Kejahatan cyberporn yang berbasis komputer
dengan jaringan internet yang kini telah berkembang sesungguhnya dalam kondisi
yang memprihatinkan sehingga perlu dilakukannya suatu upaya menanggulangi
kejahatan cyberporn tersebut untuk menghindari dan mencegah meluasnya
dampak negatifnya yang berbahaya. Upaya pemerintah dalam hal ini untuk
melindungi warga negaranya perlu diintensifkan demi penyelamatan generasi ke
depan. Terkait kejahatan cyberporn tersebut ada beberapa hal yang dapat
dilakukan pemerintah dalam penanggulangan cyberporn baik dalam skala
nasional dan internasional dengan pendekatan penal dan non penal dalam
memberantas maupun mencegah kejahatan cyberporn di Indonesia.
Upaya pemerintah menanggulangi kejahatan cyberporn dalam
lingkup nasional, pemerintah dapat
menerapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, karena kejahatan cyberporn sebenarnya merupakan suatu
perbuatan melanggar hukum yang secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang
tersebut. Hal yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan UU tersebut dengan
mendorong semua pihak yang terkait terutama POLRI selaku penegak hukum untuk
melakukan penyidikan dengan mencari bukti-bukti keterlibatan warga dalam kasus cyberpor.
Bagi POLRI selaku penegak hukum perlu dibekali dengan pengetahuan dan
kemampuan penyidik dalam dunia cyber, menambahkan dan meningkatkan
fasilitas komputer forensik dalam POLRI karena kejahatan cyberporn membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan khusus yaitu pengetahuan yang berbasis teknologi
informasi dan komunikasi.
Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik jika dilihat dalam
perspektif penanggulangan penyalahgunaan
internet, dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 mendeskripsikan bahwa Dokumen elektronik
dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat bukti yang sah. Selain itu dalam
pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
menurut ketentuan undang-undang
ini adalah sebagai berikut :
a)
alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;dan
b) alat bukti lain berupa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
1 dan ayat 2
Selain deskripsi undang-undang ITE
tersebut, dikenal pula alat bukti digital. tindakan kejahatan tradisional
umumnya meninggalkan bukti kejahatan berupa bukti-bukti fisikal, karena proses
dan hasil kejahatan ini biasanya juga berhubungan dengan benda berwujud nyata.
Dalam dunia komputer dan internet, tindakan kejahatan juga akan melalui proses
yang sama. Proses kejahatan yang dilakukan tersangka terhadap korbannya juga
akan mengandalkan bantuan aspek pendukung dan juga akan saling melakukan
pertukaran atribut (Yuyun Yulianah, SH, MH 2005). Namun dalam kasus ini aspek pendukung, media,
dan atribut khas para pelakunya adalah semua yang berhubungan dengan sistem
komputerisasi dan komunikasi digital. Atribut-atribut khas serta identitas
dalam sebuah proses kejahatan dalam dunia komputer dan internet inilah yang
disebut dengan bukti-bukti digital (http://yogapw.wordpress.com/2009/11/1). Selain itu penuntutan terhadap kejahatan
internet berupa cyberporn dapat dituntut dengan pasal yang lama yang ada
dalam Undang-Undang, Penuntutan kejahatan cyberporn dalam KUHP dapat
juga kenaikan kepada pelakunya dengan KUHP pasal 282, ayat 1, 2, dan 3, mengenai
Undang-Undang penyiaran, KUHP No. 8 tahun 1992 mengenai perfilman.
Kejahatan Cyberporn adalah
kejahatan yang dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak
diperlukan interaksi langsung antara pelaku dan korban kejahatan. Dengan sifat
seperti itu, semua negara termasuk Indonesia yang melakukan aktivitas internet
akan terkena dampak dari perkembangan kejahatan dunia maya. Memudarnya
batas-batas geografi dalam abad 21 yang dikenal sebagai abad informasi ini
telah mengubah cara pandang terhadap penyelesaian dan praktik kejahatan dari
model lama (konvensional) ke model baru (elektronik). Kekuatan jaringan dan komputer
pribadi berbasis pentium menjadikan setiap komputer sebagai alat yang potensial
bagi para pelaku kejahatan (http://denet.hforum.biz/t42-kejahatan-dunia-maya
: 2013). Globalisasi aktivitas kriminal yang
memungkinkan para penjahat melintas batas elektronik merupakan masalah nyata
dengan potensi mempengaruhi negara, hukum, dan warga negaranya. Fakta ini tak
bisa dipungkiri karena internet dapat dijadikan sarana yang efektif untuk
mencapai tujuan-tujuan negatif yang diinginkan tanpa batasan geografis dan
teritorial.
Upaya
penanggulangan cyberporn skala global dan international, untuk mengatasi
kejahatan cyberporn di internet ini Pemerintah dapat merujuk pada
kesepakatan di Hongaria pada 23 November 2001 mengenai kejahatan dunia cyber.
Saat itu ada lebih kurang 30 negara menandatangani Convention On Cyber crime
sebagai wujud kerja sama multilateral untuk menanggulangi aktivitas
kriminal melalui internet dan jaringan komputer lainnya. Namun, upaya
penanggulangan kejahatan internet ini menemukan masalah dalam hal yurisdiksi.
Pengertian yurisdiksi sendiri adalah kekuasaan atau kemampuan hukum negara
terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi ini merupakan
refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan
prinsip tidak campur tangan. Dalam
konteks ini Indonesia bisa memainkan perannya bersama-sama dengan negara-negara
lain di dunia untuk mengatasi masalah kejahatan internet.
Upaya penanggulangan kejahatan cyberporn ini agar dapat dilakukan secara
menyeluruh maka tidak hanya pendekatan yuridis atau penal yang dilakukan,
tetapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan non-penal. Dalam konteks cyberporn
ini erat hubungannya dengan teknologi, khususnya teknologi komputer dan
telekomunikasi sehingga pencegahan cyberporn dapat digunakan melalui
saluran teknologi atau disebut juga techno-prevention.
Pendekatan teknologi ini merupakan subsistem dalam sebuah sistem yang lebih
besar, yaitu pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari
kebudayaan atau merupakan kebudayaan itu sendiri. Pendekatan budaya atau
kultural ini perlu dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan warga
masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap masalah cyberporn dan
menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media
pendidikan.
1. Upaya penanggulangan dalam skala International. Dimana Pemerintah
bisa merujuk pada Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer related
crimes sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa menghimbau
negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan
penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Melakukan Modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana
b) Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer
c) Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga warga
masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan
kejahatan yang berhubungan dengan komputer
d) Melakukan upaya-upaya pelatihan bagi para hakim, pejabat dan
aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime.
e) Memperluas rule of
ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum
informatika.
f) Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai
dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk
mendorong korban melaporkan adanya cyber crime.
Pendekatan yang
bersifat preventif yang menjadi agenda
PBB dalam upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan, sebagaimana sering juga
dikemukakan dalam kongres-kongres PBB mengenai “the prevention of crime and
the treatment of offenders”, yaitu :
a)
Pencegahan kejahatan dan
peradilan pidana janganlah diperlakukan/dilihat sebagai problem yang terisolir
dan ditangani dengan metode yang simplistik dan fragmentair, tetapi seyogianya
dilihat sebagai masalah yang lebih kompleks dan ditangani dengan kebijakan /
tindakan yang luas dan menyeluruh.
b)
Pencegahan kejahatan harus
didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan
timbulnya kejahatan. upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang
demikian harus merupakan “strategi pokok / mendasar dalam upaya pencegahan
kejahatan” (the basic crime prevention strategy).
c)
Penyebab utama dari
kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan
diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan
kebutahurufan (kebodohan) di antara golongan besar penduduk.
d) Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana seyogyanya
dipertimbangkan dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi, sistem politik,
nilai-nilai sosio kultural dan perubahan masyarakat, juga dalam hubungannya
dengan tata ekonomi dunia /internasional baru.
2. Upaya penanggulangan dalam lingkup Nasional. Selanjutnya dalam
lingkup nasional dengan pendekatan non penal Pemerintah Indonesia dapat
menggunakan beberapa pendekatan yang mungkin dapat dijadikan preventif terhadap
penyebaran kejahatan cyberporn di Indonesia yaitu:
a. Pendekatan Teknologi.
Sarana non penal dengan pendekatan
teknologi (techno prevention) merupakan langkah yang strategis mengingat
cyberporn merupakan bentuk kejahatan yang memanfaatkan teknologi, yaitu
dengan menyebarkan materi-materi pornografi melalui internet/dunia maya. Pada
prinsipnya untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh teknologi adalah
dengan teknologi pula. Internet sebagai media yang digunakan untuk penyebaran
pornografi, maka kebijakan utama yang harus diambil adalah pengaturan internet
itu sendiri. Ada beberapa sarana teknologi yang dapat digunakan untuk
meminimalisir akses cyberporn, diantaranya adalah :
1. Menerapkan proteksi internet. Banyak sekali proteksi gratis yang
bisa didownload dan diinstal ke personal computer (PC). Apabila
menggunakan Microsoft Internet Explorer, bukalah fitur proteksi built-in
lewat menu [Tools] [Internet Options] [Content] [Content Advisor]. Sistem
content advisor akan membaca tag khusus yang ada pada sebuah
halaman web, lantas akan mengidentifikasikannya.
2. Cari ISP (Internet Service Provider) yang aman. Di negara
maju banyak ISP yang menawarkan proteksi internet, termasuk di dalamnya
antivirus dan firewall. Keuntungannya adalah bisa mendapatkan perlindungan
menyeluruh beserta software update secara gratis.
3. Pengaman e-mail. Saat ini banyak spammer yang selalu
mengirimkan junk e-mail atau spam. Hal ini sangat berbahaya apabila isi
e-mail tersebut adalah pornografi. Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah
seperti yang ditawarkan KidsCom, berupa layanan web-based email yang
dijamin aman. Layanan ini akan membatasi masuknya email tak terdaftar ke
account Anda.
4. Pengaman dalam PC . Hal ini dilakukan dengan menginstal software
jenis web-filtering pada PC. Produk filter ini memiliki fitur yang bisa
disetel, sehingga dapat menyaring situs apa yang layak dikonsumsi.
b. Pendekatan Budaya/Kultural
Upaya preventif dengan pendekatan budaya/kultural pada
dasarnya merupakan penanggulangan dengan cara mengetahui dan mematuhi etika
dalam penggunaan internet, sehingga dapat menghindari penyalahgunaan dan dampak
negatifnya. Pendekatan ini merupakan salah satu kebijakan non penal dalam
Resolusi Kongres PBB VII/1990 mengenai computer related crimes, yang
menyatakan perlunya membangun/membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan
aparat penegak hukum terhadap masalah cyberporn dan
menyebarluaskan/mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media pendidikan.
Adanya pemahaman dan kepatuhan terhadap
etika berinternet ini sangatlah efektif dalam pencegahan konsumsi pornografi di
dunia maya. Berikut ini etika dalam penggunaan internet (cyber ethics),
yaitu (http//www.ParentNews Safety.com, cyber
ethics: 2013 :
1. Setiap orang harus bertanggungjawab terhadap perilaku sosial dan
hukum tatkala menggunakan internet.
2. Tidak seharusnya ikut serta dalam berbagai bentuk saiber yang
mengganggu.
3. Seharusnya tidak bercakap-cakap tentang satu apapun kepada orang
lain yang tidak dikenal di internet.
4. Mengcopy atau men-download program yang berhak cipta, games atau
musik tanpa ijin atau tanpa membayar adalah perbuatan Illegal.
5. Untuk menghindari plagiat ‘plagiatism’ penting untuk
memberikan kredit terhadap situs yang digunakan untuk riset.
6. Tidak ada penggemar pada komputer pribadi yang berkirim surat satu
sama lain atau saling membacanya.
7. Jangan pernah bermaksud menyebarkan virus computer.
8. Internet tidak bersifat pribadi dan apa yang anda lakukan atau
katakan akan kembali kepada anda.
Adanya etika internet ini hendaknya disosialisasikan oleh
Pemerintah, institusi pendidikan dan penyedia jasa internet, serta orang tua
kepada anak-anaknya dirumah. Sosialisasi ini meliputi masyarakat umum maupun
komunitas di dunia maya. Hal ini untuk menghindari masyarakat untuk mentabukan
internet, karena memandangnya sebagai media pornografi saja. Akibatnya manfaat
positif internet tidak digunakan dan masyarakat akan semakin gaptek (gagap
teknologi).
c. Pendekatan Moral/Edukatif
Kebijakan non penal
dengan pendekatan moral/edukatif sangatlah
dibutuhkan dalam penanggulangan cyberporn, bahkan dapat dikatakan bahwa
pendekatan ini sangat strategis apabila pendekatan teknologi dan etika kurang
efektif. Adanya penanaman pendidikan moral dan agama, pengetahuan akan dampak
negatif cyberporn dan semaksimal mungkin menutup potensi untuk mengakses
pornografi akan lebih dapat menumbuhkan kesadaran dari setiap orang untuk
menghindari pornografi, apapun jenis dan medianya (http://www.hukumonline.com : Des 2012)
d. Pendekatan Global
Internet sebagai ruang tanpa batas-batas teritorial antar negara
di dunia (transnasional), menunjukkan bahwa dunia maya ini dalam
pengaturan dan penanggulangan dampak negatifnya tidak mungkin dilakukan oleh
negara secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu diperlukan adanya pendekatan
global (kerjasama Internasional).
Adanya kebijakan global dalam kebijakan kriminal terlihat pada
berbagai pertemuan Internasional, terutama dalam laporan Kongres PBB mengenai “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (yang pada kongres
terakhir ke-XI/2005 diubah menjadi “Prevention of Crime and Criminal Justice”).
Berbagai hasil pertemuan Kongres PBB itu juga sering menghimbau untuk dilakukan
“pendekatan filosofik/kultural”, “pendekatan moral religius”, dan
“pendekatan humanis” yang diintegrasikan ke dalam pendekatan
rasional yang berorientasi pada kebijakan (“policy oriented
approach”). Indonesia dalam kebijakan kriminal penanggulangan cyberporn dapat
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai kebijakan global tersebut, termasuk
berperan aktif dalam berbagai forum-forum internasional yang membahas tentang
penanggulangan cybercrime. Pada tahun 2007 ini, Indonesia menjadi
panitia persiapan dan penyelenggara Forum Asia Pacific Regional Internet
Conference on Operational Technologies (APRICOT), yang merupakan konferensi
teknologi informasi tingkat Asia Pasifik (http://www.detikinet.com : 2013)
e. Pendekatan Ilmiah
Dalam perwujudan
suatu kebijakan yang rasional diperlukan
adanya kajian dan penelitian ilmiah. Oleh karena itu, upaya
penanggulangan cyberporn juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan
adanya pendekatan ilmiah, seperti
ada beberapa hasil penelitian, laporan dan karya ilmiah di Indonesia
maupun di negara-negara lain yang menunjukkan maraknya cyberporn dan
meningkatnya konsumsi pornografi internet serta dampak negatifnya.
Upaya proteksi
dini guna mengurangi penyebaran pornografi yang telah bertedar luas
dimasyarakat diantaranya :
1. Menanamkan moral dan etika yang dimulai dari
keluarga. Sebagai orang tua wajib untuk menanamkan moral dan etika bagi
anakanaknya. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi
anak-anak, untuk itu orangtua berkewajiban untuk mendidik, menngjarkan nilai-
nilai agama dan edukasi bagi anak-anaknya,sehingga mereka memiliki moral ,dan
mental yang kuat dan mantap untuk tidak mudah menerima tanpa menyaring terlebih
dahulu khususnya untuk hal-hal yang berbau pornografi yang sedang marak beredar
lewat berbagai media seperti handphone, internet, majalah, dan
VCD,.orangtua harus tanggap dan bisa mengontrol dengan baik segala fasilitas
yang diberikan kepada anak.Mengajarkan cara penggunaan teknologi ponsel,
internet secara bijak.
2. Kebijakan sensor yang dimulai dari masyarakat. Kebijakan sensor di
beberapa negara, justru dimulai dari masyarakat dan bukan dari pemerintah.
Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman yang lebih dahulu
mengenyam internet, ternyata lebih memilih internet dikembangkan secara self
regulating. Misalnya, yang dilakukan oleh Bertelsman Foundation yang
sudah meluncurkan ICRA Filter. ICRA Filter adalah software yang diluncurkan
oleh Internet Content Rating Association. Dengan software yang
diluncurkan tersebut, keluarga dan guru dapat melindungi anak-anak dan remaja
dalam pemanfaatan internet sebagaimana mestinya. Hendaknya pemerintah kita juga
dapat menerapkan kebijakan tersebut dimana pemerintah kita menjadi fasilitator
dalam penyediaan software dan masyarakat menjadi sensor yang sangat menentukan
ketika mereka berhadapan dengan dunia internet.
3. Pendidikan Seks Pada Remaja. Situasi maraknya pornografi sebagai
media yang menyesatkan hingga berimplikasi terhadap dekadensi moral,
kriminalitas, dan kekerasan seks yang dilakukan remaja, sesunguhnya bukan
sebuah kasus baru yang mengisi lembaran surat kabar ataupun media elektronik.
Kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak dikehendaki (KTD) pada remaja
dan sejenisnya, tampaknya masih belum banyak diangkat ke permukaan sehingga
"seolaholah" masalah ini dianggap "kasuistik" yang tidak
penting untuk dikaji lebih jauh. Padahal, timbulnya kasus-kasus seputar KTD
remaja, kekerasan seksual, penyakit menular seksual (PMS) pada remaja bahkan
sampai aborsi, tidak lepas dari (salah satunya) minimnya pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi remaja.
4. Pengembangan software tanpa harus membatasi aktifitas
masyarakat dalam mengakses informasi.
Mungkin yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mencari satu persepsi
yang sama bagaimana menyikapi pornografi internet itu sendiri. Berbagai jenis
software yang dikembangkan digunakan untuk meredam pornografi. Masyarakat di
sini lebih difokuskan pada pengguna internet selaku pihak yang langsung
berhadapan dengan objek tersebut. Pemerintah tidak lagi menjadi regulator,
melainkan beralih wujud menjadi fasilitator. Pemerintah tidak lagi mengontrol,
melainkan membatasi mana yang menjadi pokok perhatian dalam pornografi internet.
Selaku regulator, pemerintah cukup memberikan panduan bagi masyarakat,
khususnya pengguna internet. Terutama, dalam memberikan satu pendidikan bagi
masyarakat untuk menggunakan internet sebagaimana mestinya.
5. Peran Warung Internet (Jasa Layanan Internet) Dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Video Porno. Dalam persoalan pornografi di internet,
penggunaan sarana penal tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya
kemandegan dalam penafsiran unsurunsur dalam pasal tentang pornografi. Melihat
sarana penal yang tidak lagi efektif dalam pencegahan dan penanggulangan cyberporn
ini, maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan menggunakan sarana non
penal yaitu dengan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti
pengusaha warnet/jasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri.
Koordinasi ini sulit dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen
masyarakat tersebut. Pada satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari
internet (pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi
lain dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan
dan kebudayaan.
Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas
pornografi, maka harus ada kompromi di antara mereka. Masyarakat berkeinginan
agar pornografi di internet dapat ditekan sehingga dampak buruk yang muncul
tidak akan membahayakan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi
tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang
anaknya senang main internet dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik
warnet dan aparat penegak hukum. Meskipun dalam situs porno itu selalu ada
klausul yang menyebutkan “jika anda belum berusia 18 tahun maka anda dilarang
membuka lembar berikutnya”, tetapi larangan itu tidak berlaku karena
pengaksesnya dapat saja mengaku berusia lebih dari 18 tahun meskipun sebenarnya
ia berusia 15 tahun.
Jadi persoalannya tidak hanya terletak pada anggota masyarakat
yang merasa nilai-nilai kemasyarakatan dan religiusnya terganggu, pengusaha
atau pemilik warung internet yang merasa terancam keuntungannya, tetapi juga
kontrol diri dari si pengakses atau pengguna itu sendiri juga perlu dilibatkan.
Bagi para pemilik personal computer yang terhubung ke internet (dan juga
para warnet yang mampu untuk itu) ada beberapa software yang dapat
digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh dibuka oleh mereka
yang belum cukup umur. Software yang dimaksud bernama WBlokcer.
Selain software tersebut masih ada software lain yang juga bisa
digunakan yaitu Surf Watch, NetNanny dan Cyberpatrol.
6. Kerjasama pemerintah dengan instansi-instansi dan lembaga
pendidikan. Instansi-instansi dan lembaga pendidikan yang memasang wi-fi, harus
dibarengi dengan pemasangan firewall, sehingga semua konten tidak dapat
masuk, termasuk konten yang mengandung pornoaksi dan pornografi. Selain itu
juga sering melakuakn sidak terhadap ponsel dan memberikan sanksi yang tegas
dan menimbulkan efek jera.
7. Kampanye anti pornografi. Seiring dengan dikeluarkannya UU ITE oleh
pemerintah yang salah satu didalamnya mengatur tentang pembatasan transaksi
yang berhubungan dengan pornografi, maka hendaknya dibarengi dengan sosialisasi
dalam bentuk kampanye anti pornografi kepada masyarakat. Dalam kampanye
tersebut hendaknya juga di lakukan sosialisasi penggunaan internet yang sehat
kepada masyarakat.
8. Cyber Police. Pemerintah hendaknya membentuk sebuah unit kesatuan
khusus yang menangani masalah kejahatan di dunia maya, termasuk cyber porn.
Jika di dunia nyata polisi berpatroli di jalan raya, maka cyber police
berpatroli di dunia maya. Unit ini berupa tenaga teknis yang dibekali oleh
software khusus yang dapat mengawasi serta melindungi transaksi elektronik di
internet.
9. Pemerintah hendaknya konsisten terhadap peraturan dan kebijakan
yang telah dibuat. Setiap peraturan maupun kebijakan yang telah dikeluarkan
oleh pemerintahm untuk mengatasi maraknya penyebaran situs, video dan content
berbau pornografi, semuanya adalah baik, namun dengan konsistensi yang
diterapkan oleh pemerintah, maka penyebaran pornografi melalui berbagai media
akan dapat diminimalkan Pemerintah juga bisa menaikkan tarif sanksi bagi yang
melanggar peraturan tentang pornografi, sehingga dengan demikian masyarakat
akan berpikir panjang untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum karena
sanksi yang mereka bayarkan jumlahnya besar.
0 komentar:
Posting Komentar