Pengertian
kepribadian menurut Islam dapat kita perhatikan dalam rangkaian QS Al Isra’ 36,
Al A’raf 179, As Sajdah 9, Ar Ra’du 19-22 dan An Nazi’at 401 yaitu :
kepribadian adalah totalitas dari kegiatan
komponen- komponen dalam kesatuan lingkungan jasmaniah-ruhaniah yang terbina
melalui proses ta’dibiyah, tarbiyah, pengalaman dan pengaruh lingkungan hidup
yang membentuk cara- cara berpikir, berkehendak, berperasaan dan bertingkah
laku, yang menjadi cirri khas sikap mental dan citra seseorang dalam menghadapi
sesuatu.
Semua hal yang
tersebut di atas itu digerakkan oleh ruh, suatu kekuatan yang menyebabkan
kehidupan pada benda-benda hidup. Dari ruh ini timbullah akal, hati nurani,
nafsu, hawa dan perasaan. Kelima hal tersebut merupakan komponen atau organ ruhaniah.
1.
Akal, sesuatu yang halus yang
mengerti segala sesuatu untuk menangkap segala ilmu pada diri manusia.
2.
Hati nurani, tempat benih iman
dan instink ruhaniah, keyakinan atau instink rabbani sebagai hidayah naluri
dari Allah yang diberikan sejak alam arwah (QS Al A’raf 172 dan QS Ar Rum 30)2. Hati nurani
inilah sebagai sumber suara hati (hadits Nafs) yang selalu memberikan suara
halusnya yang berasal dari bisikan malaikat sebagai petunjuk dari Allah SWT,
jika baik dikerjakan, jika jelek ditinggalkan terhadap sesuatu yang dihadapi.
3.
Nafsu, tempat timbulnya
keinginan yang di dorong oleh motif dari luar maupun dari dalam. Nafsu inilah
yang menimbulkan berbagai macam kreativitas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
4.
Hawa, keinginan lebih yang
menimbulkan sifat serakah pada manusia, selalu merasa kekurangan, keluh kesah
dan kikir.
5.
Perasaan, komponen njiwa yang
selalu memberikan evaluasi dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh
peristiwa kejiwaan.
Proses pengendalian diri (jihadun nafs) ini diperankan oleh akal sebagai
pemimpin dalam perebutan untuk mempengaruhi nafsu, pilihan antara bisikan
malaikat melalui hati nurani dan bisikan syetan melalui hawa yang akan
menentukan kualitas kepribadian manusia tersebut. Jika nafsu tersebut lebih
dominan pada bisikan malaikat (hati nurani), maka tingkah lakunya akan selalu
dihiasi perbuatan baik. Namun jika nafsu lebih condong pada bisikan syetan
(hawa), maka tingkah lakunya akan selalu dihiasi perbuatan buruk.
Arti nafsu secara
lughawi adalah Ar ruuh, ad damu, ash shakhsyu, adz dzaatu dan alhimmah. Dalam perjuangan merubah jiwa,
perlu melalui berbagai tahapan nafsu, sehingga terdapat beberapa tingkatan
kejiwaan atau keprbadian, yaitu:
1.
Nafsu Ammarah, yaitu keadaan
jiwa yang masih binal, belum punya pedoman tentang yang baik dan yang buruk.
Semua yang menguntungkan dianggapnya baik, tidak merasa berdosa jika berbuat
salah. Seluruh nafsunya bahkan akalnya tunduk kepada kemauan hawanya. Keadaan
jiwa semacam ini selalu memerintahkan (ammarah) kepada kejahatan (QS Yusuf 53).
Dalam surat tsb Allah memakai shighah mubalaghah untuk menegaskan bahwa keadaan
jiwa seperti ini akan senantiasa mengajak pada keburukan. Dalam nafsu ammarah
ini ada 2 daya yang sering mendominasi, yaitu: daya syahwat buta (keinginan
terhadap sesuatu secara binal, dan daya ghadhab (gampang marah, emosi, angkuh,
sombong). Jadi orientasi kepribadian ini adalah mengikuti sifat kebinatangan.
Nafsu lawwamah dapat beranjak pada nafsu yang lebih baik apabila telah diberi
rahmat dari Allah SWT.
2.
Nafsu lawwamah, yaitu keadaan
jiwa yang sudah mengenal baik dan buruk akan tetapi belum mengerjakan yang baik
dan meninggalkan yang buruk (Al
Qiyamah 2)3 . Jiwa yang masih fasad ini
sudah mengenal rasa menyesal sehabis berbuat maksiat. Sebenarnya nafsu pada
tahap ini berada dalam kebimbangan antara nafsu ammarah dan nafsu muthmainnah.
Adapun kata lawwamah, ada perbedaan pendapat tentang akar katanya.apakah ia
dari kata talawwum (berubah-ubah dan ragu-ragu) atau dari kata al laum
(tercela). Yang pasti antara 2 makna itulah yang diyakini olah ulama’ salafus
shalih kita
3.
Nafsu lawwamah, yaitu keadaan
jiwa yang sudah mengenal baik dan buruk akan tetapi belum mengerjakan yang baik
dan meninggalkan yang buruk (Al
Qiyamah 2)3.
4.
Nafsu muthmainnah, keadaan jiwa
yang sudah mengetahui yang baik dan mampu mengerjakannya, serta sudah
mengetahui yang buruk dan mampu pula meninggalkannya. Meski terkadang terlanjur
berbuat dosa tetapi segera bertaubat sehingga dapat merasakan ketenangan lahir
batin (QS Al Fajr 27)4.
5.
Nafsu mudhammah, jiwa yang
sudah mendapat ilham dari Allah SWT.
6.
Nafsu Radhiyah, kualitas jiwa
yang sudah penuh dengan rasa kecintaan dan kerelaan pada Allah SWT dalam segala
aspek kehidupan (QS Al Ghasyiyah 9 dan QS Al Haqqah 21)5.
7.
Nafsu mardhiyah, jiwa yang
sudah diridhai oleh Allah SWT, yaitu jiwa para Nabi yang telah diridhai oleh
Allah (Al Fajr 28)6.
8.
Nafsu kamilah, kualitas jiwa
yang sudah sempurna, jiwanya para Rasul yang ma’shum.
Menurut Fatchur Rahman
dalam kitabnya Al Haditsun, untuk mencapai kematangan nafsu tersebut, perlu beberapa
proses terbentuknya niat sebagai lang kah awal seseorang untuk melakukan
tindakan atau amal, yaitu:
1.
Hajis, yaitu goresan atau
lintasan hati sebagai permulaan munculnya kehendak yang menjadi momen timbulnya
alas an-alasan.
2.
Khathir, yaitu rangsangan hati
sebagai perkembangan dari tahap pertama, kemudian bergerak menjadi rangsangan
yang lebih kuat
3.
Hadits, nafs, yaitu suara hati
sebagai perkembangan lebih lanjut dari khathir yang bergerak untuk menentukan
dan membisikkan suara hati ke dalam jiwa, untuk melakukan atau tidak melakukan.
Posisi keduanya dalam keadaan seimbang
4.
Hamm, yaitu cita hati sebagai
momen memilih anatara 2 keseimbangan yang mulai memberat pada salah satu,
melaksanakan atau tidak.
5.
‘Azam, yaitu hasrat yang kuat
sebagai pemantapan dari hamm dan momen untuk mengambil keputusan tanpa
ragu-ragu.
6.
Niyah, yaitu kehendak dan qashd
sebagai momen untuk mulai berbuat.
7.
Amal, yaitu perbuatan yang
dilakukan secara sadar yang sudah memasuki pada wilayah taklif
Menurut hadis riwayat Bukhari Muslim, proses niat dari tahap pertama
sampai tahap ketiga belum dapat dianggap sebagai tindakan ikhtiyari yang dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum, berpahala atau berdosa. Kemuadian Allah
mulai memantau dan memperhitungkan peristiwa kejiwaan ini mulai dari tahap himmah.
Jika himmah itu baik, dilakukan maupun tidak, ia mendapatkan pahala. Jika
himmah itu jelek dan tidak dilaksanakan, maka ia tidak berdoasa, namun jika ia
melaksanakan, barulah dia mendapat dosa.
Dinamika Kepribadian
Freud beranggapan bahwa kesadaran, pra kesadaran, ketidaksadaran,
id, ego dan superego bisa bekerja dengan baik karena adanya energy psikis yang
berasal dari fisiologis yang bersumber dari makanan. Freud sendiri
mendefinisikan energy psikis sebagai organisme manusia yang merupakan system
energy yang berasal dari makanan, lantas dapat menggerakkan hidupnya.
Energy psikis tersebut mencari caranya sendiri untuk dipergunakan
oleh id, ego dan superego. Diantara ketiga aspek tersebut, aspek yang paling banyak
menggunakan energy psikislah yang berpengaruh terhadap bentuk tingkah laku
individu.
Demikianlah freud menjelaskan bagaimana pentingnya makanan sehingga
dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Sedangkan islam sejak jauh hari sudah
mengatur bagaimana seorang muslim harus memperhatikan makanannya, mulai dari
perintah untuk memakan makan yang halal lagi thayyib, pembagian makanan yang
dihalalkan dan makanan yang diharamkan sampai pada pengaruh kehalalan makanan
terhadap factor penyebab terkabulnya doa. Yang pada akhirnya semua aturan-aturan
tersebut dapat bersinergi membentuk satu kesatuan yang utuh sebagai unsur-unsur
manusia muslim yang berakhlaqul karimah.
Mujib dan Yusuf Mudzakkir dalam bukunya mengemukakan bahwa manusia
memiliki 3 daya nafsani yaitu akal (fitrah insaniah yang berkedudukan di otak),
kalbu (fitarah ilahiah yang berkedudukan di jantung) dan nafsu (fitrah
hayawaniah yang berkedudukan di perut dan alat kelamin).
Dari pembagian di atas, nafsu yang berkedudukan di perut akan
menuntut suplai makanan dan minuman yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar
dapat dioperasionalkan secara hissiah yang berkolaborasi dengan akal dan kalbu
sehingga dapat membentuk sebuah satuan tindakan individu.
Oleh karena itu, islam mengatur bagaimana
seorang muslim harus memperhatikan makanannya karena secara tidak langsung akan
berdampak pada kinerja nafsu.
Sesungguhnya manhaj Islam dalam hal makanan adalah sebagaimana
manhaj Islam dalam masalah yang lainnya yakni bertujuan untuk menjaga akal,
nafsu dan jasmani. Diperbolehkannya makanan yang halal lagi baik adalah karena bermanfaat
bagi badan dan akal, adakalanya makanan tersebut halal menurut zatnya akan
tetapi dilihat dari proses mendapatkannya dilalui dengan tidak baik. Dan Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para hambaNya agar meninggalkan
makanan yang kotor dan haram karena akan berpengaruh negatif terhadap hati, akhlaq
dan menghalangi hubungan dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala , serta
menyebabkan tidak terkabulnya do'a
Islam
juga mengatur segala macam makanan yang haram untuk dikonsumsi oleh kaum
muslimin seperti dalam QS Al Baqarah 173Dalam ayat tersebut Allah SWT menyebutkan beberapa makanan yang haram
untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin dan mengindikasikan sebuah kaidah ushul
fiqih yang telah disepakati oleh ulama’ ushul fiqih maupun ulama’ fiqih yaitu
al ashlu fil mu’amalah mubah, bahwa kaidah asal segala sesuatu dalam mu’amalah adalah
boleh, ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah
perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang
biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak
haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah
diharamkan dan dikonkritkannya dalam bentuk datangya nash yang shahih yang
melarangnya. Jadi selama tidak ada larangan dalam nash, maka segala urusan
manusia yang berhubungan dengan mu’amalah termasuk didalamnya dalam urusan
makanan adalah mubah dan halal.
Setelah diteliti
ternyata sebagian besar makanan yang diharamkan Allah yang ada dalam Al Qur’an maupun
hadits memiliki dampak negative terhadap kesehatan tubuh manusia sehingga akan
berdampak pula pada aspek psikis orang yang memakan makanan haram teresebut
Seseorang yang ingin
memiliki kekuatan batin bersumber dari tenaga Ilahiyah harus memperhatikan
makanannya. Baginya pantang kemasukan makanan yang haram karena keberadaannya
akan mengotori hati. Makanan yang haram akan membentuk jiwa yang kasar dan
tidak religius. Makanan yang haram disini bukan hanya dilihat dari jenisnya
saja ( Misal ; Babi, bangkai, dll. ), tapi juga dari cara dan proses untuk
mendapatkan makanan tersebut.
Efek dari makanan yang
haram ini menyebabkan jiwa sulit untuk diajak menyatu dengan hal-hal yang
positif, seperti : dibuat zikir tidak khusuk, berdoa tidak sungguh-sungguh dan
hati tidak tawakal kepada Allah, serta tidak tercapainya tujuan dari shalat.
Daging yang tumbuh dari
makanan yang haram selalu menuntut untuk diberi makanan yang haram pula.
Seseorang yang sudah terjebak dalam lingkaran ini sulit untuk melepaskannya,
sehingga secara tidak langsung menjadikan hijab atau penghalang seseorang memperoleh
getaran/ cahaya Ilahiyah sehingga ia
terbiasa dengan perbuatan kotor
Setitik makanan yang haram memberikan efek terhadap kejernihan
hati. Ibarat setitik tinta yang jatuh diatas kertas putih, semakin banyak unsur
makanan haram yang masuk, ibarat kertas putih yang banyak ternoda tinta.
Sedikit demi sedikit akan hitamlah semuanya. Ibrahim Bin Umar Al Biqa’i, ahli tafsir pada abad ke-15 menyatakan orang
yang suka makan makanan kotor bertabiat kasar, keras dan tidak suka menerima
kebenaran
Hati yang gelap
menutupi hati nurani, menyebabkan tidak peka terhadap nilai-nilai kehidupan
yang mulia. Seperti kaca yang kotor oleh debu-debu, sulitlah cahaya menembus
nya. Tapi dengan zikir dan menjaga makanan haram, hati menjadi bersih
bercahaya. Bahkan ibadah puasa itu bertujuan menyucikan darah dan daging yang
timbul dari makanan yang haram. Dengan kondisi badan yang bersih, diharapkan
ilmu batin lebih mampu bersenyawa dengan jiwa dan raga.
Orang
yang biasa memakan makanan haram akan terbiasa pula untuk melakukan tindakan
yang tidak baik dan maksiat, itulah hubungan antara makanan haram yang masuk
dalam perut akan menyebabkan perbuatan yang diharamkan pula, maka akan terjadi
dampak psikologis yang mendorong nafsu untuk memenuhi segala keinginan yang
disampaikan oleh hawa sehingga timbullah tindakan-tindakan yang berorientasi
pada syahwat buta dan ghadhab.
Islam
tidak hanya mengatur mengenai hal makanan sebagai zat, tetapi juga mengatur
bagaimana cara makan yang baik menurut islam agar makanan yang masuk tersebut
di rihai oleh Allah SWT dengan membaca basmalah pada saat akan makan dan
membaca hamdalah ketika selesai7, ketika seorang muslim
membaca kalimah tasmiyah dan hamdalah ketika selesai, hal tersebut akan
berdampak psikolologis pada ketenangan hati dan kejernihan jiwa sehingga akal
meresponnya dengan pikiran-pikiran yang positif sehingga amal perbuatannya
senantiasa dalam kebaikan.
Adapun anggapan banyak orang mengenai ungkapan
نحن قوم لا نأكل
حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
Banyak orang menganggap
ungkapan yang tersebut di atas sebagai hadits nabi, akan tetapi setelah
ditelusuri secara mendalam ternyata ungkapan tersebut hanyalah sebuah nasehat
yang ada ada dalam kitab Ar rahmah fit thiib war rahmah karya imam As Suyuti.
Mengenai makanan haram
sebagai sebab utama tidak terkabulnya doa ada dalam hadist nabi, Al-Hafidz Ibnu
Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika dia (Ibnu
Abbas) membaca suatu ayat : maka berdirilah Sa'ad bin Abi Waqash, kemudian
berkata :"Ya Rasulullah, do'akan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi
orang yang dikabulkan do'anya oleh Allah." Maka Rasulullah SAW bersabda
:"Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya
engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do'anya. Dan demi jiwaku yang
ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yg memasukkan makanan haram ke
dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan
seorang hamba yang daging nya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka
lebih layak baginya”. (HR.At-Thabrani) . [Lihat Ad-durar Al-Mantsur fi Tafsir
bil Ma'tsur Juz: II hal. 403]
Fu’ad bin abdul aziz
asy syalhub dalam kitabnya menyatakan bahwa sikap berlebih-lebihan dalam
mengambil makanan akan mengakibatkan tubuh menjadi sakit dan akan
menyebabkannya terserang berbagai penyakit. Ia akan menyebabkan tubuh terasa
penat dan malas sehingga ia merasa berat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan,
serta akan mewarisi hati yang keras.
Dan sebaliknya, sedikit
makan akan melemahkan tubuh yang akhirnya akan melemahkannya dari
ketaatan kepada Allah. Hadits mengenai hal tersebut bisa kita lihat melalui
hadis dari Miqdam Bin Ma’di Karib:
ما ملأ آدمي وعاء شرا من بطن بحسب ابن آدم أكلات يقمن صلبه فإن كان لا
محالة فثلث لطامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه
Dalam haidts tersebut jelas Islam sebenarnya telah
mengatur proporsi makan bagi pemeluknya agar ada keseimbangan di dalam
hidupnya. Sehingga dengan keseimbangan tersebut akan berimplikasi pada perilaku
yang baik karena bekerjanya sistem akal sebagai alat rasio, kalbu sebagai alat
perasa dan nafsu sebagai sumber syahwat berkolaborasi dengan proporsional.
Demikianlah
perspektif Islam mengenai teori psikoanalisis freud, dari paparan yang telah
digambarkan secara gamblang di atas dapat kita simpulkan bahwa struktur
kepribadian yang diperkenalkan oleh Freud ternyata sudah berabad-abad lalu telah disinggung oleh Islam dari berbagai ayat-ayat Al Qur’an dan
hadist-hadist shahih, yang menjadi perbedaan hanyalah terletak pada aspek
istilah yang digunakan oleh freud sehingga tampak dari luar sebagai sebuah
teori baru yang ilmiah akan tetapi dari segi isi dan dasar-dasar teori
sebenarnya sudah terlihat usang karena sudah disinggung dalam Islam yang datang
jauh sebelum freud menemukan teorinya tersebut. Wallaahu
a’lam bish shawaab
0 komentar:
Posting Komentar