Masyarakat Madani di Indonesia

a. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru yang didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan asumsi Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas untuk mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi rakyat untuk memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan memilik efek positif juga pada lapisan rakyat bawah.

 Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membentuk Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yang tidak bersifat ideologis dan lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya maka Golkar merupakan partai politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang memiliki jalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi dan para teknokrat.

Kemenangan Golkar tidak lepas dari kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin politiknya melakukan kampanye terselubung. Suatu cara yang ditentang berbagai partai politik, terutama Partai NU yang menjadi saingannya. Golkar berhasil menguasai mayoritas kursi parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung regim Orde Baru dan sebaliknya berusaha membatasi pengaruh partai politik. Keluar Keputusan MPR tahun 1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai di aras kabupaten. Kemudian keluar kebijakan deideologisasi pada tahun 1973 yang menggabungkan partai-partai politik kedalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam PPP; sedangkan partai-partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar (Sitompul, 1989: 127).
Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan melakukan intervensi dalam pemilihan ketua sehingga citra parpol menjadi menurun di mata rakyat. Intervensi merupakan suatu yang sangat lumrah karena kedua partai politik PPP dan PDI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi berbagai unsur yang  membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat dan rakyat menjadi apatis terhadap politik.

Meskipun pembangunanisme telah menghasilkan angka pertumbuhan ekeonomi sebesar rata-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980, namun angka kemiskinan masih relatif tinggi, angka pengangguran meningkat, dan yang tak kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan manfaatnya bahkan merugikan rakyat. Hal ini disebabkan ideologi developmentalisme yang telah dielaborasi menjadi program-program pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan rakyat untuk kepentingan kaum borjuis.

Nasib rakyat yang tertindas kurang mendapatkan perhatian secara memadai karena partai politik tidak dapat mengagresikan Media massa sulit melakukan kritik terhadap pemerintah

Militer terlibat juga dalam kegiatan ekonomi dan melakukan kerjasama dengan para konglomerat sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap nasih rakyat

b. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang relatif memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi pengaruh ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

c. Kelahiran Civil Society
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.


            Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir)  atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger