Menurut TID UN ESCAP (2007), terdapat sekitar 10
permasalahan utama dalam penggunaan e-commerce, yaitu:
·
Kontrak elektronik
·
Tandatangan elektronik/tandatangan digital
·
Pembayaran elektronik dan jaminan keamanan
·
Penyelesaian sengketa
·
Batas negara dan hukum yang digunakan
·
Perlindungan konsumen
·
Kejahatan internet
·
Hak kekayaan intelektual
·
Pajak
·
Harmonisasi sistem hukum
Menurut Vera, Ellen dan Melissa (2008), beberapa
permasalahan hukum dalam aktivitas e-commerce :
·
Otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui
internet;
·
Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan megikat
secara hukum;
·
Obyek transasksi yang diperjual belikan;
·
Mekanisme peralihan hak;
·
Hubungan hukum dan pertanggung jawaban para pihak yang
terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti
perbankan, internet service provider (ISP), dan lain sebagainya;
·
Legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan
digital sebagai alat bukti;
·
Mekanisme penyelesaian sengketa;
·
Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam
penyelesaian sengketa
Hukum
perjanjian Indonesia menganut azas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338
KUH Perdata. Azas ini memberikan kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk
membentuk suatu perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu
suatu perjanjian. Dengan demikian para
pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hukum diantara
mereka. Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce menimbulkan perikatan antara para
pihak untuk memberikan suatu prestasi.
Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.
Jual beli
merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata sedangkan
e-commerce pada dasarnya merupakn model transaksi jual beli modern yang
mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai media
transaksi. Dengan demikian selama tidak
diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual
beli yang diatur dalam buku II KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum
aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce
tersebut menimbulkan sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya
dalam ketentuan tersebut.
Menurut Marhum Djauhari (2009), permasalahannya
tidaklah sesederhana itu. e-commerce merupakan model perjanjian jual
beli dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual
beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga
bersifat global. Adaptasi secara langsung ketentuan jual beli konvensional akan
kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteks e-commerce. Sebagai fenomena yang relatif baru,
bertransaksi bisnis melalui internet memang menawarkan kemudahan, namun
memanfaatkan internet sebagai fondasi aktivitas bisnis memerlukan tindakan
terencana agar berbagai implikasi yang menyertainya dapat dikenali dan diatasi.
Di
Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dan e-commerce masih rentan.
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang berlaku sejak tahun 2000 memang
telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat
untuk diterapkan dalam e-commerce. Karateristik yang berbeda dalam
system perdagangan melalui internet tidak cukup tercover dalam UUPK tersebut.
Untuk itu perlu dibuat peratauran hukum mengenai transaksi e-commerce yang
lebih dapat menjamin para pihak yang menggunakan e-commerce.
Dalam
bidang hukum saat ini Indonesia telah memiliki perangkat hukum setelah lama
menunggu, DPR-RI akhirnya mengesyahkan RUU-ITE pada tanggal 25 Maret 2008,
menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU-ITE), yang didalamnya antara lain mengatur upaya
melindungi masyarakat dari situs-situs a-susila, transaksi elektronik. Dengan
demikian seluruh transaksi elektronik di Indonesia telah memiliki dasar hukum
yang jelas. Dengan menggunakan Undang-Undang ITE, aparat hukum dapat menjerat
setiap orang, baik WNI maupun WNA, baik yang berada di dalam negeri maupun luar
negeri yang melakukan tindak kejahatan karena orientasi penegakan hukum UU-ITE
bukan sekedar Locus delicti dan tempus delicti, akan tetapi lebih berorientasi
pada akibat hukum dari perbuatan.
Dengan
menganut azas yurisdiksi ekstra teritorial dan mengakui alat bukti elektronik
sebagai alat bukti sah di pengadilan serta tanda tangan digital mempunyai kekuatan
yang sama dengan tanda tangan basah, maka UU-ITE merupakan rezim hukum baru
dalam khasanah peraturan perundang-undangan yang dapat menjangkau siapapun,
kapanpun dan dimanapun, seiring dengan pengesahan UU-ITE ini, maka masyarakat
Indonesia telah menjadi bagian komunitas pergaulan dunia tanpa mengenal adanya
batas-batas territorial Negara.
1 komentar:
Artikel yang bagus,bisakah tolong ditunjukkan artikel dari TID UN ESCAP yang menyatakan tentang 10 permasalahan transaksi e-commerce tersebut?
Posting Komentar