Pengertian, Karakteristik, dan Ruang Lingkup Sosiologi

Secara terminologi ‘sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’ dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’. Sedangkan ‘logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian secara harfiah istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Spencer dan Inkeles, 1982:4; Abdulsyani, 1987: 1).

Oleh karena itu sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang masyarakat maka cakupannya sangat luas, dan cukup sulit untuk merumuskan suatu definisi yang mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Dengan kata lain suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja.

Untuk sekedar pegangan sementara tersebut, di bawah ini diberikan beberapa definisi sosiologi, sebagai berikut:
Pertama; Pitirim Sorokin (1928: 760-761) mengemukakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang: hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejalagejala sosial (contoh: antara gejala ekonomi dengan non-ekonomi seperti agama, gejala keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan sebagainya.
Kedua; William Ogburn dan Meyer F Nimkoff (1959: 12-13) berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
Ketiga; Roucek dan Warren (1962: 3) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu tentang hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompoknya.
Keempat; J.A.A. van Doorn dan C.J. Lammers (1964: 24) mengemukakan bahwa sosiologi ilmu tentang strukturstruktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
Kelima; Meta Spencer dan Alex Inkeles (1982: 4) mengemukakan bahwa sosiologi ilmu tentang kelompok hidup manusia.
Keenam; David Popenoe (1983:107-108) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu tentang interaksi manusia dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Ketujuh; Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1982: 14) menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Selanjutnya menurut mereka bahwa struktur sosial keseluruhan jalinan abtara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan sosial.

Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, kehidupan hukum dengan agama, dan sebagainya.

 Dengan demikian dalam buku ini sosiologi dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial.

Pada umumnya sosiologi berkonsentrasi pada pemecahan masalah, tetapi kemunculan ilmu sosial ini dimaksudkan untuk membuat manusia sebagai mahluk rasional ikut aktif ambil bagian dalam gerakan sejarah, suatu gerakan yang diyakini memperlihatkan arah dan logika yang belum diungkapkan oleh manusia. Karena itu sosiologi dapat membuat manusia merasa seperti di rumah sendiri di dunia yang asing lebih mampu mengendalikan diri mereka sendiri dan secara kolektif dan tidak langsung kondisi tempat mereka harus beraktivitas.

Dengan kata lain sosiologi diharapkan akan menemukan kecenderungan histories dari masyarakat modern, dan memodifikasinya. Sosiologi membantu perkembangan dan mengatur proses pemahaman yang mendasar dan spontan. Juga sejak dari awal sosiologi mengasumsikan bahwa tidak semua transformasi modern itu bermanfaat atau diharapkan.

Karena itu sosiologi harus memberi peringatan kepada publik di semua lapisan, khususnya di tingkat pembuat kebijakan, tentang adanya bahaya yang tersembunyi di balik proses yang tidak terkendali. Sosiologi juga harus memberikan jalan keluar untuk mencegah terjadinya proses yang tidak diinginkan tersebut, atau mengusulkan cara untuk memperbaiki kerusakan. Para pendiri dan penerus disiplin ilmu yang baru ini setuju dengan pandangan tersebut di atas, walaupun mungkin mereka berbeda dalam penafsiran tentang ciri-ciri krusial dan faktor-faktor utama dari trend historis yang harus dipahami.

Auguste Comte (1798-1857) mengidentifikasi kekuatan penggerak sejarah dalam kemajuan pengetahuan ilmiah dalam “semangat positivisme”.

Herbert Spencer (1820-1903) membayangkan perjalanan masyarakat menuju tahap “industri” yang damai, di mana tersedia banyak hasil produksi untuk didistribusikan. Ia meramalkan kemajuan yang berkelanjutan menuju masyarakat yang semakin kompleks, bersamaan dengan bangkitnyaotonomi dan diferensiasi individu.

Karl Marx (1818-1883) memperkirakan pada akhirnya muncul kontrol progresif terhadap alam di dalam emansipasi penuh dari masyarakat untuk menghindari kesengsaraan dan perselisihan (konflik) yang akan mengakhiri alienasi produk dari produsennya serta mengakhiri transformasi produk produk tersebut menjadi modal yang dipakai untuk memperbudak dan mengambil alih produsen, dan pada akhirnya akan terselsaikan semua bentuk eksploitasi.

Ferdinand Tonnies (1855-1936) memperkirakan pergantian sejarah, di mana Gemainschaft jaringan ikatan parsial, impersonal, mempunyai tujuan tertentu, dan kontraktualE.

mile Durkheim (1855-1917) memfokuskan analisisnya pada trend historis atas pembagian progresif dari tenaga kerja, dan karena itu akan bertambahnya kompleksitas sosial secara keseluruhan. Ia mengajukan sebuah model masyarakat yang diintegrasikan, pertama melalui solidaritas “mekanik” dari segmen yang sama kemudian melalui solidaritas “organik” dari kelas dan golongan yang berbeda-beda namun saling ketergantungan satu sama lain.

Max Weber (1864-1920) menghadirkan modernitas terutama dari sudut pandang rasionalisasi semua bidang kehidupan sosial, pikiran dan kebudayaan. Dan semakin banyaknya tindakan yang dilakukan berdasarkan kalkulasi rencana serta mengabaikan tindakan irasional maupun berdasarkan aturan adat-istiadat.

George Simmel (1859-1918) menekankan pergerakan dari hubungan kualitatif dan terdiferensiasi kearah hubungan kuantitatif yang seragam. Menggarisbawahi peran baru yang semakin meningkat yang dimainkan oleh kekuatan yang semakin universal dan mandiri. Contohnya yang paling baik adalah institusi keuangan dan aliran pemikiran kategoris abstrak (Bauman, 2000: 1028).

Apabila dahulu sosiologi terutama berhubungan dengan semua aspek stabilitas, repoduksi diri dan perulangan, di mana dengan jalan atau cara mengamankan semua aspek tersebut (perhatian utama dari “teori sistem” Talcot Parsons yang pernah dominan dan menarik perhatian dari fungsionalisme struktural), maka kini perhatian beralih kepada studi inovasi. Dipahami bahwa setiap tindakan adalah semacam kerja kreatif, meskipun pemahaman ini selalu mengambil penjelasan dari pola-pola yang telah ada dan bermakna. Penekanan juga telah jauh bergeser dari penelitian hukum dan keteraturan lainnya ke tindakan yang lebih dinamis. Tindakan tidak lagi dianggap sebagai kepastian, tetapi lebih sebagai kemungkinan, setiap tindakan adalah kreasi yang unik, dan karena itu sebenarnya tidak dapat diprediksi.

Keraguan juga ditujukan kepada nilai prediktif dari statistik. Diakui bahwa sebagian besar fenomena yang sering terjadi tidak selalu merepresentasikan trend masa depan. Akibatnya, tampak tidaknya ada kriteria yang jelas untuk mengantisipasi konsekuensi dari kejadian, dampak dan durabitlitasnya. Oleh karena itu untuk menilai signifikansinya, hal ini pada gilirannya mengakibatkan erosi obyek atau daerah studi sosiologi yang pernah menjadi pusat perhatian dan bersifat khusus. Karena sosiologi tidak lagi berhubungan dengan “konflik dasar”, “hubungan utama”, atau “proses yang mengarahkan”, maka tidak jelas mengapa beberapa topik tertentu, aktor atau peristiwa harus diberikan prioritas oleh para sosiolog.

Perhatian para sosiolog bergeser dari ruang kendali (dari isu-isu seperti dampak negara, dominasi kelas, dan sebagainya), ke interaksi sehari-hari dan mendasar, ke tingkat akar rumput dari realitas, ke apa yang aktor lakukan satu sama lain dan kepada mereka sendiri, di dalam konteks interaksi langsung. Di bawah pengaruh argumen Alfred Schutz yang menyatakan bahwa “dunia di dalam jangkauan” memberikan arketip untuk para aktor suatu model dari semua “kesemestaan makna” yang lain (Schutz, 1982), diasumsikan bahwa keahlian dan pengetahuan yang esensial secara reflektif atau tidak, yang disebabkan oleh para aktor di dalam kehidupan sehari-hari mereka, pada akhirnya bertanggung-jawab atas apa yang dianggap trend global dan impersonal atau bertahannya struktur obyektif (Bauman, 2000:1030).

Kalau saja dahulu ketika para aktor dianggap mempunyai banyak pengetahuan dan dalam prinsipnya mudah untuk memonitor diri sendiri, maka tugas utama investigasi sosiologis berubah menjadi rekonstruksi pengetahuan mereka. Hal ini secara dramatis mengubah peran yang selama ini dianggap masuk akal di dalam diskursus sosiologi, yang pada awalnya dianggap interpretasi alternatif yang lemah informasinya, dan secara esensial keliru khususnya terhadap realitas sosial kini menjadi sumber utama bagi interpretasi sosilogi.

Ilmu sosiologi sampai pada derajat yang belum pernah terjadi sebelumnya, kini menerima pandangan hermeneutika (Gadamer, 1960; Ricoeur: 1981) seperti yang digagas oleh Dilthey dan Weber dengan konsep verstehen-nya menekankan bahwa realitas sosial secara intrinsik adalah bermakna (diberi makna oleh aktor yang memproduksinya), dan bahwa untuk memahami realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang diberikan oleh aktor tersebut. Hal ini tidak selalu berarti bahwa para sosiolog harus berusaha sampai empati untuk menemukan apa yang sedang dipikirkan para aktor.

Para ahli sosiologi masih cenderung menyangkal bahwa para aktor selalu merupakan penilai interpretasi sosiologis yang paling baik. Namun demikian pendekatan hermeneutika bukan berarti bahwa penjelasan atau penafsiran realitas sosial harus memperlakukan aktor sebagai pengendali makna dan pencipta makna, daripada sebagai orang yang didorong dan ditarik oleh desakan dan kekuatan yang secara obyektif dapat digambarkan. Kecenderungan lain yang berhubungan erat adalah perpindahan dalam keterkaitan dari koersi dan desakan eksternal ke konstruksi diri dan definisi diri dari aktor.

Tindakan menjadi bermakna, aktor mempunyai pengetahuan secara konstan merefleksikan identitas dan motif-motif tindakan mereka. Dapat dikatakan bahwa jika manusia dipandang oleh sosiologi ortodoks terutama dikendalikan oleh kebutuhan dan sasaran dari kekuatan sosial, maka mereka kini cenderung lebih sering ditafsirkan adanya pengendalian oleh identitas subyek yang termotivasi dan mempunyai pilihan sendiri. Trend yang paling umum adalah mengesampingkan organisasi-organisasi sosial untuk mencari pemicu tindakan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian ahli sosiologi kontemporer lebih memberikan perhatian kepada komunitas (community) dengan mengorbankan masyarakat (society) demi tujuan praktis, identik dengan negara bangsa. Dalam selang waktu yang cukup lama, para sosiolog percaya bahwa komunitas adalah peninggalan dari masa pramodern, yang ditakdirkan lenyap seiring dengan berjalannya modernisasi.

Kini posisinya dikembalikan ke posisi utama dalam analisis sosiologis, dan dianggap sebagai sumber tertinggi dari makna yang dipunyai aktor serta dari realitas sosial sendiri. Komunitas tersebut dianggap sebagai penyangga tradisi yang dipertahankan dan diciptakan kembali oleh tindakan-tindakan dari para anggotanya; menjadi sumber utama dari semua komunitas umum (commonality) yang dijumpai dalam makna para aktor. Di mana mereka menjadi point referensi dalam proses para aktor mendefinisikan diri mereka sendiri serta membentuk identitasnya. Berbeda dengan “masyarakat” yang diidentikan dengan negara-bangsa, komunitas tidak memiliki batas-batas obyektif batas-batas yang dijaga oleh kekuatan koersif. Sebab komunitas adalah cair, begitu-pun kekuatan yang mencengkram para anggotanya mungkin juga beragam bentuknya (cengkraman itu tidak lain adalah intensitas dari identifikasi emosional para aktor dengan apa yang mereka rasakan, atau bayangkan, sebagai komunitas). Sebaliknya, para sosiolog beranggapan bahwa komunitas adalah imagined (yang dibayangakan).

Sebagaimana pandangan dalam sosiolog kontemporer, komunitas adalah seauatu yang dipostulatkan postulat tersebut menjadi kenyataan ketika tindakan dilakukan seolah-olah tindakan tersebut adalah realitas. Karena itu ada sifat saling mempengaruhi yang konstan antara aktor dan komunitas “mereka” yang tidak diberi prioritas di dalam analisis sosiologi (Bauman, 2000: 1030).

Sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis /suku bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya, bisnis dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hunt, 1991: 4).

Sosiologi juga mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya. Dengan demikian sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses-proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.

Kemudian jika ditelaah lebih lanjut, tentang karakteristik sosiologi itu menurut Soekanto (1986: 17) mencakup:

  • Pertama; sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial, bukan merupakan bagian ilmu pengetahuan alam maupun ilmu kerokhanian. Pembedaan tersebut bukan semata-mata perbedaan metode, namun menyangkut pembedaan substansi, yang kegunaannya untuk membedakan ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejalagejala kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi dan lain-lain ilmu pengetahuan alam yang kita kenal. Selain itu juga dapat dipahami karena kajian sosiologi sangat luas yakni tentang masyarakat (interaksi sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial). 



  • Kedua; sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif, melainkan suatu disiplin yang bersifat kategoris; artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, dan bukan mengenai apa yang semestinya terjadi atau seharusnya terjadi. Dengan demikian sosiologi dapat dikategorikan sebagai ”ilmu murni” (pure science), dan bukan merupakan ilmu terapan (applied science). Sebagai ”ilmu murni” (pure science) sosiologi bukan disiplin yang normatif. Artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, serta bukan mengenai apa yang terjadi seharusnya terjadi. Di sini berarti sosiiologi tidak menetapkan kearah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. 


Dengan demikian dalam sosiologi tidak menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah. Tentu saja berbeda dengan ”ilmu terapan” (applied science) yang bertujuan untuk mempergunakan dan menetapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat, contohnya ilmu pendidikan. Ketiga; sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum (nomotetik). Berbeda dengan sejarah misalnya (lebih banyak meneliti dan mencari pola-pola khusus atau ideografik) yang menekankan tentang keunikan sesuatu yang dikaji.

Dalam arti bahwa sosiologi mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum dari interaksi antar manusia individu maupun kelompok dan perihal sifat hakikat, bentuk, isi serta struktur maupun proses dari masyarakat manusia, dan; Keempat: Sosiologi merupakan ilmu sosial yang empiris, faktual, dan rasional. Dakam istilah Spencer dan Inkeles (1982: 4) dan Popenoe (1983: 5) mereka menyebutnya “the science of the obvious” atau “jelas nyata”. Kelima; sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan tentang ilmu pengetahuan yang konkrit. Artinya bahwa bahan kajian yang diperhatikan dalam sosiologi adalah bentuk-bentuk dan pola-pola peristiwa-peristiwa dalam masyarakat, dan bukan wujudnya tentang masyarakat yang konkrit. Keenam; sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menghasilkan pengertianpengertian dan pola-pola umum. Karena dalam sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum daripada interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur dari masyarakat.

Sebagai ilmu pengetahuan yang umum, dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus, maka dalam sosiologi mempelajari gejala umum yang ada pada interaksi manusia. Sosiologi sebagai ilmu yang memfokuskan pada kajian pola-pola interaksi manusia, dalam perkembangannya seringkali lebih banyak dihubungkan dengan kebangkitan modernitas. Menurut Zygmunt Bauman (2000: 1023) keterkaitan tersebut didasarkan beberapa alasan: Pertama, mungkin satu-satunya denominator umum dari sejumlah besar mazhab pemikiran dan strategi riset yang mengklaim mengandung sumber sosiologis adalah fokusnya pada masyarakat. Fokus tersebut dapat mengambil salah satu dari dua bentuk. Beberapa sosilog mengambil pembahasan mengenai struktur dan proses yang dapat dianggap sebagai atribut “totalitas”.

Sarjana lainnya lebih menitikberatkan perbedaan yang dibuat untuk kondisi dan perilaku individu dan kelompok individu berdasarkan fakta bahwa mereka ini membentuk bagian dari totalitas tersebut yang dinamakan “masyarakat”. Tetapi masyarakat yang dipahami sebagai wadah supra-individu dan mendorong atau membatasi tindakan individu yang dapat dilihat secara langsung, merupakan ciptaan zaman modern yang berbeda dengan mayrakat masa lalu. Di dalam masyarakat modern, tindakan cenderung mengambil bentuk mode perilaku yang terkondisikan dan karena itu ada kemungkinan untuk diprediksi. Tetapi karena masyarakat adalah the rule of nobody, tanpa alamat yang pasti, maka mekanisme-mekanisme yang mendasari pengkondisian ini menjadi sulit untuk dibuktikan Mekanisme-mekanisme tersebut tidak terwakili dalam kesadaran aktor yang perilakunya dibentuk oleh mekanisme itu sendiri.

Untuk memahaminya maka mekanisme tersebut harus ditemukan terlebih dahulu. Baru setelah statistika berkembang dalam sosiologi, hal ini dimungkinkan untuk memisahkan masyarakat sebagai obyek studi otonom, sebagai entitas yang berbeda dari individu, tindakan yang termotivasi, karena statistik dapat memberikan represntasi tunggal dari tindakan massa (Bauman, 2000: 1025). Kedua, fenomena modern lainnya yang khas adalah ketegangan konstan antar manusia yang muncul dari latar belakang tradisional dan komunal, yang berubah menjadi “individu: dan menjadi subyek tindakan otonom, serta “masyarakat” yang dialami sebagai batasan sehari-hari terhadap tindakan dari keinginan individu. Paradoksnya adalah bahwa individu modern tidak dapat sepenuhnya merasa nyaman dan betah tinggal dengan masyarakat, sedangkan ia sebagai individu juga tidak dapat berada di luar masyarakat. Akibatnya studi tentang masyarakat dan ketegangan antar kapasitasnya, baik itu untuk menghalangi atau memberdayakan, telah didorong oleh dua kepentingan yang meskipun berkaitan namun berbeda satu sama lain, dan pada prinsipnya bertentangan satu sama lain dalam aplikasi praktis serta konsekuensinya. Di satu pihak ia ada kepentingan untuk memanipulasi kondisi sosial sedemikian rupa guna mendapatkan perilaku yang lebih seragam seperti yang dinginkan oleh pihak yang berkuasa. Persoalan utama di sini adalah masalah “disiplin”, yaitu memaksa agar berperilaku dalam cara tertentu meskipun mereka tidak sepakat, atau bahkan menolak terhadap pihak-pihak pemegang kendali. Di pihak lain, ia ada kepentingan untuk memahami mekanaisme regulasi sosial sehingga secara ideal, kapasitas pemberdayaan mereka dapat digunakan maupun ditolak dalam upaya penyeragaman tersebut. Ambivalensi yang melekat dalam kondisi manusia modern, kondisi ini bisa membatasi atau memberdayakan secara simultan, direfleksikan dalam definisi diri sosiologi sebagai studi ilmiah tentang masyarakat dan tentang aspek kehidupan manusia yang diambil dari “kehidupan di dalam masyarakat”. Model teoretis dari masyarakat yang dibentuk oleh sosiologi seringkali menghadirkan pandangan dari atas, seolah-olah sosiologi berada di ruang kendali. Masyarakat dianggap sebagai obyek rekayasa sosial sedangkan “problem sosial” digambarkan sebagai masalah administrasi belaka, yang mesti diselesaikan dengan aturan hukum dan penyebaran kembali sumber-sumber daya. Di pihak lain, sosiologi mau tak mau harus merespon ”kemarahan” karena penindasan yang terkandung di dalam rekayasa sosial. Inilah mengapa di sepanjang sejarahnya sosiologi telah menimbulkan kritik dari kedua belah pihak yang bertentangan dalam politik.

Pemegang kekuasaan akan menuduh sosiologi merelatifkan tatanan yang mereka janjikan akan ditingkatkan dan dipertahankan, dan karena itu melemahkan kekuasaan mereka serta memicu kerusuhan dan subversi. Sedangkan rakyat yang mempertahankan cara hidup mereka atau cita-cita mereka, akan menuduh bahwa sosiologi bertindak sebagai penasihat dari lawan mereka. Intensitas dari tuduhan-tuduhan tersebut tidak banyak merefleksikan pernyataan-pernyataan sosiologi sebagai pernyataan konflik sosial di mana berdasarkan hakikat kerjanya sosiologi tidak mungkin lepas dari masalah tersebut.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger