Kata fitrah sebenarnya
ada beberapa pengertian, tidak selamanya diartikan seperti kertas putih yang
tidak ada noda. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Hasan Langgulung (Allahyarham),
bahwa Allah menyertakan kepada anak yang baru lahir itu “fithrah“,
yang diartikannya sebagai potensi. Jadi menurutnya, bahwa anak manusia tidak
lahir dalam keadaan kosong, melainkan membawa potensi-potensi. Potensi-potensi
tersebut adalah 99% kemungkinan Asmaul Husna. Misalnya, Ar-Rahman
(Maha Pengasih). Kalau yang dikembangkan bersama-sama dengan keluarga dan
masyarakatnya adalah Ar-Rahman, maka Ar-Rahman itulah yang kemudian tampil
dalam kehidupannya. Tetapi jika yang dikembangkan adalah Al-Qahhar
(Maha Perkasa), maka kemungkinan anak tersebut akan menjadi orang yang keras.
Sejak kita berada di
dalam rahim, Allah telah menanamkan ketauhidan kepada kita. Allah juga merekam
semua apa yang kita kerjakan di dalam hidup ini. Suatu saat nanti, semua yang
telah kita lakukan itu akan diperlihatkan kepada kita.
Di dalam Surah Al-Israa
disebutkan:
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan),” (Q.S. Al-A’raaf:
172)
Ketika berada di dalam
rahim itu 120 hari, maka ditiupkan ruh. Terjadi konsepsi kehidupan manusia.
Pada saat itu ruh itu ditanya: Bukankah Aku ini Tuhanmu?
Kita memang tidak sadar
ketika itu, dan memang dibuat kita tidak merasa, karena kalau kita sadar, maka
yang kasihan adalah si ibu. Allah menjadikan kita tidak sadar di dalam rahim
agar tidak menyengsarakan si ibu. Tetapi terjadi dialog itu.
Kemudian kita dibekali
berbagai potensi. Ketika kita lahir, yang pertama diberikan oleh Allah adalah “al-gharizah”
(insting). Insting tersebut yaitu berupa tangisan. Tangisan merupakan hidayah
Allah yang pertama kali diberikan kepada kita. Ketika ada seorang anak manusia
yang terlahir tidak ada suaranya, maka itu merupakan tidak adanya tanda-tanda
kehidupan. Tangisan pada bayi menunjukkan adanya kehidupan.
Tetapi, insting ini
sangat terbatas. Insting adalah sesuatu yang bisa dikerjakan tanpa dipelajari.
Dalam tafsirnya, Prof.
Dr. Ahmad Mustafa Al-Maraghi menyatakan, bahwa Allah memberikan kepada manusia lima hidayah sebagai
modal hidup, yaitu:
Pertama, gharizah (insting).
Dibandingkan dengan
manusia, ternyata ada hewan yang instingnya lebih hebat daripada manusia.
Misalkan, bebek ketika lahir langsung bisa berenang. Jadi, kalau kita
mengandalkan insting, maka kita kalah dengan hewan. Jadi, kita tidak bisa hanya
mengandalkan insting.
Kedua, indera.
Di dalam psikologi,
ternyata indera itu tidak hanya sebanyak lima ,
melainkan banyak. Antara lain ada indera keseimbangan yang berada di lorong
telinga, dan juga indera kinestetik yang berada di persendian. Karena itulah,
kita bisa duduk dan bisa berdiri karena indera kinestetik kita bekerja. Kalau
indera kinestetik ini tidak bekerja, maka kita tidak bisa berdiri, tidak bisa
berjalan, dan sebagainya. Karena itulah, orang yang sedang pingsan, maka ia
akan terjatuh, karena indera kinestetisnya tidak bekerja. Dan masih banyak
lagi.
Indera diperlukan. Tapi
kalau hanya indera saja yang diandalkan, maka kita kalah dengan binatang.
Indera penglihatan tikus dan elang lebih hebat dari kita. Indera penciuman
anjing juga lebih hebat dari manusia. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan indera
saja.
Ketiga, akal.
Akalpun ternyata tidak
bisa diandalkan. Manusia diberikan akal oleh Allah, dan dikatakan juga bahwa
hewan tidak diberikan akal oleh Allah. Tetapi di dalam ilmu psikologi
disebutkan, bahwa inteligensi hewan itu ada, namun sangat kecil dan sangat
rendah dibandingkan dengan manusia. Yang paling tinggi dan mendekati manusia
tingkat inteligensinya adalah simpanse. Di Ragunan, satu-satunya hewan yang
mempunyai meja makan, ada piringnya, dan juga ada kursinya adalah simpanse. Di
Jerman ada seorang dokter yang mempekerjakan simpanse untuk memberi kartu
kepada pasien-pasiennya yang datang. Di Perancis ada simpanse yang dipekerjakan
untuk memunguti telur-telur ayam pada suatu peternakan. Tapi apa yang bisa
dilakukan oleh simpanse itu tidaklah seperti apa yang bisa dilakukan oleh
manusia. Tapi dalam hal ini, simpanse lebih tinggi inteligensinya dibandingkan
dengan hewan yang lain.
Kalau kita mengandalkan
akal pikiran, ternyata tidak semuanya bisa dijawab. Misalkan ditanyakan, angka
berapa yang paling kecil? Ada
yang mengatakan 1, ada juga yang mengatakan bahwa 0 lebih kecil dari 1. Kalau
ditanyakan, lebih kecil mana dibandingkan dengan -1, maka akan ada yang
mengatakan bahwa -1 lebih kecil dari 0. Jadi, minus berapakah yang paling
kecil? Tenyata tidak terbatas. Akal kita tidak mampu menjawab ini. Artinya,
bahwa tidak segala-galanya akal manusia itu mampu menyelesaikan masalah. Karena
itulah, Allah memberikan kita hidayah yang keempat, yaitu hati (qalb).
Keempat, hati (qalb).
Hati (qalb)
yaitu sebuah institusi yang ada dalam diri manusia, namun kita tidak tahu
tempatnya di mana. Qalb inilah yang tak pernah membohongi manusia.
Karena itulah, orang beriman harus dengan hati, karena indera sering membohongi
manusia.
Kalau seseorang melakukan
suatu keburukan ataupun kejahatan, mungkin bisa disembunyikan dengan tingkah
laku, tapi hati tak bisa dibohongi. Hati kita pasti berkata, “Aku berbohong.”
Hanya qalb yang merupakan institusi yang tak pernah membohongi
manusia. Di dalam hadis Rasulullah dikatakan:
Indikator suatu dosa itu
dapat dilihat dari dua faktor: pertama, membuat suatu rasa yang lain di dalam
hati. Setelah melakukan suatu dosa, kita pasti ada rasa yang lain, yaitu rasa
bersalah di hati, karena hati tak pernah membohongi manusia. Karena itulah,
Allah senantiasa melihat qalb manusia, bukanlah pada penampilannya.
Rasulullah menyatakan:
Allah tidak melihat
mukamu, bukan melihat bentuk tubuhmu, tetapi yang dilihat adalah hatimu.
Tidak ada yang tahu hati
kita, meskipun sebenarnya pada kehidupan kita biasanya kalau ada pohon yang
rindang, maka akarnya itu kuat. Kalau ada orang yang amal ibadahnya bagus,
istiqamah, konsisten, maka pasti di dalamnya juga bagus. Kalau kita konsisten
melakukan amal ibadah, insya Allah iman yang bersemi di dalam hati kita ini
memang kuat. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa qalb itu adalah
sesuatu yang bergerak. Disebut qalb yang itu adalah sesuatu yang
bergerak, karena qalb itu biasanya bolak-balik. Tetapi bagaimana
caranya agar qalb itu tidak bolak balik? Bagaimanakah caranya agar
seperti kompas, di mana saja selalu menunjuk ke utara? Bagaimanakah caranya
agar hati itu terus mu-allafun bil masajid? Bagaimanakah caranya agar hati
itu selalu menghadap ke kiblat? Bagaimanakah caranya agar hati itu selalu
terpaut (terikat) dengan masjid?
Qalb hanya dimiliki oleh manusia. Di dalam ilmu psikologi, perbedaan
antara manusia dengan hewan itu bukan hanya pada akalnya, tetapi juga pada beberapa
hal. Pertama, bahwa manusia mempunyai kepekaan sosial, sedangkan hewan tidak
mempunyai kepekaan sosial. Munculnya kepekaan sosial itu karena ada hati
(perasaan) kita. Kalau ada orang yang tidak mempunyai kepekaan sosial terhadap
sesama manusia, berarti orang tersebut tidak mempunyai hati.
Kedua, manusia mempunyai
usaha dan perjuangan, yang ini juga merupakan hal yang membdakan manusia dengan
hewan. Dari dulu, sarang yang dibuat oleh hewan itu selalu sama seperti itu
saja bentuknya. Sedangkan manusia selalu terjadi perkembangan. Dahulunya
manusia mungkin bertempat tinggal di gua, kemudian berkembang dengan membuat
rumah di pohon, kemudian berkembang lagi dengan membuat rumah ataupun tempat
tinggal yang nyaman lagi hingga seperti sekarang. Bahkan suatu saat nanti
mungkin saja manusia akan tinggal di bulan ataupun ruang angkasa.
Kelima, agama (ad-din).
Kalau hanya hati saja,
maka keatika dia merasa kasihan terhadap orang lain, bisa jadi semua hartanya
diberikan kepada orang tersebut. Tetapi agama mengatakan, bahwa memberi
sumbangan itu ada batas-batasnya, tidak boleh terlalu boros, juga tidak boleh
terlalu kikir, melainkan berada di tengah-tengahnya. Agama lah yang mengatur
demikian. Maka manusia diberi hidayah yang ke lima , yaitu hidayatul adyan (hidayah
agama). Agama lah yang menjadi wasit (hakim).
Dalam hal ini, Alquran
merupakan pedoman bagi umat manusia. Kalau Alquran tidak difungsikan, maka dia
tidak berbicara dan tidak bermakna apa-apa.
Sama halnya dengan
alat-alat elektronik yang terdapat buku panduan (manual) nya, yang jika kita
mengikuti aturan di dalam buku panduannya, maka insya Allah barang-barang
elektronik kita akan awet. Yang paling tahu mengenai alat-alat elektronik
tersebut adalah pabriknya. Begitu juga dengan manusia, lahir mengarungi kehidupan
di dunia ini menjaid khalifah disertakan dengan manual (buku petunjuk). Buku
petunjuknya adalah Alquran. Sepanjang kita mengikuti aturan-aturan di dalamnya,
maka kehidupan kita takkan tersesat. Yang paling mengetahui bahwa kehidupan
manusia takkan tersesat adalah penciptanya, yaitu Allah.
Persoalannya, kita tidak
mungkin memahami semua makna Alquran. Karena itulah, ada usaha yang bisa kita
lakukan seperti dengan mengikuti pengajian. Kalau kita mau belajar sendiri,
kadang-kadang kita tidak bisa sepenuhnya untuk memahami isi Alquran.
Alquran menjadi wasit
(hakim), pedoman hidup, sehingga bisa membahagiakan kehidupan dunia dan
akhirat.
Tiap bayi dilahirkan
dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari)
Setelah Allah memberikan
modal bagi manusia, maka selanjutnya adalah peranan orang tua dan lingkungan
membentuk manusia tersebut. Karena kehidupan kita bukan hanya potensi yang
dibawa ketika lahir, melainkan persentuhan antara lingkungan juga akan mewarnai
dalam kehidupan. Allah tidak memberikan kepada kita ketika lahir langsung
diwajibkan salat. Diberikan waktu untuk belajar, yaitu sampai masa baligh.
Oleh karena itu, mulai
saat lahir (bahkan sebelumnya), kita sudah harus memberikan
rangsangan-rangsangan keagamaan kepada anak kita. Allah sudah menyediakan
potensi-potensi, maka fungsi selanjutnya adalah tugas kita membentuk
potensi-potensi tersebut.
Kini ada ilmu yang
dinamakan Ilmu Haptonomi (sedang dikembangkan di Eropa). Menurut ilmu ini,
bahwa anak yang masih berada di dalam kandungan mesti sudah diberikan
rangsangan-rangsangan pendidikan (termasuk juga rangsangan keagamaan).
Seorang ahli Haptonomi
mengatakan, bahwa ketika janin sudah berusia 7 bulan, maka sudah boleh diajak
main “petak-umpet”. Maksudnya yaitu dengan memberikan rangsangan-rangsangan
kasih sayang, juga berbicara dengan si janin yang masih berada di kandungan
itu.
Menurut para ahli
psikologi, meskipun janin tersebut belum bisa berkomunikasi, belum ada reaksi,
tetapi sebetulnya hal yang dilakukan itu bisa berpengaruh terhadap anak
tersebut. Sama halnya ketika memandikan bayi, maka bayi tersebut tak ada
salahnya untuk diajak berbicara (berkomunikasi). Jadi salah kalau ada yang
mengatakan, bahwa bayi baru boleh diberikan rangsangan ketika sudah bisa
berbicara, karena hal tersebut sudah terlambat sekali.
Islam dalam hal ini
menuntun kita, bahwa begitu lahir, maka diazankan di telinga kanannya,
diiqamahkan di telinga kirinya. Ada
ulama yang menyatakan bahwa hadis ini tidak begitu kuat. Tapi tak apa-apa. Hal
ini sesuai dengan penelitian psikologi, bahwa memperdengarkan kepada anak
sesuatu yang berharga, maka itu akan diserap, walaupun belum ada reaksi secara
langsung yang kita lihat.
Diazankan dan diiqamahkan
adalah kalimah tauhid yang pertama kali kita perdengarkan, dan itu bisa
berpengaruh. Sampai-sampai orang-orang barat itu waktu masih di dalam rahim
dianjurkan untuk memperdengarkan alunan musik klasik, katanya bisa mempengaruhi
otak. Bagi orang Islam, mungkin yang lebih baik adalah lantunan ayat-ayat suci
Alquran.
Kemudian anak tersebut
diaqiqahkan. Ini sebenarnya hanya sunnah muakkad. Diaqiqahkan untuk
menginformasikan, bahwa telah lahir seorang anggota masyarakat muslim yang
baru.
Setelah itu, anak
tersebut juga diajarkan Alquran, akhlak, dan juga berbagi dengan orang lain.
Berbagi itu merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan. Karena itulah,
seorang anak kecil sudah harus dibiasakan berbagi dengan orang lain.
Tidurnya dipisah dengan
ayah dan ibunya setelah maksimum berumur 10 tahun. Kalau ajaran Islam
menyatakan, maksimum usia anak 10 tahun.
Banyak sekali yang
terjadi kini, namun jarang sekali terungkap, yaitu inses (hubungan seks
sedarah). Ini mungkin karena tidak dibiasakan tidurnya dipisah dengan orang
tuanya.
Di dalam Surah An-Nuur
disebutkan, bahwa ada tiga aurat yang seorang anak tidak boleh masuk sembarangan
ke dalam kamar orang tuanya: pertama, sesudah dzuhur (mungkin karena akan
istirahat siang). Kedua, salat ashar. Ketiga, pada waktu subuh.
Hal
ini bahkan bagi anak yang belum baligh, apalagi yang sudah baligh.
Dalam mempersiapkan masa aqil
baligh, orang tua harus memberikan penjelasan-penjelasan tentang menjelang
masa kedewasaan. Kalau anak laki-laki, maka ayahnya yang memberikan penjelasan.
Kalau akan perempuan, ibunya yang menjelaskan. Dan yang paling penting dicamkan
ketika mereka sudah aqil baligh itu, bahwa pada masa itu mereka sudah
harus bertanggung jawab secara individual kepada Allah.
Mungkin pada masa kita
dahulu orang tua kita tidak menjelaskan hal-hal seperti ini. Maka sekarang
kalau kita mempunyai anak, maka kita harus menjelaskan kepada anak kita, baik
itu cara pencegahannya, cara mandi besarnya, harus membatasi penglihatannya
dengan lawan jenis, dan sebagainya.
Inilah yang terpenting
dalam kehidupan masa remaja anak-anak kita. Sebagai orang tua, kita bertanggung
jawab akan hal ini. Orang tua lah yang membentuk anak itu menjadi hitam atau
putih.
Di dalam Alquran ada
pengecualian untuk ini, yaitu ada dua contoh yang disebutkan oleh Allah. Dua
contoh tersebut adalah dua anak manusia yang hidup di alam yang berbeda, tetapi
hasilnya juga berbeda. Ada Qanaan yang merupakan anaknya Nabi Nuh, yang satu
lagi Ibrahim anaknya Azar. Qanaan, walaupun anak Nabi, tapi kemudian Qanaan
menjadi kafir. Ibrahim, walaupun ia lahir di tengah-tengah penyembah berhala,
ayahnya merupakan pembuat patung yang disembah-sembah oleh orang ketika itu,
tetapi Ibrahim kemudian menjadi orang yang bertauhid.
Yang harus kita lakukan
adalah berusaha semaksimal mungkin. Ketika nanti ternyata hasilnya berbeda
dengan yang kita usahakan, maka kita sudah bebas tanggung jawab. Tapi kalau
kita tidak berusaha, kemudian hasilnya tidak baik, berarti usaha yang kita
lakukan tidak maksimal, dan itulah yang dinilai oleh Allah.
Paman Rasululah (Abu
Thalib) ketika akhir hayatnya tidak sempat mengucapkan dua kalimah syahadah.
Ketika pamannya wafat, Rasulullah mendoakannya, yang kemudian turun ayat:
Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Q.S. Al-Qashash: 56)
Jadi, kita jangan gampang
menghukumi orang. Ada
orang yang bapaknya begitu alim dan baik, kemudian anaknya menjadi jahat. Kalau
bapaknya sudah berusaha keras, ternyata anaknya masih juga menjauhi jalan yang
benar, maka tinggal diserahkan kepada Allah. Kewajiban kita hanya berusaha
menyampaikan dengan sejelas-jelasnya
0 komentar:
Posting Komentar