Partai
politik modern menjalankan empat fungsi utama: sebagai sarana komunikasi politik,
rekrutmen politik, sosialisasi politik dan pengatur konflik. Pertama, parpol
adalah sarana komunikasi politik. Di dalam masyarakat terdapat banyak
ragam pendapat dan aspirasi. Menghadapi kenyataan ini parpol melakukan apa yang
disebut interest aggregation (penggabungan kepentingan). Pendapat dan
aspirasi yang berbeda itu ditampung kemudian digabung dengan pendapat dan
aspirasi orang lain yang senada. Parpol tidak berhenti di situ, tetapi
melanjutkan dengan usaha merumuskan pelbagai pendapat dan aspirasi itu menjadi
suatu wujud yang lebih teratur. Proses ini dikenal dengan sebutan interest
articulation (perumusan kepentingan). Kalau tidak diadakan agregasi dan
artikulasi, maka pendapat dan aspirasi yang banyak dan berbeda itu akan saling
berbenturan.
Kalau dikatakan bahwa parpol
melakukan komunikasi politik dari bawah ke atas, itu maksudnya bahwa
parpol merumuskan kepentingan itu menjadi usul kebijakan kepada pemerintah.
Usul kebijakan inilah dimasukkan ke dalam apa yang disebut platform
partai atau program partai untuk diperjuangkan melalui parlemen kepada
pemerintah agar dijadikan kebijakan umum. Demikianlah tuntutan dan kepentingan
masyarakat disampaikan pemerintah melalui parpol. Sedangkan komunikasi dari
atas ke bawah, itu maksudnya, bahwa parpol tidak hanya mengusulkan
kebijakan tertentu kepada pemerintah melainkan juga mendiskusikan,
memperdebatkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi tidak hanya
sebatas mendiskusikan kebijakan-kebijakan pemerintah, melainkan juga ikut
bertanggung jawab menyebarluaskan kebijakan-kebijakan itu.
Tetapi justru peran komunikasi
politik inilah yang paling lemah dalam porses demokrasi selama ini. Parpol
dipandang oleh para politisi (anggota partai) hanya sekedar „kendaraan“ politik
untuk mengantar anggota partai ke dalam kekuasaan di parlemen dan kekuasaan di lembaga
eksekutif pemerintahan. Parpol eksis ketika pemilu (pemilihan umum) dan pilkada
(pemilihan kepala daerah). Begitu pemilu dan pilkada selesai maka selesai juga
keberadaan parpol dalam masyarakat. Ini terjadi, karena para politisi kita
memandang parpol hanya sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan dan
perebutan kekuasaan politik itu menjadi bersifat temporal karena pemilu dan
pilkada dilaksanakan hanya sekali dalam lima tahun. Jadi, parpol betul-betul
kendaraan politik, bukan organisasi politik yang berperan menghubungkan rakyat
dengan pemerintah.
Kedua, parpol sebagai sarana sosialisasi
politik. Itu berarti, partai politik berkontak dengan masyarakat melalui
diskusi atau ceramah sehingga terbentuk sikap dan orientasi masyarakat atas
suatu fenonmen politik yang sedang terjadi. Sosialisasi politik ini adalah
bagian dari proses yang menentukan sikap politik warga negara terhadap pelbagai
isu politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama yang muncul dan berkembang
di tengah masyarakat. Begitu suatu isu politik, misalnya isu atau diskusi
tentang perlu tidaknya Ujian Nasional, maka parpol tampil mengkaji isu itu
secara kritis. Karena, banyak masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai
tentang dunia pendidikan dan persekolahan. Di sinilah kesempatan partai politik
melakukan sosialisasi politiknya sehingga
dengan itu masyarakat memiliki suatu orientasi atas persoalan itu dan akhirnya
bisa mengambil sikap yang tepat, entah mendukung atau menolak kebijakan Ujian
Nasional itu.
Tetapi, mengapa sosialisasi
politik selama ini tidak berjalan dengan
baik? Itu terjadi karena kebanyakan anggota parpol adalah orang-orang yang
„diangkat pasang“ sejauh sesuai tuntutan undang-undang menjelang pemilu tanpa memiliki suatu standar pemahaman dasar
politik dan tanpa pengetahuan yang memadai tentang masyarakat dengan segala
persoalannya. Parpol baru melakukan sosialisasi politik, yakni mereka
mengkampanyekan pelbagai program politik dari partai, dan mendiskusikan pelbaga
program atau kebijakan pemerintah ketika mereka berhadapan dengan kepentingan politik
temporal pemilu legislatif dan pilkada. Setelah itu para politisi itu menarik
diri dari tugas sosialisasi politik, lalu tugas itu diserahkan kepada para
politisi di parlemen. Akan tetapi, ini suatu kekeliruan besar, seakan-akan eksistensi
partai politik terbatas pada pemilu atau
pilkada. Partai politik seharusnya tetap eksis, meski pemilu dan
pilkada telah selesai, dan meski tak seorang anggota partai pun menduduki
posisi politik baik di parlemen maupun di lembaga eksekutif. Karena, partai
politik bukan sekedar kendaraan politik melainkan sebuah organisasi politik,
sebuah organisasi perjuangan politik.
Sosialisasi politik tidak hanya
menyangkut kegiatan pembentukan sikap dan orientasi masyarakat atas suatu
fenomen politik yang sedang berlangsung, melainkan juga menyangkut kegiatan
pembentukan budaya politik kepada masyarakat. Di sini dimaksudkan tidak
terutama bahwa para anggota parpol terjun ke tengah masyarakat untuk
mengajarkan ilmu politik supaya masyarakat bisa berpolitik secara benar, tetapi
terutama bahwa cara-cara mereka bertindak dan cara-cara mereka mengambil
keputusan di dalam organisasi politik adalah cara-cara yang memungkinkan pembentukan
budaya politik yang demokratis bagi masyarakat pada umumnya. Namun, apa yang
terjadi selama ini? Justru, para anggota parpol sendiri dalam konteks
pergerakan dan perjuangan partai, sering demi mencapai target politik,
menggunakan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai dan norma-norma demokrasi.
Karena itu, sebenarnya sosialisasi
politik pertama-tama adalah usaha pendidikan anggota partai menjadi manusia
yang sadar akan tanggung jawab sebagai warga negara dan sadar sebagai politisi
yang bertugas untuk memperjuangkan kepentingan umum. Jadi, sekurang-kurangnya
ia sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Kalau tanggung jawabnya
sebagai warga negara saja lemah, apalagi tanggung jawabnya sebagai politisi
untuk memperjuangkan kepentingan umum. Akan dengan mudah kita melihat
tindak-tanduk politisi yang lemah sebagai warga negara, karena biasanya dia berdebat dengan cemerlang di dalam sidang
parlemen untuk, misalnya, mengesahkan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah), dengan argumentasi atas nama kepentingan masyarakat (umum).
Ternyata, perjuangannya itu betul-betul hanya sebatas „atas nama“ kepentingan
umum, karena sasaran sebenarnya bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan
untuk kepentingan pribadinya. Bagaimana kita menyiapkan anggota parpol agar menjadi
politisi yang cerdas dan bertanggung jawab? Itulah peran sosialisasi politik
yang dilakukan oleh partai politik, misalnya, melalui kursus kader, penataran,
ceramah di lingkungan parpol itu sendiri.
Ketiga, partai politik sebagai
sarana rekrutmen politik: Partai politik berfungsi untuk melakukan
seleksi anggotanya untuk menjadi pemimpim baik di internal partai maupun di
dalam pemerintahan. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai politik
membutuhkan kader partai yang berkualitas cemerlang dalam bidang pemikiran
politik dan kepemimpinan. Karena, hanya dengan kader yang demikian partai
politik dapat menjadi organisasi politik yang dapat berkiprah dalam politik
pemerintahan dengan baik. Dengan mempunyai kader-kader yang berkualitas, partai
tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk
mengajukan calon pemimpin politik di pemerintahan baik di tingkat daerah maupun
nasional.
Rekrutmen internal untuk memilih
pemimpin partai umumnya sejauh ini berjalan dengan baik, meski sering juga disertai
dengan sedikit ketegangan dan pertentangan di kalangan anggota partai, karena
masing-masing kubu di dalam partai memperjuangkan „orangnya“ untuk duduk di
posisi pimpinan partai. Juga, rekrutmen politisi untuk duduk di posisi pimpinan
di lembaga parlemen, sejauh ini berjalan dengan baik, walupun sering juga
dengan ketegangan dan pertentangan di dalam tubuh partai, karena baik orang
partai di dalam parlemen maupun orang partai di luar parlemen, memiliki
kepentingan yang berbeda. Sedangkan, yang menjadi problematis, atau boleh juga
dikatakan, yang menjadi kelemahan besar rekrutmen politik selama ini adalah
rekrutmen politik untuk menduduki jabatan politik di lembaga eksekutif-pemerintahan,
seperti memilih dan menetapkan calon presiden dan wakilnya, calon gubernur dan
wakilnya, calon bupati/walikota dan wakilnya. Sebagian besar partai politik belum
berani mencalonkan kader partainya untuk posisi jabatan politik itu. Ini
disebabkan karena partai politik masih berpandangan bureaucratic polity,
bahwa yang pantas menduduki jabatan politik sebagai kepala pemerintahan adalah
mereka yang berpengalaman di bidang birokrasi pemerintahan; jadi yang layak menduduki jabatan itu, dalam
pandangan mereka, adalah birokrat. Hanya sedikit partai politik yang
benar-benar menjalankan apa yang disebut politik partai, yakni mereka
berani mencalonkan kader partainya
sendiri untuk posisi jabatan politik di birokrasi pemerintahan.
Keempat, partai politik
adalah sarana pengatur konflik. Di dalam suatu masyarakat majemuk
seperti Indonedia potensi konflik selalu ada. Apabila kemajemukan itu terjadi
di negara yang berpaham demokrasi, maka persaingan dan perbedaan pendapat
dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Di sini partai politik berfungsi sebagai
pengatur konflik itu. Elite partai politik dapat menumbuhkan pengertian di
antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan para pendukungnya. Jadi,
partai politik di sini dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional
antara warga negara dengan pemerintah. Selain itu juga partai politik melakukan
konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang muncul di
pelbagai lapisan masyarakat.
Melihat kenyataan sejauh ini, kita
harus berani mengakui bahwa partai politik belum sepenuhnya menjalankan tugasnya
sebagai pengatur konflik di dalam masyarakat, malah justru partai politiklah
yang menjadi pemicu konflik di dalam masyarakat. Bahwa setiap partai politik
memiliki nilai-nilai yang diperjuangkan, yang bisa saja berbeda dan bahkan
bertentangan, namun kenyataan itu tidak harus menjadi alasan bagi munculnya
konflik di dalam masyarakat. Memang konflik adalah fenomen positif bagi
kehidupan bersama. Namun, yang umum terjadi di dalam konteks kehidupan multi
partai, konflik yang muncul selalu yang bersifat saling menghancurkan, dan konflik
terjadi bukan karena mempersoalkan kepentingan umum masyarakat melainkan lebih karena
mempersoalkan kepentingan kelompok bahkan kepentingan orang-seorang yang dibungkus
dalam kepentingan partai.
1 komentar:
digikalaoffer.blogsky.com
digikla.blog.ir
کسب و کار اینترنتی
seologs
bigidst
miucdst
revolublog
clik.blogg
kazeo
eklablog
Posting Komentar