Urgensi Pendidikan Karakter (1)

Pembentukan karakter pada setiap peserta didik merupakan tujuan dari pendidikan nasional, sesuai dengan Pasal I Undang-undang Sidiknas tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Pesan dari Undang-undang Sidiknas tahun 2003 tersebut bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang pandai, tetapi juga memiliki keperibadian atau berkarakter, sehingga nantinya lahir generasi bangsa yang tidak hanya memiliki kemampuan aspek pengetahuan yang baik, namun memiliki generasi yang berkembang dengan karakter yang bernafaskan moral yang baik, nilai-nilai luhur bangsa serta beragama.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan budi pekerti yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), sikap perasaan (affection felling), dan tindakan. Menurut Thomas Likona dalam Bambang Soenarko tanpa ketiga aspek tersebut, pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang peserta didik akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting menyongsong anak dalam meraih masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), sesuai dengan usia anak sekolah dasar menurut Piaget pada tahap operasional kongkrit. karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga dan sekolah, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Menurut Suyanto pertumbuhan kecerdasan otak manusia yang paling besar terjadi pada masa anak-anak.

Menurut Menteri Pendidikan Indonesia Muhammad Nur karakter seseorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku berkarakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spritual Quotient (SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidiq, amanah, fathonah, dan tablig. Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Adapun menurut teori sosial, seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan intra personal, dan hubungan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.

Perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik Keempat proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa) tersebut secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur.

Masing-masing proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan olahrasa dan karsa) secara konseptual dapat diperlakukan sebagai suatu klaster atau gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti juga sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak. Pengelompokan nilai tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam proses intervensi (pembelajaran, pemodelan, dan penguatan) dan proses habituasi (pensuasanaan, pembiasaan, dan penguatan) dan pada akhirnya menjadi karakter, keempat kluster nilai luhur tersebut akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger