sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, cerdas, berbudi pekerti yang luhur, mencintai Bangsanya dan mencintai sesama manusia, beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, setia kawan, percaya pada diri sendiri, sikap menghargai jasa para pahlawan, inovatif dan kreatif, serta berorientasi ke masa depan.
Ciri-ciri karakter tersebut secara normatif dapat diterima oleh semua kalangan. Persoalannya, bagaimana mengukur keberhasilan pencapaian ciri-ciri positif karakter tersebut, tampaknya tidak terselesaikan hingga gerakan reformasi bergulir. Pembentukan karakter warga negara cenderung sebagai retorika pembangunan seperti dalam jargon membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai bentuk pengamalan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan manusia Indonesia berdasarkan Pancasila seakan menemukan ”jalan buntu,” ketika secara politik Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dicabut oleh MPR dalam sebuah sidang istimewa bulan Nopember 1998. Padahal P4 inilah yang menjadi ”mata air” dan ”roh” dari pembentukan karakter warga negara melalui pendidikan kewarganegaraan di persekolahan yang ketika itu bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan kemudian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dengan pencabutan P4, maka terdapat ”kekokosongan” materi pokok dalam kajian PPKn terutama di sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Setelah lewat satu dekade, penilaian terhadap keputusan politisi di MPR yang juga kebetulan sebagian besar diangkat oleh Pemerintahan Presiden Soeharto adalah menyayangkan pencabutan P4 tersebut. Seorang ilmuwan politik yang juga menjadi anggota DPR/MPR pada periode itu, Amir Santoso, juga menyayangkan keputusan sebagian besar anggota MPR untuk mencabut P4, karena “cita-citanya bagus, tapi metodenya yang salah, karena sifatnya indokrinatif. ... metodenya yang tidak betul, metode penyampaiannya yang kurang bagus” (Wawancara, 29 April 2010). Persoalannya bukan kepada substansi nilai-nilai pengamalan Pancasila dalam P4, tetapi kepada metode penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa sehari-hari.
Suasana eforia setelah keluar dari suasana politik otoriter tidak bisa dinilai sebagai satu-satunya penyebab utama kenapa sebagian besar politisi di MPR “gelap mata” sehingga mencabut P4. Pertanyaan yang diajukan sejumlah kalangan akademisi maupun aktivis gerakan masyarakat kewargaan cenderung sama, apakah pendidikan P4 gagal atau berhasil?
Dalam amatan Daniel Dhakidae (2001: 24-25), pendidikan P4 tergolong menyita anggaran biaya yang tidak kecil untuk program ideologisasi masyarakat di semua kelas dan golongan ke segenap penjuru daerah di Indonesia. Dalam taraf tertentu program ideologisasi (berbentuk penataran P4) tersebut tampaknya hanya bisa dibandingkan dengan program Departemen Ideologi Uni Soviet yang hendak mengontrol masyarakat dengan tafsir ideologi tunggal rezim. Dari sini penilaian yang bijak adalah bukan masalah berhasil atau gagalnya pendidikan P4, tetapi sejauh mana Pancasila dimaknai oleh segenap warga negara. Dalam hal ini pemakalah sependapat dengan Dhakidae yang menyatakan bahwa:
Pancasila menjadi suatu makhluk di langit dan tidak tersentuh oleh proses normal
kehidupan masyarakat warga di bumi sehingga korupsi tetap diakui sebagai korupsi, tetapi
korupsi dilakukan oleh oknum yang tidak ada hubungannya dengan Pancasila. Pancasila
tetap bersih meskipun yang memujanya adalah kaum koruptor dan yang menyembahnya
adalah para pembunuh (Dhakidae, 2001: 26).
Dari pernyataan tersebut, masalah pokoknya adalah bagaimana mendudukan Pancasila kembali kepada fungsinya sebagai dasar negara yang merupakan suatu gentlemen agreement, sebagaimana dikukuhkan oleh para pendiri negara. “Membumikan” Pancasila agar tetap relevan dan memiliki makna sebagai panduan berbangsa dan bernegara agar Pancasila adalah lebih utama daripada menyanjung-nyanjungnya sebagai warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya dalam setiap pidato kenegaraan ataupun upacara-upacara. Namun, di pihak lain, justru Pancasila diperalat oleh kepentingan politik rejim untuk membungkam suara kritis masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman sebelum dan selama Orde Baru terhadap tafsir pengamalan Pancasila menjadi pelajaran penting untuk kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.
Pendidikan formal, informal dan nonformal sebagai bagian dari continuing education dan lifelong education (shogai kyoiku), ketiga-tiganya tidak dapat terpisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri. Ketiganya saling mengisi terutama dalam;
- Memenuhi kebutuhan belajar sepanjang hayat (selama masyarakat itu ada). Masyarakat memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pemahaman lainnya tidak hanya cukup dengan pendidikan formal saja, akan tetapi masyarakat perlu memperoleh pendidikan lain sebagai (complementary) baik melalui pendidikan informal maupuan pendidikan nonformal. Maka pendidikan formal, informal dan nonformal akan secara terintegrasi dibutuhkan oleh masyarakat agar pengetahuan dan kemampuan yang diperolehnya menjadi lebih utuh (komplit).
- Pengembangan pendidikan sepanjang hayat melalui pendidikan formal, informal dan nonformal yang terintegrasi akan memudahkan masyarakat dalam memilih pendidikan mana yang paling cocok dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan diri serta sesuai dengan keahlian (kompetensi) yang diperlukan bagi kehidupannya.
Ketika seseorang memilih pendidikan formal, kemudian berhenti pada satu titik tertentu karena pendidikan formal dibatasi kesempatan dan waktu, atau dia tidak diperkenankan untuk memperoleh pendidikan formal karena usia, atau putus pendidikan formal (drop out), dan karena berbagai hal sehingga seseorang tidak memiliki kesempatan untuk mengikutinya, maka pada saat itulah pendidikan informal dan nonformal dibutuhkan untuk melayaninya (subtitute). Ketika seseorang tidak cocok dengan pendidikan formal atau ada beberapa materi yang tidak diperoleh melalui pendidikan formal dia akan mendapat tambahan secara bebas melalui pendidikan nonformal atau informal (suplementary).
Secara lebih jelas bagaimana konsep complementary antara pendidikan formal, informal dan nonformal dijelaskan UNESCO (1985) sebagai berikut: mutual support between the formal education and nonformal education or others system of education in respect of mobilization and utilization of physical facilities, personel (providers, trainers, and teachers), administrative structure, curriculum and manual books (materials), training of trainers, training of teachers, supervisors and evaluation certification procedure and techniques that have developed within formal and nonformal education.
Secara mendasar pendidikan formal, informal dan nonformal sebagai sebuah konsep pendidikan dalam rangka pendidikan sepanjang hayat dan belajar sepanjang hayat, memiliki berbagai ragam program sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyatakat masa kini maupun masa depan. Masyarakat tidak akan berkembang pengetahuan dan keterampilannya apabila hanya mengandalkan pendidikan formal, oleh karena itu kebutuhan akan layanan pendidikan informal dan nonformal sangat dirasakan dalam menunjang kehidupan masyarakat terutama dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Sehingga variasi layanan program pendidikan nonformal yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat merupakan sebuah wujud dari lifelong education.
Membicarakan pendidikan nonformal bukan berarti hanya membahas pendidikan nonformal sebagai sebuah pendidikan alternatif bagi masyarakat, akan tetapi berbicara pendidikan nonformal adalah berbicara tentang konsep, teori dan kaidah-kaidah pendidikan yang utuh yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan masyarakat. Karena pendidikan nonformal sebuah layanan pendidikan yang tidak dibatasi dengan waktu, usia, jenis kelamin, ras (suku, keturunan), kondisi sosial budaya, ekonomi, agama dll. Meskipun pendidikan formal merupakan komponen penting dalam pendidikan sepanjang hayat. Akan tetapi, peran pendidikan nonformal dan informal dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat bagi masyarakat sangat dibutuhkan saat ini dan kedepan. Pada bagian ini akan dibahas lebih mendasar tentang bagaimana peran pendidikan nonformal dalam membangun dan memberdayakan masyarakat melalui dua kasus yang dikembangkan di Indonesia melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan kasus model pengembangan pendidikan sosial yang dikembangkan di Jepang melalui Kominkan (Community Cultural Learning Centre atau disebut dengan Citizens’ Public Halls), yang dalam konsep pendidikan Jepang Pendidikan nonformal lebih dikenal dengan istilah social education (Hideaki Teuchi, 2006).
Pendidikan nonformal menjadi bagian dari pembicaraan internasional terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan tentang pendidikan pada era sebelum tahun 1960 dan akhir tahun 1970-an. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana kaitan antara konsep pendidikan berkelanjutan dengan konsep pendidikan sepanjang hayat. Tight (1996:68) mengajukan konsep tentang penyatuan pendidikan extention dan belajar sepanjang hayat secara utuh dan menyeluruh, sehingga untuk menyatukan itu pendidikan nonformal dianggap memiliki peran dalam 'acknowledging the importance of
education, learning and training which takes place outside recognized educational institutions'. Begitu pula dengan yang diungkapkan Fordham (1993), menyatakan bahwa sejak tahun 1970-an, ada empat karakteristik dasar yang berkaitan dengan peran pendidikan nonformal di masyarakat:
- relevan dengan kebutuhan kelompok masyarakat (orang-orang) yang tidak beruntung,
- ditujukan dan memiliki perhatian khusus pada kategori sasaran-sasaran tertentu,
- terfokus pada program yang sesuai dengan kebutuhan,
- fleksibel dalam pengorganisasian dan dalam metoda pembelajaran.
Dalam banyak negarapun pembicaraan masalah pendidikan nonformal menjadi topik-topik khusus, serta dianggap sebagai pendidikan yang mampu memberikan jalan mserta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani pendidikan formal. Alan Rogers dalam satu bukunya menyatakan bahwa: There is a renewed interest in non-formal education (NFE) today. And it is significant that this interest comes not so much from the so-called 'Third World' (I use this term to refer to poor countries in receipt of aid from rich countries, because many other persons use it as a short-hand). The assembly recognizes that formal educational systems alone cannot respond to chalange of modern society and therefore welcomes to reinforcement by nonformal education. (Alan Rogers, 2004).
Namun demikian dalam membahas pendidikan nonformal selayaknya tidak terlepas dari konsep yang mendasari bagaimana pendidikan nonformal berkembang dengan utuh sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya, oleh karena itu keterkaitan analisis antara pendidikan nonformal dengan community learning, informal education, dan social pedagogi merupakan sesuatu hal yang tetap harus manjadi acuan.
Pembahasan secara original tentang konsep pendidikan nonformal muncul pada tahun 1968 (Coombs 1968), perkembangan pendidikan nonforml begitu pesat terutama ketika pendidikan dirasakan masih banyak kekurangan (Illich 1973), hal tersebut dirasakan tidak hanya di Negara-negara berkembang tetapi merambah sampai ke belahan dunia barat (western) juga sampai ke belahan dunia utara (northern). (Bowles dan Gintis 1976 dan kawan-kawan). Di belahan dunia barat reformasi pendidikan
bergerak melalui berbagai perbedaan format, akan tetapi dalam semua perencanaan dan kebijakan-kebijakan yang diambil sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang diperlukan bagi negara-negara berkembang mulai tahun 1968 sampai tahun 1986, pada saat itu pendidikan nonformal dirasakan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit pendidikan yang dirasakan di tengah-tengah masyarakat (Freire 1972 dan kawankawan).
Berbagai lembaga pendidikan nonformal dan lembaga lain dibidang pendidikan melakukan intervensi kuat serta mendorong terjadinya perubahan di bidang pendidikan khususnya di negara-negara barat termasuk Amerika Serikat. Di Amerika Serikat perubahan pendidikan dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah akademik, di pusat-pusat penelitian, tempat konsultasi, publikasi dan laporan-laporan lainnya.
Pada banyak hal pendidikan nonformal dirasakan sebagai sebuah formula yang sangat ideal serta lebih resfect dibandingkan dengan pendidikan formal. Namun demikian kita tetap harus merasa bahwa pendidikan nonformal tetap merupakan bagian dari sistem pendidikan yang keberadaannya tidak dapat terpisahkan dengan pendidikan formal apalagi dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Sehingga tidak dirasakan, bahwa pendidikan nonformal lebih hebat dari pendidikan formal, atau pendidikan nonformal lebih rendah dari pendidikan formal. Namun itu harus tetap menjadi catatan penting agar pendidikan formal tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat Pigozzi, menyebutkan bahwa: It could even be described as a temporary ‘necessary evil’ in situations of crisis until formal schooling could be restored (Pigozzi, 1999).
Membicarakan pendidikan nonformal seperti halnya membicarakan salah satu bagian dunia yang terbagi dua secara dikotomis. Salah satu bagian tentang pendidikan formal dan pada bagian lainnya adalah pendidikan nonformal. Namun ketika membicarakan pendidikan nonformal harus sangat hati-hati, karena ada sebagian Negara yang menerjemahkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Seperti halnya di Jepang secara implementatif pendidikan nonformal tidak terlalu dikenal secara utuh, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Masyarakat dan pemerintah Jepang menganggap bahwa pendidikan sosial (social education) itu adalah pendidikan nonformal, karena program-program yang dikembangkan social education sama dengan program-program yang dikembangkan pendidikan nonformal, seperti pendidikan untuk orang dewasa, pendidikan keterampilan dan pendidikan untuk masyarakat pada umumnya melalui Citizens’ public halls atau dikenal dengan Kominkan (Community cultural learning centre).
Pada negara-negara lainpun program-program pendidikan, seperti halnya pengembangan sekolah dan perguruan tinggi, dilakukan oleh menteri pendidikan termasuk di dalamnya program (kelas) pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa. Ada negara yang mengembangkan pendidikan oleh lembaga non pemerintah (NGOs), ada yang mengembangkan pendidikan sekolah dan kegiatan-kegiatan pelatihan oleh berbagai mentri seperti mentri (pemberdayaan perempuan, menteri kesehatan, tenaga kerja, pemuda dan olah raga serta kebudayaan).
Ada juga sebagian negara yang mengembangkan pendidikan nonformal, dalam bentuk pembelajaran individual, pembelajaran kelompok, kelompok belajar khusus untuk perempuan, dan kelompok-kelompok bimbingan khusus, dimana kegiatankegiatannya dikembangkan oleh lembaga-lembaga swasta/LSM, lembaga komersial, serta berbagai lembaga sosial lainnya seperti (keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan gerakan sosial lainnya). Ada yang lebih extreme mengartikan bahwa semua kegiatan pendidikan merupakan bagian dari sekolah dan universitas termasuk di dalamnya penyiaran radio, program televisi, koran, majalah dan berbagai kegiatan yang menurut anggapan sebagian negara termasuk dalam bagian pendidikan nonformal.
Sejak tahun 1986 diskusi dan debat tentang masalah pendidikan nonformal dikategorikan sebagai bagian dari sejarah penjang tentang pendidikan. Akan tetapi mulai penghujung abad 21 pembicaraan tentang dikotomi pendidikan nonformal sudah mulai berkurang baik dalam jurnal-jurnal, surat kabar maupun majalah pendidikan lainnya, sejalan dengan sudah meningkatnya pemahaman dan kebutuhan akan pendidikan nonformal di tengah-tengah masyarakat. Terutama sejak pesatnya penyelenggaraan program pendidikan nonformal bagi Negara-negara berkembang.
Sejak Juminten Conference tahun 1990 diskusi tentang pendidikan nonformal lebih diarahkan pada masalah pendidikan untuk semua (education for all), terutama menyangkut kebijakan dan rencana pengembangan education for all bagi negaranegara berkembang, khususnya mengenai pelayanan pendidikan bagi anak-anak.
Melalui konsep education for all pendidikan nonformal diharapkan mampu melayani pendidikan mulai tingkat dasar termasuk pendidikan untuk anak-anak usia sekolah sampai pada program-program alternatif untuk melayani pendidikan para pemuda, terutama dikonsentrasikan bagi para pemuda yang tidak sekolah (drop out/putus sekolah) dan tidak berada pada usia sekolah formal. Dengan digulirkannya education for all pendidikan nonformal memiliki program yang sangat luas, tidak hanya melayani pendidikan orang dewasa akan tetapi juga pemuda dan anak-anak yang tidak terlayani pendidikan formal.
Kesemua program tersebut diintegrasikan dengan berbagai lembaga pemerintah di daerah maupun dengan lembaga non pemerintah khususnya masyarakat. Dari berbagai konsep dan perkembangan pendidikan nonformal pertanyaan yang muncul adalah: kenapa pendidikan nonformal menjadi pilihan untuk memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat termasuk di dalamnya anak-anak dan pemuda yang ada pada usia sekolah? Pertanyaan ini merupakan dasar pemikiran untuk membangun pendidikan nonformal yang berkualitas dan setara dengan pendidikan formal, akan tetapi model yang dikembangkan harus berbeda dengan pendidikan formal mengingat karakteristik sasaran pendidikan nonformal yang heterogen, baik dilihat dari segi kesempatan, waktu, atau berbagai kondisi yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai sasaran. Berdasar pada kondisi itu pendidikan nonformal harus disiapkan dalam model yang betul-betul fleksibel, pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, kurikulum cavetaria, waktu yang disesuaikan dengan kesempatan sasaran, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dijadikan landasan dalam pengelolaan, kemandirian merupakan tujuan pembelajaran dll. Di samping itu pula kualitas proses pembelajaran dan kualitas hasil pembelajaran merupakan standar yang harus tetap menjadi acuan dan setara dengan pendidikan formal. Kesimpulan dari semua itu sebenarnya apa yang dimaksud dengan pendidikan nonformal, sehingga memerlukan penjelasan panjang, dan bagaimana landasan teori serta landasan filosofis pendidikan nonformal, begitu pula bagaimana membangun program-program yang memiliki identitas khusus tentang pendidikan nonformal.
Untuk itulah studi yang lebih mendalam tentang keberadaan pendidikan nonformal harus terus dilakukan, baik melalui; penelitian, telaah buku, temu konsultasi dengan negara-negara maju, seminar nasional dan internasional serta studi banding terhadap negara-negara yang telah berhasil dalam mengembangkan pendidikan nonformal. Studi komparatif tentang pendidikan khususnya pendidikan nonformal di Jepang sebagai Negara maju di kawasan Asia adalah salah satu upaya untuk lebih meningkatkan kualitas program pendidikan nonformal di masa depan khususnya di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar