Nabi Muhammad SAW dan Masyarakat Madani

 Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan ide civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis   that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own legal code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: 2). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good.

 Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dalam QS 2: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh kepada para malaikat bersujud kepada Adam (manusia pertama) yang telah diberi kelebihan akal pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut dari paham humanisme ini, kemudian di Barat sebagaimana yang dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat dari asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga harus diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci”.

Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seorang ahli sejarah dunia, melihat bahwa seandainya sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil dari sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini sungguh sangat sukses dan memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi peradaban, di antaranya dalam bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam datang, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-untuk tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India dan ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka tidak mau mempelajari ilmu-ilmu lain. Namun tidak demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada di negeri Cina.”  Dalam salah satu ayatnya, Al-Kur’an juga memerintahkan kita untuk bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr dalam ayat itu sebagai al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).

Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu, dan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam, disamping tidak melontarkan ise suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

            Nabi Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep ummat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai pada masa Nabi Muhammad karena tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya dapat menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah.

Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah mengembangkan ada lima jaminan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.

Bahkan konsep civil society itu mendapat pengaruh dari pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan buku karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) dan M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka tentang kedaulatan (sovereignty), mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu.


Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger