Masyarakat
madani merupakan wacana yang sedang dikembangkan pada era reformasi sekarang
ini. Supaya dapat menempatkan wacana tersebut dalam konteks yang tepat maka
kita harus mengetahui sejarah perkembangan konsep masyarakat madani,
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di dalamnya, dan hambatan menciptakan
masyarakat madani di Indonesia .
Masyarakat
madani merupakan padanan dari konsep civil
society (masyarakat sipil) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan
tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah
digunakan kata societies civilis oleh
Cicero , namun
dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep civil society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang
otoriter, dengan menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara.
Konsep
civil society diadopsi oleh umat
Islam dengan pendekatan projecting back
theory, yaitu melihat pada sejarah awal Islam sebagai patokan, dan bila
tidak ditemukan maka dicarikan pada sumber normatif al-Kur’an dan al-Hadits. Civil society diterjemahkan dengan masyarakat madani, yaitu suatu
masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Ciri-ciri kehidupan
pada masa Nabi yang ideal dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Kehidupan
yang ideal pada masa Nabi merupakan acuan juga bagi John Locke, Mostequieu, dan
Rousseau dalam menyusun konsep civil
society.
Masyarakat
madani sebagai terjemahan dari civil
society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri
Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah pada Simposium
Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995
(Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan
oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia ,
pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil
atau civilized (beradab). Madani
berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal
dalam kehidupan.
Konsep
masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai
Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan
Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam
yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan
diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri
Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang
berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan
menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk
menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari
partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada
tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari
mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan
nasionalis yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur
sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka mengembangkan gerakan
prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil.
Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu
massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk
mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama eksistensi Orde Baru. ABRI
tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan keamanan saja tetapi juga
mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya
pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik
dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam
politik sangat menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem
pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi regim yang bersifat
bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).
Konsep masyarakat madani berkembang
belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil. Istilah masyarakat madani
yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi lebih populer karena didukung
oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan politik secara hati-hati dengan
mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil atas desakan negara-negara
donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989. Bagi regim Orde Baru,
istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak seperti halnya konsep civil
society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan
sebagaimana yang terjadi di USA .
Era Reformasi yang melindas
rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang juga
ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan
konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan
diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie
mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk
membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan
konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk
menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang
terbukti sudah tidak cocok lagi.
Munculnya
konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu
menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan
ajaran Islam dengan konsep civil society
yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung
terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat
madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil
dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan
konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat dari proses
pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Like all other
vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor
unprejudiced (Curtin, 2002: 1).
Perumusan
dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang
mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma
al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran
baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat
dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para
cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil
society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan
Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara
kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk
menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang
sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan
dengan masyarakat ideal dalam konsep civil
society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah
teruji validitasnya berdasarkan landasan
normatif (nass) dari sumber primer
Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).
0 komentar:
Posting Komentar