Cerpen "Kota Kami Dahulu"

Kuburan adalah tempat yang paling sunyi, di mana orang-orang mati itu tidak akan bercakap-cakap lagi dengan dia seperti dahulu. Bahkan dan sebuah kuburan di mana di bawahnya terbaring tulang-tulang seseorang yang paling banyak cakapnya semasa hidup pun tidak.

Di bawah tanah itu terpendam ayahnya yang semasa hidupnya, pada malam Minggu suka mengundang kawan-kawannya ke rumahnya untuk bermain kartu, minum bandrek, sampai pagi.
Kubur yang sebuah lagi adalah kuburan ibunya, seorang wanita pendiam yang membikinkan bandrek untuk suaminya dan tamu-tamunya, yang saat itu akan semakin pendiam, terbaring dalam bumi.

Memang enak masih punya ibu-bapak, pikirnya. Ini hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang telah yatim piatu. Semasa ayahnya hidup, ayahnya yang tukang gembira tapi tukang pemarah pula itu, pernah dia doakan agar lekas saja mati disambar geledeg. Tapi tidak pernah ia mendoakan agar ibunya itu mati. Namun ketika kedua-duanya mati, ia menangis untuk kedua-duanya, dengan kesedihan yang sama, tidak berbeda-beda.

Kedua orang tuanya mati ditembak Belanda, ini dikenangnya di kuburan itu. Ia mengenang di kuburan itu, tamparan-tamparan ayahnya pada pipi, bahkan tinju besar ayahnya di suatu kali, bahkan ayahnya pernah mencambuknya dengan gada kecil yang sewaktu kecil dirasanya sangat besar. Tapi ia juga mengenang suatu perkataan ayahnya. Perkataan itu sangat sederhana, “Benci sekali aku pada orang yang lekas putus asa!”

Perkataan itu dulu tidak dipahaminya benar. Suka dikatakan ayahnya kepada ibunya, lebih-lebih di saat-saat dekat hari kematian mereka ketika Belanda akan mendarat di kota kecil itu. Perkataan itu, biarpun kurang dipahaminya dulu, sangat sering didengarnya, bahkan terlalu sering sehingga sekarang ia masih hafal. Dan sekarang barulah dipahaminya, artinya yang sesungguhnya.

Ia datang ke kuburan hari itu sebenarnya dengan perasaan putus asa. Adiknya, satu-satunya adiknya yang perempuan, saat itu sedang mengandung. Ia datang seakan-akan untuk mengadu, mengadu kepada orang-orang mati yang tidak akan mendengar lagi bahasa sehari-hari manusia yang hidup. Tapi ia sejak tadi telah berbisik, terutama di atas kening kuburan ibunya. Ia memuji ibunya adalah wanita yang paling baik yang pernah dikenalnya di dunia ini. Ia memuji ibunya adalah wanita penyabar, wanita yang paling rajin, wanita yang tidak suka pada kemewahan, wanita yang cantik tanpa berhias, dan tidak ada lagi kata-kata lain. Ibunya adalah wanita sejati. Semasa hidupnya ayahnya ataupun ibunya ataupun neneknya berkata, bahwa adiknya yang sedang mengandung kini itu mempunyai wajah yang serupa dengan ibunya. Orang-orang kampung cemas selalu, bila wajah seorang anak sangat mirip dengan wajah ibunya. suatu pertanda buruk, bahwa ibunya akan meninggalkannya selagi muda atau si anak sendiri yang akan mati selagi kecil.
Makin naik dewasa, adiknya makin mirip dengan ibunya.

“Katakanlah, lelaki mana yang telah menghamilkan engkau. Popong,” katanya pagi-pagi sebelum berangkat menuju kuburan.

Adiknya telah mengirim telegram supaya pulang ke kota kelahiran untuk menolongnya. Itulah yang harus ditolongnya. Adiknya menangis siang-malam sejak pertama kali ia masuk pintu, sejak ia dipeluk erat-erat, peluk setahun sekali, tapi pelukan tahun ini memang pelukan yang aneh, yang kemudian diketahuinya, pelukan itu adalah pelukan seorang wanita muda yang diam-diam akan menjadi ibu beberapa bulan lagi.

“Katakanlah, Popong,” katanya. Itulah kata-kata bujukan yang diucapkannya saban hari, tapi tidak pernah menjemukan dia. Tapi sampai pagi itu adiknya tidak mau mengatakannya.
Sayang sekali adiknya tidak mau mengatakannya sehingga ia putus asa dan ingin marah, sangat marah. Sampai memuncak marahnya, sehingga hampir saja ditamparnya adiknya itu. Tetapi agama telah melarang seseorang menyakiti orang lain dengan paksa, apalagi menyakiti saudara kandungnya dan perempuan pula.

Di kuburan itu ia tahu, bahwa ia juga ikut bersalah dalam hal itu. Jarang ia menulis surat kepada adiknya yang terpisah darinya bermil-mil oleh Selat Sunda. Apalagi memberi suatu nasihat yang baik. Apalagi nasihat untuk seorang gadis yang sedang lupa pada harga hari remaja dan perawan. Tidak pernah ia berkata kepada adiknya, “Jagalah dirimu dan masa gadismu,” biarpun dalam sepotong surat dan membuang uang tujuh puluh lima sen untuk perangkonya. Itu, sebab ia tahu, adiknya seorang gadis pendiam, pemalu, suka beribadat, pintar di sekolah seperti gurunya menuliskan di ijazah, tidak pernah ke luar rumah. Itu sebab ia kira, abangnya, si Sompi, sekali seminggu akan datang menjenguk atau mengawasinya. Dan ia pun tahu, surat-surat berisi nasihat biasanya membosankan untuk orang-orang remaja. Orang-orang remaja suka dilepas bebas seperti seekor kuda penuh gairah. Itu sebab ia mengira, di rumahnya ada neneknya yang sayang pada cucu, dan ada seorang lagi adiknya lelaki yang pintar berkelahi.

Kepercayaannya kepada Popong sudah tidak ada lagi. Kepercayaannya kepada abangnya dan adik lelakinya. Tapi juga kepercayaan kepada lelaki-lelaki kota itu yang dulu dikiranya salih semua.
Sejak pertama ia ke luar rumah, belum pernah ia menegur seseorang, juga mengangguk pun tidak, tidak seperti dulu-dulu yang selalu dilakukannya. Tapi orang-orang juga tidak menegurnya. Mulanya ia mengira, karena kini setelah memakai kaca mata, tentu orang-orang itu telah lupa. Kota ini telah jauh berbeda dengan dulu, pikirnya. Tapi, ia keluar dari gerbang kuburan dengan tidak membawa suatu bekal apa, bahkan tidak sempat berdoa, ia makin merasakan suatu sebab lain. Orang-orang itu tidak mau menegur mungkin benci pada keluarganya, sebab apa yang telah dilakukan adiknya itu bagi mereka adalah suatu nista yang memalukan sekali.

Kampung kelahirannya adalah kampung yang paling suci menurut penduduknya. Tidak ada dari kampung itu seorang maling, seorang pemabuk ataupun seorang tukang judi. Ketika Belanda masuk tidak ada kedengaran seorang pun yang jadi mata-mata Belanda yang berasal dari kampung itu.

Dan kini adiknya mengandung diam-diam. Orang-orang itu jika tahu mungkin akan amat marah atau mengusir seisi rumah itu dari sana, termasuk neneknya yang paling mereka hormati sebagai perempuan satu-satunya yang tertua dan tersalih! Ia merasa ngeri melihat ke kiri dan ke kanan. Sambil berjalan ia tahu, di kanan ada toko Cinayang ramah dan telah masuk Islam, ia tahu di kirinya ada sebuah kali yang bernama Kali Wuni yang dalam musim buah-buahan, buah-buah wuni yang merah tua itu berguguran dan hanyut di kali. Ia tahu di kanan lagi itu ada sebuah mesjid yang ramai kalau malam-malam bulan puasa. Ia tahu, di depannya kini itu adaiah rumah kepala kampung, rumah Wak Bek yang sangat pemarah. Ia tahu di kanan jalan berbelok adalah tanah lapang kecil tempat ia main sepakbola dengan Umar dan Pospos. Umar pencetak gol yang paling pintar, dikaguminya, juga paling pintar bercerita, paling pintar berhitung OTT, dikaguminya sebab pintar menggambar. Saban hari Minggu dulu ia bersama-sama Umar pergi mancing ke Panjang, pelabuhan kota itu. Kalau orang-orang menegur Umar di jalan, yaitu orang-orang yang pernah mereka kalahkan dalam pertandingan sepakbola, ia merasa orang-orang itu juga menegur dia.

Orang-orang itu tentu bertanya, siapa yang seorang lagi? Dan dijawab tentu, kawannya Umar, pemain bola juga. Ia tak tahu di mana Umar sekarang. Tapi ia tahu ia telah sampai kini dekat kebon petai cina tempat ia menggembalakan kambingnya dulu. Di belakang itu ada runtuhan gereja yang di bom Belanda. Waktu kecil ia bersekolah di sebelah gereja itu, Sekolah Xaverius.

Kini ia tahu, rumah-rumah di hadapan itu adalah rumah tetangga-tetangga. Malu ia menengok ke kiri dan ke kanan, takut kalau ditanyakan soal-soal kehamilan adiknya, takut akan dimaki atau disumpahi. Seakan-akan ia akan menutup mukanya dengan sapu tangan.

Kini ia memasuki sebuah pekarangan berpagar batu. Itulah rumahnya. Di dalam rumah itu, di atas ranjang, adiknya pasti sedang menangis dengan mata yang sembab. Di rumah itu pasti neneknya sedang menghitung tasbih sambil menunggu kematian di menara hari tuanya. Di rumah itu pasti adiknya yang lelaki tidak ada.

Semua yang ia duga memang sedang terjadi. Neneknya yang tuli dengan kaki melunjur berdiang di dapur dengan tasbih digerak-gerakkan dan berbisik-bisik. Neneknya yang tahun ini sudah pikun dan tak mengenal cucunya lagi sekarang.Bila ia masuk ke kamar didapatinya adiknya sedang bangun dari tidurnya dengan mata sembab.

“Aku baru dari kuburan pa dan ma,” katanya sambil bersalin pakaian. Lalu dia pandang wajah adiknya. Dalam wajah itu menyelinap wajah ibunya, persis benar seperti ibunya kalau barusan menangis.

“Muka ma seperti engkau, “ katanya, tiba-tiba adiknya lantas meloncat dan memeluk erat-erat,

“Kau telah mengatakan ini pada Bang Sompi,” tiba-tiba Popong menuduh,

“Belum,” katanya menjawab.

“Ya! Pasti Abang telah mengatakan ini pada Bang Sompi.”

Lalu sambil menangis Popong menyumpah-nyumpahi Bang Sompi yang sejak kawin setahun yang lalu tidak pernah datang lagi, asyik dengan bini dan tidak mengirimkan uang dan bahkan tidak membuat surat, padahal cuma lima puluh kilometer saja dan naik oto bis cuma membayar lima ringgit.

“Aku tidak mengatakannya,” katanya kepada adiknya, berusaha meyakinkan.

“Percayalah,” katanya lagi.

Lalu Popong membanding-bandingkan dirinya dengan Abang Sompi. Dia membandingkan, bahwa Sompi sekarang naik pangkat tapi pengiriman uang makin dikurangi, sedangkan orang yang sedang dipeluknya tiap bulan mesti bertambah kalau mengirimkan uang. Adiknya lalu berkata, “Abang Sompi sudah setahun tidak membantu keuangan kami lagi, sedangkan adik kita si Markus telah pacar-pacaran dengan gadis sekarang,” dan menangislah ia.

“Bagaimana penghasilan modistemu?” tanyanya tiba-tiba.

“Tidak maju. Hampir semua gadis-gadis membikin rumah mode,” jawabnya.

“Sudahlah, berhentilah menangis. Jangan putus asa tentang itu lagi. Kalau kau mau saja mengatakan, siapa lelaki itu, abang akan mengurusnya,” katanya pelan-pelan membujuk.

“Katakanlah.”

Pelan-pelan mata adiknya memandangnya. Tiba-tiba mata itu ditutup, berkata, “Tidak.”

“Sekarang katakan saja, kenapa Popong berbuat itu?” tanyanya.

“Sebab nenek sakit asal-mulanya.”

“Kenapa?”

“Waktu itu nenek sakit-sakit. Kutulis surat pada Abang, tidak dibalas. Waktu itu Popong ada kawan lelaki. Dia baik sekali. Dia pertama memberi uang seribu rupiah. Untuk nenek, untuk obat nenek. Tapi kemudian ternyata, seakan-akan uang yang diberinya itu ditagihnya dengan suatu permintaan. Dia memeras!”

“Dia memeras,” ulangnya.

“Siapa dia.”

“Umar.”

“Umar?” dan ia terkejut, berulangkali nama itu disebutnya dalam hati.

“Ya, Umar kawan Abang dulu.” Kini, kepercayaannya semakin punah terhadap kota itu, orang-orangnya, kesalihannya, kawan-kawannya! Dendamnya timbul.

“Rumahnya masih rumah yang dulu?”

“Bukan. Dia sudah punya toko dan tidak dengan bapaknya lagi. Rumahnya dekat Sekolah Rakyat Abang dulu. Ada sebuah rumah gedung, itulah rumahnya.”

Dia lantas ingat, yang dimaksud dengan sekolahnya bukanlah Sekolah Xaverius, tapi Sekolah Rakyat pemerintah setelah pindah.

Di sekolah itu dulu ia dididik oleh guru-gurunya agar berbuat baik, agar menjadi orang yang bertanggung jawab. Umar juga dididik di situ, bahkan sebangku dengan dia. Dia kagum pada kepandaian Umar berhitung OTT. Sedang ia pernah mencontoh. Dan ketika ia dikeroyok oleh orang-orang. Umar telah menolongnya.

Kota kami ini dulu kota yang paling indah dalam angan-anganku, pikirnya. Kini ia membunuh angan-angan itu seperti membunuh seekor lalat yang telah dipeliharanya selama lebih dua puluh tahun.

“Jangan pula berkelahi dengan dia!” tiba-tiba Popong berteriak.

“Tidak,” jawabnya pelan-pelan, tapi hatinya sudah terkelucak.

Dia menunggu hari sore dengan gelisah dan sore itulah ia datang ke rumah Umar. Umar hampir lupa padanya. Tapi ia berbuat seakan-akan Umar tetap kawan karibnya dan bukan musuhnya dan ia datang seakan-akan seperti sahabat lama dengan kepercayaan dan kekaguman lama.
Angin laut kini mengendap-endap menyuruk ke hatinya ketika mereka berjalan berdua di pinggir laut, seakan-akan dua sahabat lama. Dulu, di pinggir laut itu mereka mencari keong dan mendirikan rumah-rumahan dari keong-keong yang mereka susun, yang seminggu kemudian mereka dapatkan telah punah dihempaskan ombak. Tapi mereka dirikan lagi rumah-rumahan keong itu, seakan-akan mereka tidak peduli apakah seminggu yang akan datang rumah-rumahan mereka akan diruntuhkan. Dia mengingatkan kepada Umar kisah lama itu, seakan-akan mau membujuknya. Lalu ia memuji Umar yang berani, bahkan berani menolongnya.

“Sekarang, setelah kita besar, aku masih mau minta tolong sebuah lagi,” katanya pelan-pelan dan menggigil.

“Uang?” tanya Umar.

“Aku tahu nenekmu sakit. Apakah beliau sudah sembuh?”

“Biarpun diobati, nenek sudah tak perlu hidup lagi.”

“Kenapa?” tanya Umar.

“Beliau sudah pikun. Tidak akan banyak merugikan kita yang hidup. Beliau mengharap mati, sebab sudah waktunya harus mati,” katanya.

“Kenapa kau sampai berpikir begitu?” tanya Umar.

Mendengar pertanyaan itu geramnya timbul. Ia seakan-akan sudah yakin, Umar yang sekarang bukanlah Umar yang dulu. Umar yang dilihatnya adalah tubuh yang sekeping berisi kepalsuan-kepalsuan. Inilah gambaran kota dan dunia kini, pikirnya.


Kepercayaannya semakin berkurang mendengar pertanyaan yang sama sekali kini tak dipercayanya lagi. Digenggamnya tinjunya erat-erat seperti ia menggenggam kota dengan peradabannya itu.

“Aku memikir yang lebih baik. Bukan aku tak cinta pada nenek. Tapi aku jauh lebih cinta pada bayi yang sedang dikandung. Dialah yang memegang hari depan peradaban dan perikemanusiaan ini,” katanya.

Tiba-tiba dalam kepalanya terbayang buku-buku yang pernah dibacanya. Sebuah pocket book Amerika pernah menceritakan seorang ibu dengan gampang menggugurkan bayinya dengan sebentar pergi ke seorang dokter. Ia merasa seakan-akan dunia ini sudah sempit tidak perlu kelahiran baru dengan harapan-harapan baru dan kemanusiaan baru. Seakan-akan dunia ini tidak punya hari depan lagi. Buku ini sangat menjijikannya. Tapi seorang sahabat lamanya yang sudah menghilangkan kepercayaannya. Ia jijik melihat Umar.

“Bagaimana dengan adikku, Umar?” tanyanya tiba-tiba.

Tangannya kini digenggamnya makin erat ketika matanya berkilat-kilat memandang mata Umar yang merunduk, seakan-akan padi-padi yang tidak bernas tapi merunduk. Hatinya tiba-tiba terkelocak lagi. Laut dan angin seakan-akan sudah tidak berharga lagi. Tanah-tanah, semua yang ada dan dapat ditangkap matanya dan kenangan tentang kota dahulu yang manis itu sudah punahlah! Perahu-perahu dan pohon kelapa dan rumah-rumah dengan gereja dan mesjid dan langit dan bintang dan awan dan manusia-manusia yang duduk-duduk jongkok di sana yang mungkin masih mengimpikan bahagia, sudah punah oleh satu sentuhan saja. Mereka lebur jadi satu dalam kepalanya.

“Bagaimana Umar! Bagaimana tanggung jawabmu terhadap hari depan perbuatanmu sendiri?”

“Itulah yang aku pikirkan!”

“Apa?” tanyanya jengkel.

“Bayi yang dikandung Popong, adikmu. Aku tak bisa tidur siang-malam,” katanya pelan.

Ia malu untuk meminta pada Umar supaya mengulangi perkataannya, sebab ia kini tak percaya lagi pada telinganya sendiri. Tapi ia merasa memang mendengar suara itu. Tiba-tiba ia membentak,

“Bagaimana? Kau mau mengawininya apa tidak!”

Dipasangnya telinganya baik-baik sebab ia perlu mendengar jawabannya.

“Aku mau mengawininya, Ating. Cuma, berilah kami jalan keluar untuk itu. Bagaimana kami harus kawin, ya, ya, biarpun orang-orang belum tahu, selain kau, aku dan Popong? Tapi percayalah, aku mau mengawininya.”

Pelan-pelan ia merasakan kembali kata-kata sahabat lamanya itu. Pelan-pelan jari-jari yang tergenggam itu mekar menjadi sepuluh. Dilihatnya jari-jarinya yang mekar itu, seakan-akan ia membaca pada tiap-tiap jari sebuah perintah Tuhan! Pelan-pelan matanya dapat menangkap cahaya lampu perahu yang berkelip, tercelup dalam teluk kotanya, sedikit demi sedikit ia bisa membedakan langit dan laut dan awan dan gereja dan menara mesjid dan rumah-rumah, rumah-rumah yang tetap miskin dan kotor, tapi sempat juga saat-saat itu penghuninya menyanyikan lagu.
Ia mendengar dengan telinganya lagu itu. Ia benar-benar telah mendengar dengan telinganya sendiri. Kaca matanya dipasangnya. Ia melihat makin terang, orang-orang berbondong-bondong dengan kain sarung di leher mengurangi udara laut dingin. Di pojok sana adalah Pasar ikan tempat ia saban sore dulu berbelanja disuruh ibunya. Sebelah ujung toko Cina ada tempat binatu bapaknya dulu. Pohon-pohonan menutupi sebagian pucuk-pucuk rumah, tapi ia tahu benar, pada pucuk gedung bank itu adalah kampungnya, sekilometer dari pantai. Di sana ia dilahirkan. di Kupangkota, sebagai bayi yang tidak tahu dan tidak mau tahu apa-apa. Tapi sekarang ia tahu bahwa di situlah Kupang kota, sedikit di sana itu rumahnya, rumah batu berpagar batu. Dan ia juga tahu, adiknya sekarang sedang menangis. Ia juga tahu, yang ditangiskannya adalah makhluk yang sedang dikandungnya diam-diam ketika remaja. Ia sekarang bukan saja tahu melihat dengan apa yang bisa ditangkap matanya, tapi juga hal-hal yang di luar jangkauan matanya.

Ketika mereka berdua berjalan kaki di antara sebanyak itu manusia dan sebanyak itu kendaraan di antara sebanyak itu lampu-lampu dan sebanyak itu jalan raya dan sebanyak itu rumah-rumah, ia menghisap udara kota itu kembali sebanyak-banyaknya pula dengan nyaman. Mereka telah sampai di dekat teng bensin yang biasanya kalau jam satu mereka pulang sekolah dulu mesti ada tukang sulap orang India dengan ular-ular sepuluh macam. Di situ dulu mereka berpisah kalau pulang sekolah.

Kini mereka sampai di situ. Ia melihat Umar. Kemudian berkata agak gemetar, “Maukah besok kau datang ke rumahku?”

“Mau,” jawab Umar.

Saat itu dihisapnya lagi dengan hidungnya bau nafas udara kota itu dan merasa seakan-akan nafas kota itu bernafas kembali di paru-parunya. Ia berkata dalam hati, bau kota kami ini masih nyaman. Ia bahkan menambahkan dalam hati, kami masih menyukai engkau.

TAMAT


0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger