Upaya Pemerintah Dalam Penanggulangan Cyberporn Di Indonesia

Kejahatan  cyberporn yang berbasis komputer dengan jaringan internet yang kini telah berkembang sesungguhnya dalam kondisi yang memprihatinkan sehingga perlu dilakukannya suatu upaya menanggulangi kejahatan cyberporn tersebut untuk menghindari dan mencegah meluasnya dampak negatifnya yang berbahaya. Upaya pemerintah dalam hal ini untuk melindungi warga negaranya perlu diintensifkan demi penyelamatan generasi ke depan. Terkait kejahatan cyberporn tersebut ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam penanggulangan cyberporn baik dalam skala nasional dan internasional dengan pendekatan penal dan non penal dalam memberantas maupun mencegah kejahatan cyberporn di Indonesia.

Upaya pemerintah menanggulangi kejahatan cyberporn dalam lingkup nasional,  pemerintah dapat menerapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, karena kejahatan cyberporn sebenarnya merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang tersebut. Hal yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan UU tersebut dengan mendorong semua pihak yang terkait terutama POLRI selaku penegak hukum untuk melakukan penyidikan dengan mencari bukti-bukti keterlibatan warga dalam kasus cyberpor. Bagi POLRI selaku penegak hukum perlu dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan penyidik dalam dunia cyber, menambahkan dan meningkatkan fasilitas komputer forensik dalam POLRI karena kejahatan cyberporn membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus yaitu pengetahuan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik jika dilihat dalam perspektif penanggulangan  penyalahgunaan internet, dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 mendeskripsikan bahwa Dokumen elektronik dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat bukti yang sah. Selain itu dalam pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut :

a)   alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;dan
b)   alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 dan ayat 2

Selain deskripsi undang-undang ITE tersebut, dikenal pula alat bukti digital. tindakan kejahatan tradisional umumnya meninggalkan bukti kejahatan berupa bukti-bukti fisikal, karena proses dan hasil kejahatan ini biasanya juga berhubungan dengan benda berwujud nyata. Dalam dunia komputer dan internet, tindakan kejahatan juga akan melalui proses yang sama. Proses kejahatan yang dilakukan tersangka terhadap korbannya juga akan mengandalkan bantuan aspek pendukung dan juga akan saling melakukan pertukaran atribut (Yuyun Yulianah, SH, MH 2005).  Namun dalam kasus ini aspek pendukung, media, dan atribut khas para pelakunya adalah semua yang berhubungan dengan sistem komputerisasi dan komunikasi digital. Atribut-atribut khas serta identitas dalam sebuah proses kejahatan dalam dunia komputer dan internet inilah yang disebut dengan bukti-bukti digital (http://yogapw.wordpress.com/2009/11/1).  Selain itu penuntutan terhadap kejahatan internet berupa cyberporn dapat dituntut dengan pasal yang lama yang ada dalam Undang-Undang, Penuntutan kejahatan cyberporn dalam KUHP dapat juga kenaikan kepada pelakunya dengan KUHP pasal 282, ayat 1, 2, dan 3, mengenai Undang-Undang penyiaran, KUHP No. 8 tahun 1992 mengenai perfilman.

Kejahatan Cyberporn adalah kejahatan yang dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dan korban kejahatan. Dengan sifat seperti itu, semua negara termasuk Indonesia yang melakukan aktivitas internet akan terkena dampak dari perkembangan kejahatan dunia maya. Memudarnya batas-batas geografi dalam abad 21 yang dikenal sebagai abad informasi ini telah mengubah cara pandang terhadap penyelesaian dan praktik kejahatan dari model lama (konvensional) ke model baru (elektronik). Kekuatan jaringan dan komputer pribadi berbasis pentium menjadikan setiap komputer sebagai alat yang potensial bagi para pelaku kejahatan (http://denet.hforum.biz/t42-kejahatan-dunia-maya : 2013). Globalisasi aktivitas kriminal yang memungkinkan para penjahat melintas batas elektronik merupakan masalah nyata dengan potensi mempengaruhi negara, hukum, dan warga negaranya. Fakta ini tak bisa dipungkiri karena internet dapat dijadikan sarana yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan negatif yang diinginkan tanpa batasan geografis dan teritorial.

Upaya penanggulangan cyberporn skala global dan international, untuk mengatasi kejahatan cyberporn di internet ini Pemerintah dapat merujuk pada kesepakatan di Hongaria pada 23 November 2001 mengenai kejahatan dunia cyber. Saat itu ada lebih kurang 30 negara menandatangani Convention On Cyber crime sebagai wujud kerja sama multilateral untuk menanggulangi aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan komputer lainnya. Namun, upaya penanggulangan kejahatan internet ini menemukan masalah dalam hal yurisdiksi. Pengertian yurisdiksi sendiri adalah kekuasaan atau kemampuan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan.  Dalam konteks ini Indonesia bisa memainkan perannya bersama-sama dengan negara-negara lain di dunia untuk mengatasi masalah kejahatan internet.

Upaya penanggulangan kejahatan cyberporn ini agar dapat dilakukan secara menyeluruh maka tidak hanya pendekatan yuridis atau penal yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan non-penal. Dalam konteks cyberporn ini erat hubungannya dengan teknologi, khususnya teknologi komputer dan telekomunikasi sehingga pencegahan cyberporn dapat digunakan melalui saluran teknologi atau disebut juga techno-prevention. Pendekatan teknologi ini merupakan subsistem dalam sebuah sistem yang lebih besar, yaitu pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari kebudayaan atau merupakan kebudayaan itu sendiri. Pendekatan budaya atau kultural ini perlu dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap masalah cyberporn dan menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media pendidikan.

1.   Upaya penanggulangan dalam skala International. Dimana Pemerintah bisa merujuk pada Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer related crimes sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa menghimbau negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:

a)   Melakukan Modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana
b)   Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer
c)   Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer
d)  Melakukan upaya-upaya pelatihan bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime.
e)    Memperluas rule of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika.
f)    Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cyber crime.

Pendekatan yang bersifat preventif  yang menjadi agenda PBB dalam upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan, sebagaimana sering juga dikemukakan dalam kongres-kongres PBB mengenai “the prevention of crime and the treatment of offenders”, yaitu :

a)   Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana janganlah diperlakukan/dilihat sebagai problem yang terisolir dan ditangani dengan metode yang simplistik dan fragmentair, tetapi seyogianya dilihat sebagai masalah yang lebih kompleks dan ditangani dengan kebijakan / tindakan yang luas dan menyeluruh.
b)   Pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang demikian harus merupakan “strategi pokok / mendasar dalam upaya pencegahan kejahatan” (the basic crime prevention strategy).
c)   Penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) di antara golongan besar penduduk.
d)  Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana seyogyanya dipertimbangkan dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi, sistem politik, nilai-nilai sosio kultural dan perubahan masyarakat, juga dalam hubungannya dengan tata ekonomi dunia /internasional baru.
2.   Upaya penanggulangan dalam lingkup Nasional. Selanjutnya dalam lingkup nasional dengan pendekatan non penal Pemerintah Indonesia dapat menggunakan beberapa pendekatan yang mungkin dapat dijadikan preventif terhadap penyebaran kejahatan cyberporn di Indonesia yaitu:

a.    Pendekatan Teknologi.
Sarana non penal dengan pendekatan teknologi (techno prevention) merupakan langkah yang strategis mengingat cyberporn merupakan bentuk kejahatan yang memanfaatkan teknologi, yaitu dengan menyebarkan materi-materi pornografi melalui internet/dunia maya. Pada prinsipnya untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh teknologi adalah dengan teknologi pula. Internet sebagai media yang digunakan untuk penyebaran pornografi, maka kebijakan utama yang harus diambil adalah pengaturan internet itu sendiri. Ada beberapa sarana teknologi yang dapat digunakan untuk meminimalisir akses cyberporn, diantaranya adalah :

1.   Menerapkan proteksi internet. Banyak sekali proteksi gratis yang bisa didownload dan diinstal ke personal computer (PC). Apabila menggunakan Microsoft Internet Explorer, bukalah fitur proteksi built-in lewat menu [Tools] [Internet Options] [Content] [Content Advisor]. Sistem content advisor akan membaca tag khusus yang ada pada sebuah halaman web, lantas akan mengidentifikasikannya.
2.   Cari ISP (Internet Service Provider) yang aman. Di negara maju banyak ISP yang menawarkan proteksi internet, termasuk di dalamnya antivirus dan firewall. Keuntungannya adalah bisa mendapatkan perlindungan menyeluruh beserta software update secara gratis.
3.   Pengaman e-mail. Saat ini banyak spammer yang selalu mengirimkan junk e-mail atau spam. Hal ini sangat berbahaya apabila isi e-mail tersebut adalah pornografi. Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah seperti yang ditawarkan KidsCom, berupa layanan web-based email yang dijamin aman. Layanan ini akan membatasi masuknya email tak terdaftar ke account Anda.
4.   Pengaman dalam PC . Hal ini dilakukan dengan menginstal software jenis web-filtering pada PC. Produk filter ini memiliki fitur yang bisa disetel, sehingga dapat menyaring situs apa yang layak dikonsumsi.
b.   Pendekatan Budaya/Kultural
Upaya preventif dengan pendekatan budaya/kultural pada dasarnya merupakan penanggulangan dengan cara mengetahui dan mematuhi etika dalam penggunaan internet, sehingga dapat menghindari penyalahgunaan dan dampak negatifnya. Pendekatan ini merupakan salah satu kebijakan non penal dalam Resolusi Kongres PBB VII/1990 mengenai computer related crimes, yang menyatakan perlunya membangun/membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap masalah cyberporn dan menyebarluaskan/mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media pendidikan.

Adanya pemahaman dan kepatuhan terhadap etika berinternet ini sangatlah efektif dalam pencegahan konsumsi pornografi di dunia maya. Berikut ini etika dalam penggunaan internet (cyber ethics), yaitu (http//www.ParentNews Safety.com, cyber ethics:  2013 :

1.   Setiap orang harus bertanggungjawab terhadap perilaku sosial dan hukum tatkala menggunakan internet.
2.   Tidak seharusnya ikut serta dalam berbagai bentuk saiber yang mengganggu.
3.   Seharusnya tidak bercakap-cakap tentang satu apapun kepada orang lain yang tidak dikenal di internet.
4.   Mengcopy atau men-download program yang berhak cipta, games atau musik tanpa ijin atau tanpa membayar adalah perbuatan Illegal.
5.   Untuk menghindari plagiat ‘plagiatism’ penting untuk memberikan kredit terhadap situs yang digunakan untuk riset.
6.   Tidak ada penggemar pada komputer pribadi yang berkirim surat satu sama lain atau saling membacanya.
7.   Jangan pernah bermaksud menyebarkan virus computer.
8.   Internet tidak bersifat pribadi dan apa yang anda lakukan atau katakan akan kembali kepada anda.

Adanya etika internet ini hendaknya disosialisasikan oleh Pemerintah, institusi pendidikan dan penyedia jasa internet, serta orang tua kepada anak-anaknya dirumah. Sosialisasi ini meliputi masyarakat umum maupun komunitas di dunia maya. Hal ini untuk menghindari masyarakat untuk mentabukan internet, karena memandangnya sebagai media pornografi saja. Akibatnya manfaat positif internet tidak digunakan dan masyarakat akan semakin gaptek (gagap teknologi).
c.    Pendekatan Moral/Edukatif
Kebijakan non penal dengan pendekatan moral/edukatif sangatlah dibutuhkan dalam penanggulangan cyberporn, bahkan dapat dikatakan bahwa pendekatan ini sangat strategis apabila pendekatan teknologi dan etika kurang efektif. Adanya penanaman pendidikan moral dan agama, pengetahuan akan dampak negatif cyberporn dan semaksimal mungkin menutup potensi untuk mengakses pornografi akan lebih dapat menumbuhkan kesadaran dari setiap orang untuk menghindari pornografi, apapun jenis dan medianya (http://www.hukumonline.com : Des 2012)

d.   Pendekatan Global
Internet sebagai ruang tanpa batas-batas teritorial antar negara di dunia (transnasional), menunjukkan bahwa dunia maya ini dalam pengaturan dan penanggulangan dampak negatifnya tidak mungkin dilakukan oleh negara secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu diperlukan adanya pendekatan global (kerjasama Internasional).

Adanya kebijakan global dalam kebijakan kriminal terlihat pada berbagai pertemuan Internasional, terutama dalam laporan Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (yang pada kongres terakhir ke-XI/2005 diubah menjadi “Prevention of Crime and Criminal Justice”). Berbagai hasil pertemuan Kongres PBB itu juga sering menghimbau untuk dilakukan “pendekatan filosofik/kultural”, “pendekatan moral religius”, dan “pendekatan humanis” yang diintegrasikan ke dalam pendekatan rasional yang berorientasi pada kebijakan (“policy oriented approach”). Indonesia dalam kebijakan kriminal penanggulangan cyberporn dapat memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai kebijakan global tersebut, termasuk berperan aktif dalam berbagai forum-forum internasional yang membahas tentang penanggulangan cybercrime. Pada tahun 2007 ini, Indonesia menjadi panitia persiapan dan penyelenggara Forum Asia Pacific Regional Internet Conference on Operational Technologies (APRICOT), yang merupakan konferensi teknologi informasi tingkat Asia Pasifik (http://www.detikinet.com : 2013)

e.    Pendekatan Ilmiah
Dalam perwujudan suatu kebijakan yang rasional diperlukan  adanya kajian dan penelitian ilmiah. Oleh karena itu, upaya penanggulangan cyberporn juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan adanya pendekatan ilmiah, seperti  ada beberapa hasil penelitian, laporan dan karya ilmiah di Indonesia maupun di negara-negara lain yang menunjukkan maraknya cyberporn dan meningkatnya konsumsi pornografi internet serta dampak negatifnya.

Upaya proteksi dini guna mengurangi penyebaran pornografi yang telah bertedar luas dimasyarakat diantaranya :

1.   Menanamkan moral dan etika yang dimulai dari keluarga. Sebagai orang tua wajib untuk menanamkan moral dan etika bagi anakanaknya. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak-anak, untuk itu orangtua berkewajiban untuk mendidik, menngjarkan nilai- nilai agama dan edukasi bagi anak-anaknya,sehingga mereka memiliki moral ,dan mental yang kuat dan mantap untuk tidak mudah menerima tanpa menyaring terlebih dahulu khususnya untuk hal-hal yang berbau pornografi yang sedang marak beredar lewat berbagai media seperti handphone, internet, majalah, dan VCD,.orangtua harus tanggap dan bisa mengontrol dengan baik segala fasilitas yang diberikan kepada anak.Mengajarkan cara penggunaan teknologi ponsel, internet secara bijak.

2.   Kebijakan sensor yang dimulai dari masyarakat. Kebijakan sensor di beberapa negara, justru dimulai dari masyarakat dan bukan dari pemerintah. Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman yang lebih dahulu mengenyam internet, ternyata lebih memilih internet dikembangkan secara self regulating. Misalnya, yang dilakukan oleh Bertelsman Foundation yang sudah meluncurkan ICRA Filter. ICRA Filter adalah software yang diluncurkan oleh Internet Content Rating Association. Dengan software yang diluncurkan tersebut, keluarga dan guru dapat melindungi anak-anak dan remaja dalam pemanfaatan internet sebagaimana mestinya. Hendaknya pemerintah kita juga dapat menerapkan kebijakan tersebut dimana pemerintah kita menjadi fasilitator dalam penyediaan software dan masyarakat menjadi sensor yang sangat menentukan ketika mereka berhadapan dengan dunia internet.

3.   Pendidikan Seks Pada Remaja. Situasi maraknya pornografi sebagai media yang menyesatkan hingga berimplikasi terhadap dekadensi moral, kriminalitas, dan kekerasan seks yang dilakukan remaja, sesunguhnya bukan sebuah kasus baru yang mengisi lembaran surat kabar ataupun media elektronik. Kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak dikehendaki (KTD) pada remaja dan sejenisnya, tampaknya masih belum banyak diangkat ke permukaan sehingga "seolaholah" masalah ini dianggap "kasuistik" yang tidak penting untuk dikaji lebih jauh. Padahal, timbulnya kasus-kasus seputar KTD remaja, kekerasan seksual, penyakit menular seksual (PMS) pada remaja bahkan sampai aborsi, tidak lepas dari (salah satunya) minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja.

4.   Pengembangan software tanpa harus membatasi aktifitas masyarakat dalam mengakses informasi.  Mungkin yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mencari satu persepsi yang sama bagaimana menyikapi pornografi internet itu sendiri. Berbagai jenis software yang dikembangkan digunakan untuk meredam pornografi. Masyarakat di sini lebih difokuskan pada pengguna internet selaku pihak yang langsung berhadapan dengan objek tersebut. Pemerintah tidak lagi menjadi regulator, melainkan beralih wujud menjadi fasilitator. Pemerintah tidak lagi mengontrol, melainkan membatasi mana yang menjadi pokok perhatian dalam pornografi internet. Selaku regulator, pemerintah cukup memberikan panduan bagi masyarakat, khususnya pengguna internet. Terutama, dalam memberikan satu pendidikan bagi masyarakat untuk menggunakan internet sebagaimana mestinya.

5.   Peran Warung Internet (Jasa Layanan Internet) Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Video Porno. Dalam persoalan pornografi di internet, penggunaan sarana penal tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya kemandegan dalam penafsiran unsurunsur dalam pasal tentang pornografi. Melihat sarana penal yang tidak lagi efektif dalam pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan menggunakan sarana non penal yaitu dengan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti pengusaha warnet/jasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Koordinasi ini sulit dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen masyarakat tersebut. Pada satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari internet (pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi lain dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaan.

Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas pornografi, maka harus ada kompromi di antara mereka. Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang anaknya senang main internet dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik warnet dan aparat penegak hukum. Meskipun dalam situs porno itu selalu ada klausul yang menyebutkan “jika anda belum berusia 18 tahun maka anda dilarang membuka lembar berikutnya”, tetapi larangan itu tidak berlaku karena pengaksesnya dapat saja mengaku berusia lebih dari 18 tahun meskipun sebenarnya ia berusia 15 tahun.

Jadi persoalannya tidak hanya terletak pada anggota masyarakat yang merasa nilai-nilai kemasyarakatan dan religiusnya terganggu, pengusaha atau pemilik warung internet yang merasa terancam keuntungannya, tetapi juga kontrol diri dari si pengakses atau pengguna itu sendiri juga perlu dilibatkan. Bagi para pemilik personal computer yang terhubung ke internet (dan juga para warnet yang mampu untuk itu) ada beberapa software yang dapat digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh dibuka oleh mereka yang belum cukup umur. Software yang dimaksud bernama WBlokcer. Selain software tersebut masih ada software lain yang juga bisa digunakan yaitu Surf Watch, NetNanny dan Cyberpatrol.

6.   Kerjasama pemerintah dengan instansi-instansi dan lembaga pendidikan. Instansi-instansi dan lembaga pendidikan yang memasang wi-fi, harus dibarengi dengan pemasangan firewall, sehingga semua konten tidak dapat masuk, termasuk konten yang mengandung pornoaksi dan pornografi. Selain itu juga sering melakuakn sidak terhadap ponsel dan memberikan sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera.

7.   Kampanye anti pornografi. Seiring dengan dikeluarkannya UU ITE oleh pemerintah yang salah satu didalamnya mengatur tentang pembatasan transaksi yang berhubungan dengan pornografi, maka hendaknya dibarengi dengan sosialisasi dalam bentuk kampanye anti pornografi kepada masyarakat. Dalam kampanye tersebut hendaknya juga di lakukan sosialisasi penggunaan internet yang sehat kepada masyarakat.

8.   Cyber Police. Pemerintah hendaknya membentuk sebuah unit kesatuan khusus yang menangani masalah kejahatan di dunia maya, termasuk cyber porn. Jika di dunia nyata polisi berpatroli di jalan raya, maka cyber police berpatroli di dunia maya. Unit ini berupa tenaga teknis yang dibekali oleh software khusus yang dapat mengawasi serta melindungi transaksi elektronik di internet.

9.   Pemerintah hendaknya konsisten terhadap peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Setiap peraturan maupun kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintahm untuk mengatasi maraknya penyebaran situs, video dan content berbau pornografi, semuanya adalah baik, namun dengan konsistensi yang diterapkan oleh pemerintah, maka penyebaran pornografi melalui berbagai media akan dapat diminimalkan Pemerintah juga bisa menaikkan tarif sanksi bagi yang melanggar peraturan tentang pornografi, sehingga dengan demikian masyarakat akan berpikir panjang untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum karena sanksi yang mereka bayarkan jumlahnya besar.

Kebijakan non penal melalui beberapa pendekatan dan beberapa upaya di atas diharapkan dapat menjadi filter maraknya cyberporn, khususnya dalam upaya penanggulangannya di Indonesia. Namun dalam aplikasi kebijakan non penal ini sangat membutuhkan adanya kesadaran, kerjasama dan partisipasi semua pihak, baik pemerintah, penyedia jasa internet, sekolah, orang tua, user dan kerjasama internasional agar dapat menghindari dampak negatif cyberporn dan memanfaatkan internet secara sehat sebagai sumber informasi dan untuk memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger