Pada masa
kemunduran pemikiran hukum Islam muncul tokoh-tokoh penting yang hidup pada
zamannya dan mewarnai aktivitas pemikiran hukum Islam dengan dengan munculnya
teori maqashid al-Syari’ah. Maqasid
syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam.
Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah
sebagai alasan logis bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada
kemaslahatan umat manusia.
Kegiatan
penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan oleh para
ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul
fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam
menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan
mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah
menetapkan perintah-perintah dan larang-laranganNya.
Kerangka
berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.)
dalam kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam
kaitannya dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang
pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi
juga di luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik
untuk-menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan
Muslim, maupun dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.)
Sebagai
pemikir besar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi
warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh
Al-Ghazali tersebut dapat dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang
disandangnya. Berbagai pujian dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya,
juga cercaan dan orang-orang yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan
bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.
Pada masa
al-Ghazali, tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik,
melainkan juga di bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah
dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing tokoh
ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya
tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan
pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan.
Sebagai contoh, apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti
Saljuk pertama yang beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya
(seperti mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban dan
tokoh-tokohya.
Akibat dari
fanatisme golongan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul konflik antara
golongan mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik fisik yang
meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan
aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas
penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan
Hanbali, sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.
Menelusuri
tentang karya-karya Al-Ghazali, maka dia digolongkan cukup produktif dalam hal
penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang
sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis
yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazali, menulis sejak umur 20
tahun.
Dari
keterangan yang diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan bahwa
al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan
intelektualitas yang tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan
pertamanya mendapat pujian dari gurunya al-Juwaini.
Tentang jumlah
karangan al-Ghazali, sampai saat ini belum terdapat kata pasti. Besar
kemungkinan disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazali yang belum
diterbitkan dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik
di negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di antara
karya-karyanya telah lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga
sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn
Hamdi. Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai karya
al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazali, sebanyak
31 buah.
Adapun
landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasari
pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di
samping itu juga ia mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan
berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan
kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal
sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.
Ketika
Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ ia menempuh 3
(tiga) jalan, sebagai berikut:
a. Berpegang pada Al-Qur’an
b. Berpegang pada pendapat
Rasulullah Saw, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
c. Berpegang teguh pada
metode ma’nawy.
Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali
menyebutkan bahwa rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi,
Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad ialah
menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam sebuah
aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan)
secara menyeluruh.
Menurut al-Ghazali Orang yang
berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at,
mana yang didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan.. Kedua : seseorang
mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai
landasan dalam berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima
fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga
selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan
syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang berhubungan
dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan
menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan.
Adapun tentang hadis, harus
mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk
menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun
ijma’ diharuskan menghafal semua kejadian ijma’ dan perbedaanperbedaannya,
tetapi sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana tidak bertentangan dengan ijma’
Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad
ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa semua hukum agama yang tidak
mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat
mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan juga
sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul dua
masalah: terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas
dan ber Ijtihad pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua
versi: Sekelompok yang melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya.
Pendapat pertama : boleh dalam hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan
dalam keadaan Raasulullah tidak ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan
mengatakan dengan izin Rasulullah cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.
Menurut Al-Ghazali dalam mendapatkan
hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan,
sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam hal ini Imam
Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf,
mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam
Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah
menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan
dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam
Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa
membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya mandi yang berarti
keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan
mengambil contoh sah keterangan dengan perbuatan sama kalau memakai dengan
perbuatan. Contoh yang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan
perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana
sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على
مناسككم
Dari sini menunjukkan bahwasanya
Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan.
Dalam hal mengambil suatu hukum,
Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain
sebagai berikut:
harus mendahulukan ilmu pada hadis
itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong. Kalau
bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd
al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan
syarat harusadil maka itu dapat diterima.
Terkait dengan hal ini, maka dia
mensyaratkan keadilan di dalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap
melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazali menjelaskan
bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas,
beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak boleh dijadikan hujjah.
Al-Ghazali secara etimologi memberi
penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan
yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai
berikut : “Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum”
Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazali,
secara panjang dan rumit, demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan),
ada juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan
sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan usaha
atau mujtahid.
Penggunaan kata ma’lum, oleh Al-Ghazali
adalah dimaksudkan untuk menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (ma’düm),
karena kalau dikatakan kata “sesuatu” menurut mereka, hanya berlaku yang
diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya
menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata (dalam
menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat
mencapai qiyas ‘aks’ yaitu menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang
diketahui pada tempat lain karena keduanya berbeda dalam illat, hukum.
Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas
dapat dirumuskan sebagai cara untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak
terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) dengan kasus
hokum yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.
Selain
al-Ghazali muncul Al-Syatibi yang bernama lengkap
Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi merupakan
salah seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang
kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi
dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang
terletak di kawasan Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan
memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang
merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan
dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa
keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah
dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan
baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi dalam menuntut ilmu
serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan
intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu,
baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi dan
hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami
bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim
Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya,
ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin
al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul
fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad
ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi
al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat.
Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan korespondensi untuk
meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada
seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari dan
mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa
Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih
karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang
sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan
sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi
mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi
berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah
al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh
Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab
dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih.
Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid
al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni
maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan
al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan
ke arah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya
syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
Menurut al-Syatibi maqasidul
syariah terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:
a. Kebutuhan Dharuriyat. Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau
disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta
harta.
b. Kebutuhan Hajiyat ialah
kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan
segala kesulitan itu.
c. Kebutuhan Tahsiniyat ialah
tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi
salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat
ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan
kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak
dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma
dan akhlak.
Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh
Abd-Alwahhab Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu
untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap
kasus yang tidak bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
-
Memelihara
segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka.
Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup
manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang
kehidupan, timbullah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yang
dharuri itu kembali pada lima pokok : Agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta
-
Menyempurnakan
segala yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu
yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran
taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak
peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa
kesempitan dan kesukaran saja.
-
Mewujudkan
keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diperlukan oleh
rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini
tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa
kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang
sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali
kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk
mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
Urusan dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila
urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam
kehidupan, menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu,
tidak dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan
suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita
membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang
mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis
untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis
adalah urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan
dharuri
Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit
kesukaran, karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan
menolak kesukaran dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan.
Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan
kesewenangan, apabila merusak dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh
dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri yang lebih penting dari padanya.
Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara
agama adalah lebih penting dari pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan,
terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih
penting dari pada memelihara akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita
boleh membinasakan harta orang karena memelihara jiwa lebih penting dari pada
memelihara harta.
0 komentar:
Posting Komentar