Penggugur hak waris seseorang
maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal
ini ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai
budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab
segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik
budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan
merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan
perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua
belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi
dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris
membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak
mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh
berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi
tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang
sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan
bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha
tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa
pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang
wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat
menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain
itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab
Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak
waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman
rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam
pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat
mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan
Agama
Seorang muslim tidak dapat
mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini
telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang
muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim."
(Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat
demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat
sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang
mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh
mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu
walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang
menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang
yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini
ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama,
karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama
terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat
mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i,
dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti
telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah
menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya,
bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi,
seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan
kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta
peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim."
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis, pendapat ulama
mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta
warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal.
Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara
rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Perbedaan
antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus
antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan
sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya
jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke
dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya,
seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah
mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris
disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat
kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau
saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka
kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang
lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya
dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara
kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan
istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran
tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia
dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak
kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri
mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak
memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi
hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak
mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja
anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan
saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang
mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8,
menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara
kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli
waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
0 komentar:
Posting Komentar