Penangganan cyberporn agar tidak menyebar luas dan menjadi
konsumsi masyarakat yang dapat merugikan generasi ke depan tidaklah semudah melakukan pemberantas karena
kejahatan ini tanpa mengenal batas teritorial antar negara. Kejahatan cyberporn
ini sendiri selalu menggunakan sarana jaringan melalui internet di negara-negara
dunia dewasa ini semakin berkembang pesat. Kehadiran internet tidak dapat
dielakkan lagi sebagai penunjang untuk mengakses cyberporn melalui
komputer, handpone dan lain sebagainya. Dalam penangganan cyberporn,
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, namun undang-undang tidaklah sepenuhnya mampu menjerat
pelakunya untuk tidak melakukan perbuatan cyberporn karena kejahatan ini
merupakan kejahatan yang berbasis teknologi sehingga upaya penangkalan
membutuhkan teknologi juga agar lebih efektif.
Meski Indonesia
menduduki peringkat pertama dalam kejahatan dunia pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputuskan oleh
pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal
ini angka kejahatan cyberporn melalui komputer dengan jaringan internet
cukup banyak namun penyidikan dan proses peradilan hampir tidak ada termasuk
berupa laporan dari masyarakat tentang penyalahgunaan computer dengan
jaringannya internet. Hambatan
penanganan kasus cyberporn di Indonesia adalah :
1. Kejahatan cyberporn merupakan kejahatan dengan dimensi
high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cyberporn
dalam dunia cyber crime. Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia
khususnya aparat penegak hukum masih lemah. Hal ini terkait dengan begitu
banyak kejahatan cyberporn yang terjadi belum mendapatkan penanganan
khusus.
2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim
sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti
pelatihan baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini disebabkan karena
pemerintah masih menganggap kejahatan dunia maya bukan ancaman besar negara.
3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan
waktu dan biaya besar. Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker
dan cracker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan
program-program dan data-data komputer, sarana POLRI belum memadai karena belum
ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data
digital serta merekam dan menyimpan bukti bukti berupa softcopy (image,
program, dsb). Contohnya pada kasus Dani Firmansyah
yang menghack situs KPU, POLRI harus membawa harddisk ke Australia untuk
meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya
telah dilakukan. Masyarakat menilai, dari berbagai kasus yang ditangani oleh
lembaga peradilan, penangannya agak lambat dan lama. Buruknya citra ini
menyebabkan orang atau korban untuk menyerahkan kasusnya ke kepolisian untk
ditangani.
5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan
itu sendiri yang kurang baik, faktor lain adalah korban tidak ingin kelemahan
dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi
kinerja perusahaan dan web masternya.
Kejahatan cyberporn
merupakan kejahatan yang perlu mendapatkan perhatian serius karena kejahatan
ini berdampak buruk pada perkembangan moral masyarakat. Menurut Roberto
mengenai cyberporn mengatakan bahwa kendala sulitnya memberantas cyberporn
oleh penegak hukum yaitu kepolisian karena ada beberapa faktor yang membuat kejahatan melalui internet dan handpone,
telepon sangat sulit untuk diberantas, yaitu:
1. Faktor utama adalah dunia internet yang
tidak mungkin bisa dibatasi. Akses orang untuk membuka situs atau website
terbuka lebar walaupun sudah ada pembatasan atau pemblokiran misalkan website
yang ada di Indonesia situs yang berbau porno yang terdaftar di (dot)co (dot)
id untuk kata-kata yang berbau pornografi sudah dibatasi, akan tetapi orang tetap bebas untuk membuat website misalkan di (dot)com.untuk kata-kata
dalam bahasa lain seperti bahasa Rusia, perancis, dll ya tetap saja bisa
terbuka,
2. Faktor kedua adalah rendahnya masyarakat melaporkan kasus yang
berhubungan dengan dunia cyber termasuk cyberporn dan kasus lain berupa
penipuan. Hal ini mereka lakukan karena faktor resiko tidak terlalu besar, malu
sehingga membuat kejahatan di dunia maya tetap tumbuh subur dan kurang mendapat
perhatian dari penegak hukum.
3. Faktor ketiga adalah karena pelaku kejahatan yang semakin pintar
dengan semakin majunya teknologi. Para pelaku pandai mencoba-coba, membuat
situs baru sebagai penganti situs yang lama atau mereka menonaktifkan nomor
telepon dan menggantinya dengan yang baru sehingga polisi kesulitan melacak
jejak pelaku. Maka ada istilah "dunia maya itu dikenal anonymous. Siapa pun bisa
menjadi apa pun,".
Kejahatan cyberporn
meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang, berupa hukum pidana yang dapat
digunakan sebagai ultimum remidium
atau alat terakhir apabila bidang hukum yang lain tidak dapat mengatasinya,
tetapi harus disadari bahwa hukum pidana memiliki keterbatasan kemampuan dalam
menanggulangi kejahatan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut:
- Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana
- Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemayarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosioekonomi, dan sosio-kultural;
- Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif;
- Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
- Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional;
- Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
- Bekerjanya/berfungsingnya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan memerlukan biaya tinggi.
Keterbatasan-keterbatasan
hukum pidana inilah yang tampaknya dialami oleh polri yang menggunakan hukum
pidana sebagai landasan kerjanya. Sebab kejahatan yang kompleks ini terlambat
diantisipasi oleh polri sehingga ketika terjadi kasus yang berdimensi baru
mereka tidak secara tanggap menanganinya. Untuk itu, pencegahan kejahatan tidak
selalu harus menggunakan hukum pidana. Agar penegakan hukum cyberporn ini
dapat dilakukan secara menyeluruh maka tidak hanya pendekatan yuridis atau
penal yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan non-penal.
Upaya penanganan cyberporn membutuhkan keseriusan
semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan
sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cyberporn
memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana
dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan
masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung
tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut. Maka dari itu dari itu
dibutuhkan kerjasama atau korelasi antara pemerintah dengan masyarakat, guna
untuk melancarkan pelaksanaan undang-undang tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar