Usaha pemulihan
ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi , maupun Irian Jaya telah sering kita lihat.
Upaya ini biasanya berupa proyek yang
berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang
diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar,
tersedia tenaga ahli, tersedia bibit
yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang
lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah
kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut
terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan
masyarakat masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya
pembangunan (Subing, 1995).
Dalam pelaksanaan pemulihan
ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini
dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek
apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan
bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak
pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down
(Gambar 3). Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan
potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan
aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah
hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan
yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah
habis tentu saja pelaksana proyek
tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.
Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut
memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut.
Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka
masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil
atau memotong hutan mangrove tersebut
secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan
bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat
membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau
pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir
yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya
upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya
kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara
keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka
rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang
berada di daerah pesisir. Dengan
demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan,
penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat.
Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”,
melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.
Masyarakat merasa
mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi
hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan
sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar
andaikata ada sekelompok orang yang bukan anggota masyarakat yang ikut menaman hutan
mangrove tersebut ingin memotong
sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai- ramai mencegah
atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah
satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan,
kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya yang bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan
rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat
setempat ini biasa dikenal dengan istilah
pendekatan bottom- up (Gambar 4).
Menurut Sudarmadji
(2001) Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan
masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang
mengawasinya; karena masyarakat sadar
bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama.
Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara
berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik
kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka
panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika
dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem,
selain itu “pemerintah atau pemilik modal” tidak terlalu berat melakukannya,
karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan pemulihan tersebut, dan pada masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut
memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan
demikian pelaksanaan suatu proyek dengan
pendekatan bottom up atau menumbuhkan adanya
partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses pendidikan pada masyarakat secara tidak
langsung (Savitri dan Khazali, 1999).
0 komentar:
Posting Komentar