Efektivitivas Pendidikan Karakter

Character Education Partnership (2003) telah mengembangkan standar mutu
Pendidikan Karakter sebagai alat evaluasi diri terutama bagi lembaga (sekolah/kampus) itu
sendiri. Instrumen berupa skala Likert (0 – 4) dengan memuat 11 prinsip sebagai berikut:

  1. Mempromosikan inti nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik (nilai-nilai etis yang pokok dapat berasal dari ajaran agama, kearifan lokal, maupun falsafah bangsa).
  2. Mengartikan “karakter” secara utuh termasuk pemikiran, perasaan dan perilaku.
  3. Menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan dan proaktif untuk perkembangan karakter.
  4. Menciptakan suatu kepedulian pada masyarakat kampus/sekolah.
  5. Memberikan para peserta didik peluang untuk melakukan tindakan moral.
  6. Memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang dengan menghormati semua peserta didik, mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka berhasil.
  7. Mendorong pengembangan motivasi diri peserta didik.
  8. Melibatkan staf/karyawan kampus (sekolah) sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama yang memandu pendidikan para peserta didik.
  9. Memupuk kepemimpinan moral dan dukungan jangka-panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
  10. Melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
  11. Menilai karakter kampus, fungsi staf kampus (sekolah) sebagai pendidik karakter, dan memperluas kesempatan para peserta didik untuk menampilkan karakter yang baik.


Efektivitas implementasi program juga dipengaruhi oleh bagaimana strategi-strategi pembelajarannya dilakukan. Ada beberapa model dan strategi pembelajaran pendidikan karakter yang dapat dipergunakan, antara lain:

  1. Consensus building (Berkowitz, Lickona)
  2. Cooperative learning (Lickona, Watson, DeVries, Berkowitz)
  3. Literature (Watson, DeVries, Lickona)
  4. Conflict resolution (Lickona, Watson, DeVries, Ryan)
  5. Discussing and Engaging students in moral reasoning.
  6. Service learning (Watson, Ryan, Lickona, Berkowitz) (Williams, 2000: 37)

Di luar model pembelajaran karakter tersebut, ada beberapa model penting lainnya sehingga pendidikan karakter dapat efektif. Mengikuti Halstead dan Taylor (2000),

Pertama, adalah pendidikan karakter melalui kehidupan sekolah/kampus; Visi-misi sekolah/kampus; teladan guru/dosen, dan penegakan aturan-aturan dan disiplin. Model ini menekankan pentingnya dibangun kultur sekolah/kampus yang kondusif untuk penciptaan iklim moral yang diperlukan sebagai direct instruction, dengan melibatkan semua komponen penyelenggara pendidikan. Ini sebenarnya mirip dengan kesebelas instrumen efektivitas pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Character Education Partnership (2003) di atas.

Kedua, penggunaan metode di dalam pembelajaran itu sendiri. Metode-metode yang dapat diterapkan antara lain dengan problem solving, cooperative learning dan experiencebased projects yang diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan nilai-nilai kebajika ke dalam praktek kehidupan, sebagai sebuah pengajaran bersifat formal (Halstead dan Taylor, 2000: 181). Metode bercerita, Collective Worship (Beribadah secara Berjamaah), Circle Time (Waktu lingkaran), Cerita Pengalaman Perorangan, Mediasi Teman Sebaya, atau pun Falsafah untuk Anak (Philosophy for Children) dapat digunakan sebagai alternatif pendidikan karakter (Halstead dan Taylor, 2000)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger