Dalam kepustakaan
banyak sekali dirumuskan pengertian pembangunan. Seperti misalnya, rumusan
Robert S. Seidman, dalam bukunya “The State, Law and Development”, mengartikan
bahwa pembangunan merupakan perubahan terus-menerus dan mencakup bidang-bidang
perilaku, ekonomi dan kelembagaan. Dikatakan pula bahwa dalam pembangunan, ilmu
merangsang perubahan-perubahan perilaku, dan selanjutnya menuntut uasaha dan kegiatan partisipasi,
usaha kebersamaan (koperatif) dan kegiatan pemecahan problema. Lebih dari itu
semua, harus disadari bahwa pada dasarnya pembangunan merupakan proses politik,
yang ditopang kehendak bersama (lihat. Robert B. Seidman,
1978,h.159,226,244,285,301). Yang jelas pembangunan memang merupakan usaha
terus-menerus untuk mengadakan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik
daripada sebelumnya dalam rangka pembangunan
bangsa yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa , negara,pemerintah
( Baca pula. Sondang P. Siagin, 1980, h.10).
Pembangunan
nasional dinegara-negara berkembang, pada hakekatnya, merupakan usaha kearah
modernisasi dalam berbagai kehidupan bangsa yang bersangkutan, termasuk
modernisasi hukum. Modernisasi hukum disini dapat diartikan sebagai
transformasi total dari tata hukum lama menjadi tata hukum baru yang lebih baik
sesuai dengan kemajuan dan keadaan yang lebih baik. Pembangunan hukum
mengandung makna ganda, yaitu : (Mochtar Kusuma atmaja, 1976,h.12).
Pertama, sebagai
suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai dengan
kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir,
suatu pengertian biasa disebut modernisasi hukum.
Kedua, sebagai
suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan
cara turut mengadakan perubahan-perubahan social sebagaimana dibutuhkan oleh
suatu masyarakat yang sedang membangun.
Akan tetapi menurut
Satjipto Rahardjo, pembedaan itu tidaklah perlu diperhatikan, sebab memang
keduanya tidak dapat dipisahkan secara tajam dan banyak kesempatan keduanya
akan tergabung menjadi satu (Satjipto Rahardjo.1979,h.227).
Dalam pembangunan
hukum di Indonesia, juga diinginkan adanya transformasi total, dalam arti
sebagai upaya perombakan secara fundamental terhadap hukum yang lama untuk
Digantikan dengan tata hukum yang baru sama sekali.
Pembangunan hukum ini mempunyai keterikatan yang erat dengan politik, mulai
dari pembentukannya sampai kepada pelembagaannya, melalui berbagai lembaga dan
kekuatan dalam masyarakat “Law is Politics’, begitu kata R. Wietholther dalam
“Political Rechtstheorie”. Hal ini menyangkut pula karakteristik pembinaan
hukum di Indonesia, yang ingin dimulai dari landasan yang paling fundamental,
yaitu pembuatan atau penyusunan tata hukum Indonesia baru. Pembangunan hukum di
Indonesia dapat dimasukkan dalam kategori revolusioner. Keinginan untuk
mempunyai suatu tata hukum sendiri, mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai
dan asas-asas baru yang akan dimasukkan kedalam tata hukum tersebut ( Periksa.
Satjipto Rahardjo, 1979,h.227).
Sebagai
negara yang sedang berkembang yang sekaligus sebagai negara bekas jajahan yang
mewarisi struktur hukum dan social yang majemuk, maka masalah pembangunan hukum
di Indonesia cukup memperlihatkan aspek-aspeknya yang kompleks. Hal ini
berakibat, walaupun tujuan yang hendak dicapai untuk mencapainyapun sudah bisa
ditentukan, namun masih banyak juga persoalan-persoalan antara yang dijumpai.
Misalnya, walaupun tujuan yang dikehendaki dalam pembangunan hukum diIndonesia
sudah jelas, yaitu masyarakat industry modern, namun untuk mencapainya harus
melalui berbagai-bagai tahap pertumbuhan.
Konsep
pembangunan hukum meliputi,lembaga-lembaga,peraturan-peraturan,kegiatan
orang-orang yang terlibat kedalam pekerjaan hukum. Penelahan lebih lanjut
mengenai konsep pembangunan hukum itu memperlihatkan adanya aspek statis dan
dinamis ( Satjipto Rahardjo,1976,h.234). Aspek statis merupakan bentuk penyebutan
mengenai lembaga-lembaga,aktifitas dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam
pembangunan itu sendiri. Sedangkan aspek dinamis muncul karena pembangunan
hukum juga sampai kepada pengamatan tentang bagaimana bekerjanya hukum hukum
sehari-hari,hambatan-hambatan apa yang terjadi, apakah penyebabnya, serta
melihat pula proses yang dikenal sebagai umpan balik. Proses ini tentu tidak
dapat diamati dengan baik tanpa melinatkan lingkungan bekerjanya hukum itu,
seperti politik,ekonomi,budaya,hankam,dan hal lainnya yang terkait.
Dalam
membicarakan pembangunan hukum di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Politik
Hukum Nasional, yang pertama sekali ditetapkan melalui ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1973, yang menetapkan bahwa pembangunan bidang hukum dalam Negara Hukum
Indonesian berdasar atas landasan sumber tertib hukum. Yaitu cita-cita yang
terkandung pada pandangan, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita
moral, yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa
Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal ini kemudian
diwujudkan lebih lanjut dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1974 tentang Repelita Kedua . Khususnya Buku III
Bab 27 . Politik Hukum Nasional yang lahir pada masa orde baru (pasca 1966)ini
tentu saja dipengaruhi oleh keadaan perkembangan hukum dan pembangunan hukum
sebelumnya.
Prioritea
pembabguna pada masa orde baru pun berbeda dengan orde lama (yang meletekkan
politik sebagai panglima), yaitu dengan mengutamakan pembangunan ekonomi untuk
mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi . Dengan dibentuknya kabinet
baru (cabinet pembangunan )pada tahun 1968 merupakan titik awal perubahan
kebijakan secara menyeluruh , dari kebijakan “politik revolusioner sebagai
panglima “ke kebijakan “pembanguna ekonomi sebagai bagian dari perjuangan orde
baru “. Hal ini sangat berpengaruh pula pada peran hukum di Indonesia ,
sehingga peran hukum berubah , dari perannya yang tersubordinasi untuk
mensukseskan revolusi nasional melawan neo- kolonialisme dan imperialism ke
peran sebagai bagian sarana pembangunan . Dalam hal ini maka adagio “Indonesia
adalah negara berdasarkan atas hukum
“muncul dan tumbuh kembali , dengan latar belakang adanya maksud untuk
mengukuhkan fungsi hukum sebagai “tool of social engineering”dan pengefektifan
hukum sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu ,
dalam era orde baru , perkembangan hukumnya meliputi perkembangan dalam
konfigurasi konsep “law as a tool social engineering “dan konfigurasi hukum
sebagai sarana perlindungan hak asasi manusi (masyarakat sipil )dari
kesewenangan penguasa (lihat. Soetandyo Wignjosoebroto,1994,h.226).
Karena
titik berat pembangunan pada masa orde baru adalah ekonomi , maka pembangunan
hukumnya dirintis untuk memfungsionalkan hukum bagi kepentingan ekonomi. Ide
“law as tool social engineering baru ditujukan secara selektif untuk
memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja. Kelembagaan
hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi (misalnya pengaturan tentang pertahanan
,pertambangan ,perpajakan, dan lain-lainnya yang sejenis)akan memberikan
jaminan kepastian yang penting untuk pembangunan ekonomi . Karena tidak
dianjurkan untuk mengutamakan rujukan hukum adat atau hukum klasik colonial,
maka hukum nasional pada masa orde baru tersebut dikualifikasi sebagai hukum
nasional sebagai hukum nasional modern , yang boleh dikatakan tidak
sekedar”mengikuti arah perkembangan sejarah hukum yang telah berlangsung di
Indonesia melainkan menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu .
Ide hukum nasional dengan mengutamakan regulasi kehidupan ekonomi(secara
selektif melalui perundang- undangan nasional)pada waktu itu ternyata berkenan
di hati pembuat kebijakan , yang hal ini teersirat dalam Pidato Presiden
Soeharto pada pembukaan konferensi Lawasia di Jakarta tahun 1973, yang
mengatakan : pembangunan mengharuskan terjadinya perubahan , bahkan juga
perubahan –perubahan yang sangat fundamental. Sekalipun begitu . Indonesia akan
tetap menekankan pentingnya mempertahankan ketertiban dalam setiap gerak kemajuan
yang akan diperoleh lewat perubahan –perubahan yang diperoleh yang demikian
itu, dan dalam hal ini hukum akan merupakan sarana penting guna mempertahankan
ketertiban itu. Nmun ini tidak boleh diartikan bahwa hukum hendak berpihak
kepada keadaan status quo . Hukum akan menentukan lingkup perubahan –perubahan
itu, namun tidaklah tepat apabila dengan demikian hukum menghalangi setiap
usaha perubahan hanya semata –mata karena ingin mempertahankan nilai –nilai
lama . Sesungguhnya hukum itu akan berfungsi sebagai pembuka jalan dan
kesempatan menuju ke pembaharuan –pembaharuan yang dikehendaki . Hal
tersebutsecara eksplisit dan resmi terekm dalam naskah REPELITA KEDUA(1974),
Bab 27 paragraf IV butir 1 halaman 279: bahwa prioritas akan diberikan untuk
meninjau kembali dan merancang peraturan –peraturan perundang-undangan agar
segala peraturan itu bersearah dan bersesuaian dengan pembangunan sosial ekonomi,
khususnya dibidang pertanian ,industri, pertambangan ,komunikasi dan
perdagangan ….dst”.
Ide “law
as a tool engineering “ini ,ternyata ada juga yang menentang , yaitu para ahli
hukum yang percaya bahwa harus ada kontinuitas perkembangan hukum dari hukum
colonial ke hukum nasional (jadi hukum nasional harus bersumber dari hukum
kolonial ) dan para ahli hukum yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar
dan /bersumber dan diangkat dari hukum adat (Baca pula Soetandyo
Wignjosoebroto,1994,h.236-243). Dengan mengacu pendapat yang terakhir ini, maka
pembangunan nasional I (Indonesia )harus bersumber dari hukum colonial dan bisa
pula bersumber dari hukum adat.
Perkembangan
dalam era orde baru , implementasiide hukum nasional sebagai hukum perekayasa
memperoleh tempat dalam kerangka kebijaka pemerintah Orde Baru . Sedangkan
peran hukum adat dalam percaturan pembangunan hukum nasional memang makin
terdesak (namun tidak hilang).
Pada PJP
II, sasaran pembangunan hukum ialah terbentuk dan berfungsi sistem hukum
nasional yang mantap, bersumber
Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan hukum yang berlaku , yang mampu
menjamin kepastian , ketertiban , penegakkan dan perlindungan hukum yang
berintikan keadilan dan kebenaran serta mampu mendukung pembangunan nasional ,
yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta
masyarakat yang sadar dan taat hukum (GBHN 1993 Bab III Huruf E, angka 5).
Sedangkan
arah pembangunan hukum pada PJP II ialah menghasilkan produk hukum nasional
yang mampu mengatur tugas umum pemerintah dan penyelenggaraan pembangunan
nasional , didukung oleh aparatur hukum yang bersih dan berwibawa , penuh
pengabdian , sadar dan taat hukum , mempunyai rasa keadilan sesuai dengan
kemanusiaan , serta professional, efisien dan efektif, dilengkapi ddengan
sarana dan prasarana hukum . Penyusunan dan perencanaan hukum nasional harus dilakukan
secara terpadudalam sistem hukum nasional (GBHN 1993 BAB III Huruf F,angka 17).
Sedangkan sasaran pembangunan hukum
Pelita Keenam ialah penataan hukum nasional yang bersumber Pancasila dan
UUD 1945; penyusunan kerangka sistem hukum nasional serta penginventarisan dan
penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka pembaharuan hukum nasional ;
peningkatan penegakkan hukum dan pembinaan aparatur hukum nasional ;serta
peningkatan sarana dan prasarana hukum (GBHN 1993 Bab IV Huruf E angka 5).
Kebijakan Pelita Keenam Bidang Hukum , meliputi :Materi Hukum , Aparatur Hukum
, Sarana dan Prasarana Hukum (Baca GBHN 1993 Bab IV Huruf F Hukum ).
Dengan
melihat ketentuan GBHN 1993 tersebut , maka dalam pembangunan / pembaharuan
hukum nasional dalam arti luas tidak hanya memperbaharui materi/isi hukum
melainkan pula sarana dan prasarananya . Ini semua merupakan konsep yang ada
dalam GBHN , yang sedang dan masih ditunggu pelaksanaannya dalam lima tahun dan
25 tahun mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar