PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF MENURUT PARA AHLI

a.       Paradigma dalam penelitian kuantitatif
Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17), Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian dianggap sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian serta mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief system of positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a reality out there, driven by immutable the natural laws.” Intinya sistem keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang tetap.
Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba (1990:20) sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is conventionally summarized in the form of time  and context-free generalizations. Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk hukum sebab-akibat.
“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the enquirer to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the outcomes.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are studied in advance in propositional term and subjected to empirical tests (falsification) under carefully controlled conditions.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian.

b.   Paradigma dalam penelitian kualitatif
Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post Positivisme, dan Teori Kritis
a)      Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan “Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology      : “Relativist – Realities exist in the form of multiple mental constructions, socially and experientially based local and specific, dependent for their form and content on the persons who hold them.”
Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya.”
Epistomogy  : “Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single (monistic) entity. Findings are literally the creation of the process of interaction between the two.”
Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara peneliti dan yang diteliti.”
Methodology: “Hermeneutic – dialectic – individual constructions are elicited and refined hermeneutically, with the aim of generating one (or a few) constructions on which there is substantisl consensus.”
Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual dinyatakan  dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial disepakati”


b)      Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to be the aim.”
Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
Ontology  : “Critical realist – reality exist but can never be fully apprehended. It is driven by natural laws that can be only incompletely understood.”
Asumsi ontologi: “Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.”
Epistomology: “Modified objectivist – objectivity remains a regulatory ideal, but it can only be approximated with special emphasis placed on external guardians such as the critical tradition and critical community.”
Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
Methodology: “Modified experimental/manipulative – emphasize critical multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural settings, using more qualitative methods, depending more on grounded theory, and reintroducing discovery into the inqury process.”
Asumsi metodologi: “Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”

c)      Teori Kritis (Critical Theory)
Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai berikut: “The label critical theory is no doubt inadequate to encompass all the alternatives that can be swept into this category of paradigm. A more appropriate label would be “ideologically oriented inquiry”, including neo-Marxism, materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and other similar movements as well as critical theory itself. These perspectives are properly placed together, however because they converge in rejecting the claim of value freedom made by positivists (and largely continuing to be made by postpositivists).”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Nama teori kritis tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme, feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang lain termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum Postpositivis).”
Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan Guba, Denzin dan Lincoln menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory) sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory inquiry, dan paham-paham yang setara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang berorientasi pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme, Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum Positivis dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari realitas tersebut.
Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology : “Critical realist, as in the case of postpositivism.”Artinya ontologi: “bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”
Epistomology : “Subjectivist, in the sense that values mediate inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-nilai menjadi mediasi penelitian.”
Methodology: “Dialogic, transformastive; eliminate false consciousness and energize and facilitate transformation.” Artinya metodologi: “dialogis, transformatif; mengeliminasi kesadaran palsu dan membangkitkan dan memasilitasi transformasi.”
Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi dari paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma, 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger