KATA 'ashabab dalam bahasa Arab
berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan
mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa
Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat.
Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya
dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia
benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya
kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat
diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah
menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya
bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak
laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki
dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan
mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat
masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena
ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta
warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
A. Dalil Hak Waris Para
'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para
'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu
bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga"
(an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa
bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam
(1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai
anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat
tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka
ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil
bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan
ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya
ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak." (an-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan
bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan
menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata
pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa
yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya.
Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah
adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
"Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah
Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih
tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari
'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam
hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut
"dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata
"rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini
hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang
ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal
penggunaan kata "dzakar".
B. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu:
'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis
'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang
tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya
apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah
terbagi tiga yaitu:
- 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),
- 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan
- 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila
lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil
ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
'Ashabah
bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu
laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai
empat arah, yaitu:
- Arah
anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu,
cicit, dan seterusnya.
- Arah
bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak
laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
- Arah
saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya
terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk
keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki
yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul
furudh.
- Arah
paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah,
termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs
tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih
kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Hukum
'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa
'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya
sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli
waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan
yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada
ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata
tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal,
seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara
laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian
setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara
seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Adapun bila para 'ashabah bin
nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai
berikut:
Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya
dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain.
Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa
harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing.
Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan
seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara
kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki.
Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah
termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak
laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris
dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung
laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya,
insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.
Kedua: Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka
pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka,
siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai
misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak
laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak,
sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada
pewaris dibandingkan cucu laki-laki.
Contoh lain, bila seseorang
wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara kandung,
maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya
dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut
derajat kedekatannya dengan pewaris.
Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan
derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang
paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih
kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari
saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.
Catatan
Perlu untuk digarisbawahi dalam
hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut
hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya,
pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan
arah paman.
Mengapa
Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?
Satu pertanyaan yang sangat
wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya
memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah
sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis
anak tidak didahulukan daripada garis ayah.
Namun demikian, ada dua landasan
mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an,
sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
Dalam ayat tersebut Allah SWT
menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan
bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan
mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari
ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.
Sedangkan secara aqli, manusia
pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal
keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua
berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam
membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak
sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan
hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang
disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah
majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
Makna hadits tersebut sangat
jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat khawatir
terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta
dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit
orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan
keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut berhadapan
dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan rezekinya. Inilah
alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan
kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
Catatan
Satu hal yang mesti kita ketahui
bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari
kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita
tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak
mempunyai keturunan (kerabat).
'Ashabah
bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah bi ghairihi hanya
terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
- Anak
perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara
laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
- Cucu
perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan
dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu
laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan
lebih di bawahnya.
- Saudara
kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung
laki-laki.
- Saudara
perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara
laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan.
Syarat-syarat
'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi Ghairihi tidak akan
terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah wanita yang
tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh,
maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan
dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya
saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan
demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi
'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat
menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak
sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib
(penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak
sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi
penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya,
saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan.
Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara
laki-laki seayah.
Catatan
Setiap perempuan ahli waris
berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan
bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan
menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku
bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan,
dan saudara perempuan seayah).
Dalil
Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil bagi hak waris para
'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan
juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).
Para ulama sepakat bahwa yang
dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah saudara
laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat
bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu,
disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan
sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan
perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).
Sebab
Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
Adapun sebab penamaan 'ashabah
bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena
kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah
lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara
laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka
keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.
'Ashabah
ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus
bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila
mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara
laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah
bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak
laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di
kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
Satu hal yang perlu diketahui
dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm.
108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika
berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena
pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab
bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah
pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di
segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu
dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai
'ashabah agar terkena pengurangan."
Dalil
'Ashabah ma'al Ghair
Yang menjadi landasan bagi hak
waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan
(sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo,
dan bagian saudara perempuan separo."
Penanya itu lalu pergi
menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis
seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah
(1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6)
sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara
perempuan kandung atau seayah."
Penanya itu pun kembali kepada
Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud.
Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama
sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud
dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan
anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara
kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Catatan
Sangat penting untuk diketahui
bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al
ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat
menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang
perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka,
seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang seayah.
Begitu juga saudara perempuan
seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak
perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah
hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
C. Perbedaan 'Ashabah
bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair
Dari uraian sebelumnya dapat
kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiap wanita ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan
saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi 'ashabah bila bersama
saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki pewaris). Saudara kandung perempuan
ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil ghair dengan adanya
saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini bagi
yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun 'ashabah ma'al ghair
adalah para saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila
berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam hal ini mereka mendapatkan bagian
sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul furudh mengambil bagian
masing-masing. Tampak semakin jelas perbedaan antara dua macam 'ashabah itu,
pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih, seperti anak
laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki
dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al ghair tidak
terdapat sosok 'ashabah bi nafsih.
Jadi, secara ringkas, pada
'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandeng kaum wanita ashhabul
furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan 'ashabah
ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah
tidak menerima bagian seperti bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian saudara
perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.
Dapatkah
Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?
Kita mungkin sering mendengar
pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini memerlukan jawaban. Maka dapat
ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkan warisan dari dua arah yang
berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai 'ashabah, atau
satu dari arah fardh dan yang kedua dari arah karena rahim. Agar persoalan ini
lebih jelas, saya sertakan contoh:
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang suami, yang
juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka pembagiannya sebagai berikut:
Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), suami
setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai 'ashabah
karena ia anak paman kandung.
Contoh
lain: seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan, bibi
(saudara ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti
berikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanya
ikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada karena
ikatan rahim
0 komentar:
Posting Komentar