Weaver, 1991). In his latter writings, as Vanneste
(1971) points out, Perroux refined his concept of growth pole as a dynamic
unity in a defined environment. The unit is simple or complex: (a) a firm, or
(b) group of firms not institutionalized, or (c) group of firms
institutionalized, such as private and semi-public undertakings.
Based on
these features of the growth pole concept, other authors associated a
functional attribute to the concept. They postulated that a growth pole is
formed when an industry, through the flow of goods and incomes which it is able
to generate, stimulates the development and growth of other industries related
to it (technical polarization); or determines the prosperity of the tertiary
sector by means of the incomes it generates (income polarization); or
stimulates an increase of the regional economy by causing a progressive
concentration of new activities (psychological and geographical polarization).
To the extent that the growth pole concept has a functional character, Vanneste
(1971) argues that it would be wrong to neglect the spatial aspect and the
geographical implications of the concept.
If the
growth pole has a local geographical base, then it is safe to assume that it
can induce external economies in local firms. This means that growth is induced
not only through direct trading between firms located in the same geographic
area, but also through a structural change in the region. In that sense,
Monsted (1974) asserts that local trade and business, which are not even directly
associated with the growth pole will experience high demand induced by better
resources and wages in the region. Bhandari (2006) thinks that the geographical
aspects of growth poles are now considered to be the most important facet of
growth pole theory.
The growth
pole concept involves an enormous confusion of ideas, which makes it extremely difficult
to put forward a clear definition of it. The Geography Dictionary (2004)
defines growth poles as follows:
“A point of
economic growth. Growth poles are usually urban locations, benefiting from
agglomeration economies, and should interact with surrounding areas, spreading
prosperity from the core to the periphery”.
Pengembangan keunggulan suatu wilayah pada
dasarnya merupakan implementasi atas penguatan daya saing atau keunggulan
kompetitif suatu daerah. Konsep keunggulan daya saing sendiri mulanya
dikembangkan untuk model industri dan dikembangkan oleh Porter (1986), yang
dikenal dengan Model Berlian.
Model
berlian menjelaskan daya saing internasional sebuah negara atau wilayah. Model
ini disebut ”diamond” karena digambarkan sebentuk kotak berbentuk berlian yang
sususnannya berisi sejumlah faktor yang menentukan daya saing suatu wilayah
atau negara.
Menurut
model “diamond of advantage” dari
Porter (1990), suatu kawasan secara alamiah akan mengembangkan keunggulan
kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi dari perusahan-perusahan yang ada di
dalamnya dan vitalitas ekonomi suatu wilayah merupakan hasil langsung dari
persaingan industri yang ada di kawasan tersebut.
The diamond model is
an economical model developed by Michael Porter in his book The Competitive
Advantage of Nations (1990), where he published his theory of why
particular industries become competitive in particular locations (Traill, B. dan Eamonn Pitts. 1998). Afterwards, this
model has been expanded by other scholars. The approach looks at clusters of
industries, where the competitiveness of one company is related to the
performance of other companies and other factors tied together in the
value-added chain, in customer-client relation, or in a local or regional
contexts. The Porter analysis was made in two steps (Porter, 1990). First,
clusters of successful industries have been mapped in 10 important trading
nations. In the second, the history of competition in particular industries is
examined to clarify the dynamic process by which competitive advantage was
created. The second step in Porter's analysis deals with the dynamic process by
which competitive advantage is created. The basic method in these studies is
historical analysis. The phenomena that are analysed are classified into six
broad factors incorporated into the Porter diamond (Porter, 1990), which has
become a key tool for the analysis of competitiveness:
1.
Factor conditions are human resources, physical
resources, knowledge resources, capital resources and infrastructure. Specialized
resources are often specific for an industry and important for its
competitiveness. Specific resources can be created to compensate for factor
disadvantages.
2.
Demand conditions in the home market can help companies
create a competitive advantage, when sophisticated home market buyers pressure
firms to innovate faster and to create more advanced products than those of
competitors.
3.
Related and supporting industries can produce inputs which are important
for innovation and internationalization. These industries provide
cost-effective inputs, but they also participate in the upgrading process, thus
stimulating other companies in the chain to innovate.
4.
Firm strategy, structure and rivalry constitute the fourth determinant of
competitiveness. The way in which companies are created, set goals and are
managed is important for success. But the presence of intense rivalry in the
home base is also important; it creates pressure to innovate in order to
upgrade competitiveness.
5.
Government can influence each of the above four
determinants of competitiveness. Clearly government can influence the supply
conditions of key production factors, demand conditions in the home market, and
competition between firms. Government interventions can occur at local,
regional, national or supranational level.
6.
Chance events are occurrences that are outside of control
of a firm. They are important because they create discontinuities in which some
gain competitive positions and some lose.
The Porter thesis is that these factors
interact with each other to create conditions where innovation and improved
competitiveness occurs.
0 komentar:
Posting Komentar