Firman Allah yang artinya
"bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Apabila
pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan
seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya.
Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
- Apabila
ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak
perempuan.
- Apabila
bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami
atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah
ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada
dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak
perempuan satu bagian.
- Apabila
pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut
mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara
sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat
diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip
sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali
lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya)
"jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia
mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
- Adapun
bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka
sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal
terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup
keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Hukum bagian kedua orang tua.
Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam."
Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Ayah
dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal
mempunyai keturunan.
- Apabila
pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga
dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga
menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya
menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak
disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
- Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Utang orang yang meninggal lebih
didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir
wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun,
secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi,
utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan
wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan
Rasulullah saw.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan
Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal,
lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah mendahulukan pembayaran
utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena utang merupakan keharusan
yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun
sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang
mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan
menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu
amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang
yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa
manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT
mendahulukan penyebutannya.
Firman Allah (artinya)
"orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas
memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur
pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun
orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha
manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara
sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti
yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah
di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya
terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah
yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan
lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Firman Allah (artinya) "Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan
tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing
mempunyai dua cara pembagian.
- Apabila
seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami
mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
- Apabila
seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami
mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
- Apabila
seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka
bagian istri adalah seperempat.
- Apabila
seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri
mendapat bagian seperdelapan.
Hukum yang berkenaan dengan hak
waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Firman-Nya (artinya):
"Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara)
dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara
perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan
tidak pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain
ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh
ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak
waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan
yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini,
bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya
banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara
rata.
Sementara itu, ayat akhir surat
an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian, mendapat separo
harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per
tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan
dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk
meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara
kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan nasab--
dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar
dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian
kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu',
sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki
pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
- Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
- Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya
[tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama
besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian
saudara perempuan.
Makna
Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah
seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan kata
lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata
al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla
ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa
kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak
memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata:
"Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini
benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun
bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas
dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal
yang tidak mempunyai ayah dan anak. "
Firman Allah (artinya)
"sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya
dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut
menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung
kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai
wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk
menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud
berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal
sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat
menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib
dilaksanakan.
Hukum
Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman Allah SWT dalam surat
an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian saudara
kandung atau saudara seayah.
- Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
- Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
- Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
- Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
0 komentar:
Posting Komentar