Kota kami telah
hampir berusia setengah abad, dan hampir saja hanyut karena kecelakaan gunung
berapi. Beberapa tahun belakangan ini orang-orang sudah tidak lagi memikirkan
apakah bahaya itu akan datang lagi, sehingga orang-orang sudah tidak memikirkan
soal waktu. Kota itu terbentang di pinggir pantai, dengan sebuah jalan panjang
sembilan kilometer ke arah barat laut, dan tepat di pintu kota ada sebuah
kantor bank. Orang-orang pegawai bank tidak memikirkan waktu, mereka banyak
berhubungan dengan angka-angka. Di sebelah bank itu ada sebuah restoran Cina
dan orang-orang Cina itu juga tidak memikirkan waktu. Belakangan mereka malah
kesusahan, karena pemeliharaan babi kurang memuaskan, sebab banyak orang-orang
Islam yang jadi tukang gembala babi-babi itu diganggu keamanannya oleh penduduk
sekitarnya.
Di sebelah
restoran Cina itu ada sebuah toko kecil, toko sepatu, di mana banyak
sepatu-sepatu. Sepatu-sepatu itu dikerjakan oleh tukang-tukang sepatu dan
mereka berjumlah enam orang. yang termuda dari tukang-tukang sepatu ini berumur
dua belas tahun, tidak perlu disebutkan namanya, karena lebih penting apa yang
menyebabkan ia menjadi tukang sepatu. Ia menjadi tukang sepatu karena hendak
memberi makan lima orang adik-adiknya, hendak membantu penghasilan ibunya yang
bekerja sebagai tukang cuci.
Ia adalah yang
paling pendiam. Yang tertua dari tukang-tukang sepatu itu adalah seorang
lelaki, yang mengabdikan pikirannya dan anggota-anggota badannya untuk membuat
sepatu-sepatu yang baik. Dari keenam pekerja itu, dia inilah yang paling banyak
ditegur oleh majikannya, karena ia tidak cepat bekerja, karena ia membuat
sepatu-sepatu itu sebaik-baiknya. Pemilik toko sepatu itu tidak memikirkan
membikin sepatu yang kuat dan baik lebih menguntungkan. Ia lebih banyak
memikirkan bagaimana bisa menghasilkan sepatu sebanyak-banyaknya, tidak peduli jahitan
atau lim-lim sepatu itu akan berumur tiga bulan saja.
Tukang sepatu
yang tertua ini, yang tertua karena dialah yang telah berumur dua puluh lima di
antara kelima orang yang lain, juga sangat pendiam, dan sangat tidak penting
untuk menyebutkan namanya. Dia memikirkan sepatu dan waktu. Yang juga banyak
dipikirkannya adalah wajahnya yang buruk itu, bekas-bekas cacar waktu zaman
Jepang. Dia juga merupakan seorang pendiam. Dia pendiam karena panggilan
keadaan.
Suatu kali ia
berkata, “Kapan kau akan kawin?”
“Kawin? Aku
tidak memikirkan hal itu.”
“Apakah
selamanya kau tidak akan kawin?”
“Barangkali
begitu. Aku tidak punya alis mata.”
“Gila kau!”
“Jangan ganggu
aku. Aku sedang melihat sepasang suami-istri yang sedang berbelanja itu.”
Dia sedang melihat
sepasang suami-istri yang sedang berbelanja, jauh di seberang jalan. Saat itu
dia tak mau berkata pada dirinya sendiri lagi. Tapi hatinya mengusik-usiknya
lagi dan bertanya,
“Kau tidak
ingin kawin seperti mereka?”
“Jangan ganggu
aku. Aku sedang memperhatikan sepasang suami istri yang sedang berbelanja itu.
Mereka sedang berbantah agaknya. Mereka sedang berembuk barangkali. Mereka
mempunyai apa yang aku sendiri tidak punya.”
Itu bukanlah
yang pertama kali tukang sepatu itu berbantah-bantahan dan bersoal-jawab. Dia
berbantah-bantah dan bersoal jawab dengan dirinya.
Pandangannya,
melewati kaca pajangan toko ke arah sana terganggu karena ada seorang perempuan
sedang menggendong anaknya dan seorang anak perempuan kecil dengan rambutnya
dikelabang. Antara anak perempuan itu dan ibunya agaknya terjadi percakapan.
Kelihatan anak perempuan itu merengek-rengek menunjuk-nunjuk ke sebuah sepatu
kecil.
“Bu, belikan
yang itu, Bu.”
“Sssh, sshh.”
“Bu, belikan,
Bu. Semua anak-anak di kelas pakai sepatu.”
“Biarkan mereka
semua mereka pakai sepatu.”
“Tapi aku ingin
juga seperti mereka.”
Aku ingin
seperti mereka, barangkali itulah yang dikatakan anak perempuan kecil itu.
Tukang sepatu itu sebenarnya tidak mendengar percakapan ibu dan anak itu.
Perdebatan mereka berdua antara ibu dan anak itu tidak ada. Tukang sepatu itu
hanya melihat mata anak perempuan kecil itu menatapi sepatu kecil, dan sebelah
tangannya menarik-narik baju ibunya. Mereka: ibu dan anak, tidak berkata-kata.
Kedua mereka tenggelam oleh lautan kata-kata, sehingga keduanya tidak bisa
berkata lagi sebab sudah lama tenggelam.
Tapi dia itu,
seorang anak perempuan kecil berumur lima tahun, tampak sekali dalam matanya
yang hitam bilam itu, menginginkan sepatu. Memang, sepatu yang satu itu kecil
dan bagus, dibuat oleh tangan yang mengabdikan dirinya untuk kebagusan.
Sepatu itu
dibikin oleh tukang sepatu itu. Anak itu ingin seperti anak-anak yang lain,
punya sepatu. Dan tukang sepatu itu ingin seperti orang-orang muda yang lain,
punya wajah yang tidak buruk karena cacar, punya keinginan yang besar untuk
kawin.
Tukang sepatu
itu melihat anak kecil itu meneguk air liurnya. Air liur itu lewat di lehernya
yang kecil, masuk di usus-ususnya yang kecil. Tukang sepatu itu tidak bisa
melupakan wajah anak kecil itu, karena ia melihatnya dengan teliti. Ia tidak
akan lupa dengan mata hitam bilam itu. Lalu tukang sepatu itu berjanji, suatu
waktu ia akan memberikan sepasang sepatu untuk anak itu.
Pikirannya
segera berkacau. Tukang sepatu itu tiba-tiba ingin menjadi pencuri. Ia ingin
menjadi pencuri dari sepatu yang dibuatnya sendiri.
Kini
dipandangnya sepatu kecil itu. Sepatu itu memang kecil. Dan tangannya menjamah.
Alangkah bagus, alangkah bagus sepatu yang kubuat. Alangkah cantik, alangkah
cantik bila anak perempuan kecil itu memakai sepatu kecil ini. Tangan tukang
sepatu itu memegang sepatu itu. Ketika matanya berpaling sekeliling, anak
perempuan itu, juga ibunya, juga bayi yang sedang digendong ibunya, tidak ada
lagi dibalik kaca pajangan itu.
“Apa kerjamu?”
bahunya ditepuk oleh majikan tokonya.
Ketika matanya
bersua dengan mata majikannya, ia merasa malu. Tapi ia diam saja, sambil
menaruh kembali sepatu dipajangannya.
Sejak itu,
tukang sepatu itu merasa ada seorang yang senasib dengan dia. Tiap ia pulang
dari kerja jam enam sore, ia bertemu dengan anak perempuan itu, sedang berdiri
di depan toko lain, berdiri melihat sepatu-sepatu. Tentu yang dilihatnya
sepatu-sepatu kecil.
Tapi ia melihat
kejadian itu bukan tahun itu saja. Tiap tahun,
menjelang lebaran, ia melihat anak itu sering-sering berdiri-diri di depan
toko-toko sepatu. Tukang sepatu itu makin kenal baik-baik dengan wajah anak
perempuan itu, terutama pada bentuk mata-nya yang hitam bilam itu.
Kota kami
adalah kota yang subur dengan angan-angan. Ketika kota itu sepertiga tubuhnya
hancur dibom oleh Belanda, penduduknya berangan-angan akan membangunnya kembali
menjadi sebuah kota yang baik. Walikota kami adalah walikota yang dicintai
rakyatnya, karena ia telah merubah kota itu sedemikian rupa, sehingga dalam
tempo lima belas tahun kota itu seakan-akan bertukar rupa. Cuma sebuah tugu
kemerdekaan yang tidak ditukar oleh arsitek-arsitek itu.
Tukang sepatu
itu masih menjadi tukang sepatu. Tapi ia bukan saja menjadi tukang sepatunya,
juga pemilik toko sepatu. Ia menyuruh anak buahnya, tukang-tukang sepatu yang
lain, membikin sepatu-sepatu yang terbaik. Anak-anak buahnya, membikin
sepatu-sepatu terbaik, sebab pemilik toko mereka telah membikin contoh,
bagaimana membuat sepatu yang sebaik-baiknya.
Kalau sore
hari, toko-toko itu terang oleh lampu-lampu neon. Banyak orang berbelanja dan
banyak juga yang tidak berbelanja.
Bagi tukang
sepatu yang mukanya capuk-capuk cacar itu, tidak menjadi soal apakah orang
berbelanja atau tidak berbelanja.
Memang,
kebanyakan pemilik-pemilik toko agak kurang senang hati terhadap orang-orang
yang ke luar-masuk toko dengan tidak ada kepentingan berbelanja kecuali
melihat-lihat saja.
Pemilik toko
itu, yang masih juga bekerja sebagai buruh dirinya sendiri, sebenarnya belum
berapa tua, biarpun ia merasa dirinya sudah tua. Orang yang belum kawin pada
umumnya suka mengira dirinya semakin tua dari umurnya yang sebenarnya. Mereka
seakan-akan bermusuh dengan waktu.
Ia melihat
gadis-gadis yang masuk. Ada banyak gadis-gadis yang masuk, dan ia mendengar dan
melihat bagaimana cara kebanyakan gadis-gadis itu memilih. Gadis-gadis umumnya
suka memilih dan meniru. Ia ingin memiliki yang pernah dimiliki orang lain,
kalau tidak persis benar, bahkan kepingin melebihi. Gadis-gadis suka bertanding
memang.
“Berapa harga
sepatu itu?” tanya seorang gadis.
“Dua ratus lima
puluh,” jawab tukang sepatu pemilik toko itu.
“Oh,” kata
gadis itu. Sebenarnya ia akan mengucapkan kata-kata, “Oh mahal sekali, tidak
terbeli olehku.”
Ucapan “oh” itu
menarik perhatian gadis-gadis di sebelahnya, sehingga mata gadis-gadis itu sama
menunduk, melihat ke kaki gadis-gadis itu. Mulanya maksud mereka memang tidak
melihat ke arah sepatu gadis yang dilihatnya, mereka sebenarnya mau melihat
betis gadis itu. Jadi, tidak benarlah juga anggapan umum, hanya anak-anak
bujanglah yang suka memperhatikan betis gadis.
Gadis-gadis
juga menyukainya, untuk ditandingi dengan betisnya sendiri.
Pemilik toko
sepatu itu kini terbawa. Ia melihat ke kaki gadis itu. Tidak ada sepatu melekat
di kakinya. Pemilik toko itu mengangkat kepalanya. Ia melihat wajahnya. Ia
melihat matanya. Mata itu seakan-akan kekal dalam ingatannya. Waktu lima belas
tahun seakan-akan tidak menjadi soal buatnya untuk mengenang.
Anak itu masih
tidak bersepatu.
Anak itu telah
menjadi seorang gadis berusia dua puluh tahun.
Ketika gadis
itu cepat-cepat ke luar dari toko, pemilik toko mengikutinya. Ia mengikuti
terus seperti orang tidak waras, sampai ke rumahnya. Di rumah itu ia bertemu
dengan ibunya.
Adiknya yang
dulu digendong kini sudah besar.
Lalu ia melamar
anak gadis itu kepada ibunya. Ibunya mentertawakan, sebab anak gadisnya separuh
dari usianya. Lalu ia merasa sedih. Sedih sekali dan kembali ke tokonya.
Ia telah berada
di toko.
Memang ia
berada di toko sejak tadi. Ia tidak pergi. Angan-angannyalah yang pergi
mengikuti gadis itu, dan angan-angannyalah yang menemui ibunya dan
angan-angannyalah yang menolak dirinya sendiri dengan lamarannya.
Tapi, demi
malunya yang besar terhadap dirinya sendiri itu, ia berjanji pada dirinya
sendiri untuk benar-benar melaksanakan angan-angannya itu. Di saat main yang
paling hebat, terutama malu pada diri sendiri, seorang manusia menjadi sangat
berani.
Tukang sepatu
itu, yang kini telah memiliki toko sepatu itu, suatu ketika didatangi
keberanian yang hebat, dan dia pergi ke rumah perawan itu dan benar-benar
melamarnya pada ibu anak perawan itu.
“Saya telah
mengenal anak ibu selama lima belas tahun,” katanya untuk pertama kali.
Ada dua jam ia
di rumah itu. Dan pada saat akan pulang, ia berkata, “Terima kasih Bu. Besok
saya datang lagi.”
Dan ketika ia
berdiri di pekarangan, ia berkata lagi dengan sangat terharu sebab gembira,
“Terima kasih, Bu.”
Pada waktu itu
ia tidak pernah berpikir, bahwa ia telah berusia empat puluh tahun.Yang
dipikirnya ketika itu ialah, akhirnya ia suatu waktu bisa juga menjadi seorang
suami.
Di simpang
jalan, ia hampir saja ditabrak mobil.
“Terima kasih!”
katanya pada sopir yang tidak jadi menabraknya itu.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar