Pembangunan Hukum Pasca 1965

Dalam kepustakaan banyak sekali dirumuskan pengertian pembangunan. Seperti misalnya, rumusan Robert S. Seidman, dalam bukunya “The State, Law and Development”, mengartikan bahwa pembangunan merupakan perubahan terus-menerus dan mencakup bidang-bidang perilaku, ekonomi dan kelembagaan. Dikatakan pula bahwa dalam pembangunan, ilmu merangsang perubahan-perubahan perilaku, dan selanjutnya  menuntut uasaha dan kegiatan partisipasi, usaha kebersamaan (koperatif) dan kegiatan pemecahan problema. Lebih dari itu semua, harus disadari bahwa pada dasarnya pembangunan merupakan proses politik, yang ditopang kehendak bersama (lihat. Robert B. Seidman, 1978,h.159,226,244,285,301). Yang jelas pembangunan memang merupakan usaha terus-menerus untuk mengadakan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik daripada sebelumnya dalam rangka pembangunan  bangsa yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa , negara,pemerintah ( Baca pula. Sondang P. Siagin, 1980, h.10).

Pembangunan nasional dinegara-negara berkembang, pada hakekatnya, merupakan usaha kearah modernisasi dalam berbagai kehidupan bangsa yang bersangkutan, termasuk modernisasi hukum. Modernisasi hukum disini dapat diartikan sebagai transformasi total dari tata hukum lama menjadi tata hukum baru yang lebih baik sesuai dengan kemajuan dan keadaan yang lebih baik. Pembangunan hukum mengandung makna ganda, yaitu : (Mochtar Kusuma atmaja, 1976,h.12).

Pertama, sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian biasa disebut modernisasi hukum.

Kedua, sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan social sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.

Akan tetapi menurut Satjipto Rahardjo, pembedaan itu tidaklah perlu diperhatikan, sebab memang keduanya tidak dapat dipisahkan secara tajam dan banyak kesempatan keduanya akan tergabung menjadi satu (Satjipto Rahardjo.1979,h.227).

Dalam pembangunan hukum di Indonesia, juga diinginkan adanya transformasi total, dalam arti sebagai upaya perombakan secara fundamental terhadap hukum yang lama untuk
Digantikan dengan tata hukum yang baru sama sekali. Pembangunan hukum ini mempunyai keterikatan yang erat dengan politik, mulai dari pembentukannya sampai kepada pelembagaannya, melalui berbagai lembaga dan kekuatan dalam masyarakat “Law is Politics’, begitu kata R. Wietholther dalam “Political Rechtstheorie”. Hal ini menyangkut pula karakteristik pembinaan hukum di Indonesia, yang ingin dimulai dari landasan yang paling fundamental, yaitu pembuatan atau penyusunan tata hukum Indonesia baru. Pembangunan hukum di Indonesia dapat dimasukkan dalam kategori revolusioner. Keinginan untuk mempunyai suatu tata hukum sendiri, mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai dan asas-asas baru yang akan dimasukkan kedalam tata hukum tersebut ( Periksa. Satjipto Rahardjo, 1979,h.227).

            Sebagai negara yang sedang berkembang yang sekaligus sebagai negara bekas jajahan yang mewarisi struktur hukum dan social yang majemuk, maka masalah pembangunan hukum di Indonesia cukup memperlihatkan aspek-aspeknya yang kompleks. Hal ini berakibat, walaupun tujuan yang hendak dicapai untuk mencapainyapun sudah bisa ditentukan, namun masih banyak juga persoalan-persoalan antara yang dijumpai. Misalnya, walaupun tujuan yang dikehendaki dalam pembangunan hukum diIndonesia sudah jelas, yaitu masyarakat industry modern, namun untuk mencapainya harus melalui berbagai-bagai tahap pertumbuhan.

            Konsep pembangunan hukum meliputi,lembaga-lembaga,peraturan-peraturan,kegiatan orang-orang yang terlibat kedalam pekerjaan hukum. Penelahan lebih lanjut mengenai konsep pembangunan hukum itu memperlihatkan adanya aspek statis dan dinamis ( Satjipto Rahardjo,1976,h.234). Aspek statis merupakan bentuk penyebutan mengenai lembaga-lembaga,aktifitas dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam pembangunan itu sendiri. Sedangkan aspek dinamis muncul karena pembangunan hukum juga sampai kepada pengamatan tentang bagaimana bekerjanya hukum hukum sehari-hari,hambatan-hambatan apa yang terjadi, apakah penyebabnya, serta melihat pula proses yang dikenal sebagai umpan balik. Proses ini tentu tidak dapat diamati dengan baik tanpa melinatkan lingkungan bekerjanya hukum itu, seperti politik,ekonomi,budaya,hankam,dan hal lainnya yang terkait.

            Dalam membicarakan pembangunan hukum di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Politik Hukum Nasional, yang pertama sekali ditetapkan melalui ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, yang menetapkan bahwa pembangunan bidang hukum dalam Negara Hukum Indonesian berdasar atas landasan sumber tertib hukum. Yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita moral, yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal ini kemudian diwujudkan lebih lanjut dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1974  tentang Repelita Kedua . Khususnya Buku III Bab 27 . Politik Hukum Nasional yang lahir pada masa orde baru (pasca 1966)ini tentu saja dipengaruhi oleh keadaan perkembangan hukum dan pembangunan hukum sebelumnya.

            Prioritea pembabguna pada masa orde baru pun berbeda dengan orde lama (yang meletekkan politik sebagai panglima), yaitu dengan mengutamakan pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi . Dengan dibentuknya kabinet baru (cabinet pembangunan )pada tahun 1968 merupakan titik awal perubahan kebijakan secara menyeluruh , dari kebijakan “politik revolusioner sebagai panglima “ke kebijakan “pembanguna ekonomi sebagai bagian dari perjuangan orde baru “. Hal ini sangat berpengaruh pula pada peran hukum di Indonesia , sehingga peran hukum berubah , dari perannya yang tersubordinasi untuk mensukseskan revolusi nasional melawan neo- kolonialisme dan imperialism ke peran sebagai bagian sarana pembangunan . Dalam hal ini maka adagio “Indonesia adalah negara  berdasarkan atas hukum “muncul dan tumbuh kembali , dengan latar belakang adanya maksud untuk mengukuhkan fungsi hukum sebagai “tool of social engineering”dan pengefektifan hukum sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu , dalam era orde baru , perkembangan hukumnya meliputi perkembangan dalam konfigurasi konsep “law as a tool social engineering “dan konfigurasi hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusi (masyarakat sipil )dari kesewenangan penguasa (lihat. Soetandyo Wignjosoebroto,1994,h.226).

            Karena titik berat pembangunan pada masa orde baru adalah ekonomi , maka pembangunan hukumnya dirintis untuk memfungsionalkan hukum bagi kepentingan ekonomi. Ide “law as tool social engineering baru ditujukan secara selektif untuk memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja. Kelembagaan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi  (misalnya pengaturan tentang pertahanan ,pertambangan ,perpajakan, dan lain-lainnya yang sejenis)akan memberikan jaminan kepastian yang penting untuk pembangunan ekonomi . Karena tidak dianjurkan untuk mengutamakan rujukan hukum adat atau hukum klasik colonial, maka hukum nasional pada masa orde baru tersebut dikualifikasi sebagai hukum nasional sebagai hukum nasional modern , yang boleh dikatakan tidak sekedar”mengikuti arah perkembangan sejarah hukum yang telah berlangsung di Indonesia melainkan menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu . Ide hukum nasional dengan mengutamakan regulasi kehidupan ekonomi(secara selektif melalui perundang- undangan nasional)pada waktu itu ternyata berkenan di hati pembuat kebijakan , yang hal ini teersirat dalam Pidato Presiden Soeharto pada pembukaan konferensi Lawasia di Jakarta tahun 1973, yang mengatakan : pembangunan mengharuskan terjadinya perubahan , bahkan juga perubahan –perubahan yang sangat fundamental. Sekalipun begitu . Indonesia akan tetap menekankan pentingnya mempertahankan ketertiban dalam setiap gerak kemajuan yang akan diperoleh lewat perubahan –perubahan yang diperoleh yang demikian itu, dan dalam hal ini hukum akan merupakan sarana penting guna mempertahankan ketertiban itu. Nmun ini tidak boleh diartikan bahwa hukum hendak berpihak kepada keadaan status quo . Hukum akan menentukan lingkup perubahan –perubahan itu, namun tidaklah tepat apabila dengan demikian hukum menghalangi setiap usaha perubahan hanya semata –mata karena ingin mempertahankan nilai –nilai lama . Sesungguhnya hukum itu akan berfungsi sebagai pembuka jalan dan kesempatan menuju ke pembaharuan –pembaharuan yang dikehendaki . Hal tersebutsecara eksplisit dan resmi terekm dalam naskah REPELITA KEDUA(1974), Bab 27 paragraf IV butir 1 halaman 279: bahwa prioritas akan diberikan untuk meninjau kembali dan merancang peraturan –peraturan perundang-undangan agar segala peraturan itu bersearah dan bersesuaian dengan pembangunan sosial ekonomi, khususnya dibidang pertanian ,industri, pertambangan ,komunikasi dan perdagangan ….dst”.

            Ide “law as a tool engineering “ini ,ternyata ada juga yang menentang , yaitu para ahli hukum yang percaya bahwa harus ada kontinuitas perkembangan hukum dari hukum colonial ke hukum nasional (jadi hukum nasional harus bersumber dari hukum kolonial ) dan para ahli hukum yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan /bersumber dan diangkat dari hukum adat (Baca pula Soetandyo Wignjosoebroto,1994,h.236-243). Dengan mengacu pendapat yang terakhir ini, maka pembangunan nasional I (Indonesia )harus bersumber dari hukum colonial dan bisa pula bersumber dari hukum adat.

            Perkembangan dalam era orde baru , implementasiide hukum nasional sebagai hukum perekayasa memperoleh tempat dalam kerangka kebijaka pemerintah Orde Baru . Sedangkan peran hukum adat dalam percaturan pembangunan hukum nasional memang makin terdesak (namun tidak hilang).

            Pada PJP II, sasaran pembangunan hukum ialah terbentuk dan berfungsi sistem hukum nasional  yang mantap, bersumber Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan hukum yang berlaku , yang mampu menjamin kepastian , ketertiban , penegakkan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta mampu mendukung pembangunan nasional , yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum (GBHN 1993 Bab III Huruf E, angka 5).

            Sedangkan arah pembangunan hukum pada PJP II ialah menghasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintah dan penyelenggaraan pembangunan nasional , didukung oleh aparatur hukum yang bersih dan berwibawa , penuh pengabdian , sadar dan taat hukum , mempunyai rasa keadilan sesuai dengan kemanusiaan , serta professional, efisien dan efektif, dilengkapi ddengan sarana dan prasarana hukum . Penyusunan dan perencanaan hukum nasional harus dilakukan secara terpadudalam sistem hukum nasional (GBHN 1993 BAB III Huruf F,angka 17). Sedangkan sasaran pembangunan hukum  Pelita Keenam ialah penataan hukum nasional yang bersumber Pancasila dan UUD 1945; penyusunan kerangka sistem hukum nasional serta penginventarisan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka pembaharuan hukum nasional ; peningkatan penegakkan hukum dan pembinaan aparatur hukum nasional ;serta peningkatan sarana dan prasarana hukum (GBHN 1993 Bab IV Huruf E angka 5). Kebijakan Pelita Keenam Bidang Hukum , meliputi :Materi Hukum , Aparatur Hukum , Sarana dan Prasarana Hukum (Baca GBHN 1993 Bab IV Huruf F Hukum ).

            Dengan melihat ketentuan GBHN 1993 tersebut , maka dalam pembangunan / pembaharuan hukum nasional dalam arti luas tidak hanya memperbaharui materi/isi hukum melainkan pula sarana dan prasarananya . Ini semua merupakan konsep yang ada dalam GBHN , yang sedang dan masih ditunggu pelaksanaannya dalam lima tahun dan 25 tahun mendatang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger