Secara singkat
dapat dikatakan bahwa Realisme merupakan pendekatan yang menekankan pada Power
(kekuatan/kekuasaan) dan menganggap negara sebagai aktor dominan dalam sistem
internasional. Power bisa didefinisikan sebagai kemampuan total dari suatu negara
yang meliputi kekayaan alam, kekayaan sintetis (buatan) hingga kemampuan
sosio-psikologi.
Hans J Morgenthau mengatakan
pada dasarnya setiap manusia (negara) ingin mendapatkan power, mempertahankan,
dan memperluas kekuasaan jika hal ini berbenturan dengan yang lain maka akan
menimbulkan ’struggle for power’. Mengacu pada banyak pemikir yang
terkait dengan realisme seperti Hans J Morgenthau, Thomas Hobbes, Thucydides,
dan lain-lain, maka pendekatan ini disebut pula sebagai pendekatan pragmatis
dalam politik internasional. Pendekatan ini pun banyak diperbaharui oleh para
teoritisi HI yang bisa dikelompokkan dalam neo-realisme
Inti pemikiran
Realisme dalam HI dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Negara sebagai
pemegan peranan dominan selalu mempunyai kepentingan yang berbenturan. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau
konflik.
2. Power yang
dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik, dan
menentukan pengaruhnya atas negara lain.
3. Politik didefinisikan sebagai memperluas power, mempertahankan,
dan menunjukkan power.
4. Setiap negara dianjurkan untuk membangun
kekuatan, beraliansi dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain
(devide and rule).
5. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud Balance
of Power atau Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan
yang mendominasi system internasional.
6. Setiap negara
akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan nasionalnya (national
interest).
Sementara itu pemikiran neo-realis dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Pendekatan ini seperti halnya Realisme menekankan
pada peranan negara dalam hubungan internasional tetapi, tetapi mulai mengakui adanya
aktor lain yang juga berperan di pinggiran. Negara memiliki peran sentral sementara
aktor lain bersifat peripheral.
2. Mereka
juga melihat power dalam konteks yang berbeda dengan pendahulunya. Power didefinisikan
sebagai konsep relasional. Jadi Negara tidak dianggaap punya
power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain. Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya.
power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain. Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar