Seperti kita ketahui,
hutan mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan darat dan laut yang mempunyai multi fungsi,
yaitu selain sebagai sumberdaya potensial
bagi kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi, sosial juga merupakan pelindung pantai dari hempasan
ombak. Oleh karena itu dalam usaha pengembangan
ekonomi kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi, pemukiman dan sarana
perhubungan serta pengembangan pertanian pangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan
kelestarian sumber daya wilayah pesisir.
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan
sumberdaya mangrove terus meningkat.
Secara garis besar ada dua faktor
penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu :
1.
Faktor
manusia
yang merupakan faktor
dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang
berlebihan.
2.
Faktor
alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama
penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah,
1994).
Faktor-faktor yang
mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka
mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani
1994), antara lain :
a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang
terbuka dengan harapan ekonomis dan
menguntungkan, karena mudah dan murah.
b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat
mendesak untuk rumah tangga, karena tidak
ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang.
c.
Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove.
d. Adanya
kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak
modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional.
Tekanan
pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan yang dari luar
sistem karena reklamasi lahan dan eksploitasi mangrove yang makin meningkat
telah menyebabkan perusakan menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan
yang berbeda-beda. Dibeberapa tempat
ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem lain. Terdapat
ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang belum diganggu dan
terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah yang mengalami tekanan baik oleh sebab alami
maupun oleh perbuatan manusia (UNDP/UNESCO
1984).
Menurut Soesanto dan
Sudomo (1994) Kerusakan ekosistem mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara
lain :
1. Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove.
2. Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat
atau
sebagai bagian dari ekosistem mangrove.
3. Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan
lingkungan
hidup.
Menurut Sugandhy (1994)
beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan hutan mangrove yang berkaitan
dengan upaya kelestarian fungsinya adalah :
1. Pemanfaatan Ganda Yang
Tidak Terkendali
Pemanfaatan ganda antar berbagai sektor dan Penggunaan sumberdaya
yang berlebihan telah menyebabkan terjadi pengikisan pantai oleh air laut. Sesuai
dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan ombak. Di beberapa daerah kawasan
pantai hutan mangrove sudah banyak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis
oleh ombak. Di wilayah Teluk Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling
berkompetisi, seperti perluasan areal pelabuhan, industri, transportasi laut,
permukiman dan kehutanan. Demikian juga
di Bali , khususnya di kawasan hutan mangrove
Suwung, pembangunan landasan udara
Ngurah Rai Bali menyebabkan pantai Kuta terabrasi.
Pemanfaatan demikian yang kurang menguntungkan ditinjau dari aspek keseimbangan lingkungan, karena dapat
menyebabkan kerusakan dan pencemaran
lingkungan wilayah pesisir. Disamping
itu, pengelolaan hutan mangrove belum berkembang, baik dalam hal silvikultur,
sumberdaya manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya.
Akibatnya banyak terjadi perusakan hutan mangrove seperti penebangan yang tidak terkendali,
sehingga pemanfaatannya melampaui
kemampuan sumberdaya alam untuk meregenerasi.
2. Permasalahan Tanah Timbul
Akibat Sedimentasi Yang Berkelanjutan
Di daerah muara sungai
banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang terus-menerus terbawa
dari daerah hulu sungai. Permasalahan
utama yang muncul adalah tentang status tanah timbul tersebut. Karena lokasinya
umumnya berdekatan dengan lahan kehutanan,
maka sering terjadi status penguasaannya langsung menjadi kawasan hutan,
walaupun oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status
tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik penguasaan. Contoh : kasus kawasan
di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa, kawasan Sulawesi Selatan dan lain-lain.
3. Konversi Hutan Mangrove,
Hampir semua bentuk
pemanfaatan lahan di wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove.
Hutan mangrove sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi Selatan
bagian barat telah dikonversi menjadi kawasan permukiman, tambak, kawasan
industri, pelabuhan, lading garam dan lain-lain. Kebanyakan konversi hutan
mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain belum banyak ditata berdasarkan kemampuan dan peruntukan
pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan dilihat dari manfaat regional dan nasional.
Oleh karena itu pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya
rehabilitasinya harus sesuai dengan
potensi dan rencana pemanfaatan yang lainnya dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem,
manfaat ekonomi dan penguasaan teknologi.
4. Permasalahan Sosial
Ekonomi
Meningkatkannya
pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di wilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali,
Sulawesi dan Lampung menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan antara permintaan kebutuhan hidup,
kesempatan dengan persediaan sumber daya alam pesisir yang ada . Upaya pengembangan
pertanian intensif (coastal
agriculture), dan kegiatan serta kesempatan yang berorientasi kelautan masih terbatas dikembangkan. Di pantai utara
Jawa, hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak menjadi kawasan
pemukiman, perhotelan, tambak dan sawah yang berorientasi kepada ekosistem
daratan. Pemanfaatan sumber daya alam wilayah pesisir mestinya tidak hanya
terbatas pada hutan mangrove atau tambak
saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui batas, sehingga
sulit dapat pulih kembali. Hal ini terjadi di Bali Selatan, pantai utara Jawa Tengah.
5. Permasalahan Kelembagaan
dan Pengaturan Hukum Kawasan Pesisir dan Lautan
Sering terjadi tumpang
tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan antara instansi sektoral pusat
dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur
perizinan untuk kegiatan pembangunan
pesisir dan lautan. Contahnya seperti pembukaan lahan di kawasan pesisir, usaha
penggalian pasir laut, reklamasi, penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang dan
lain-lain. Akibat tersebut menyebabkan terus meningkatnya perusakan ekosistem
kawasan pesisir dan lautan khususnya
kawasan hutan mangrove.
6. Permasalahan Informasi
Kawasan Pesisir Keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi
yang berkaitan dengan tipologi
ekosisitem pesisir Keanekaragaman hayati, lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan
peran serta keluarga, sumber daya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum
dapat mendukung penataan ruang kawasan
pesisir, pembinaan dalam pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta
rehabilitasinya.
0 komentar:
Posting Komentar