Asuransi
syariah merupakan salah satu intrumen transaksi, yang secara sistem operasional
disesuaikan dengan syariah Islam. Sehingga akad, mekanisme pengelolaan dana,
mekanisme operasional perusahaan, budaya perusahaan (shariah corporate
culture), marketing, produk dsb harus sesuai dengan syariah. Namun yang perlu
digaris bawahi juga adalah, bahwa asuransi syariah tidak semata-mata harus menjalankan
sistem operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Namun lebih dari
itu, ia juga harus mengimplementasikan suatu nilai yang menjadi “jantung” dari
prinsip-prinsip syariah.
Berpegang
pada nilai-nilai ini sangat penting. Karena nilai-nilai inilah sesusungguhnya
yang merupakan ruh dari sistem operasional yang dilakukan secara syariah.
Hilangnya nilai-nilai ini akan berdampak pada hiilangnya “ruh” dari syariah.
Sebagai contoh dalam aspek hubungan mudharabah, dimana terdapat dua pihak ;
shahibul maal (pemilik modal), dan mudharib (pengusaha). Shahibul maal meminta
kepada mudharib untuk mengelola dananya, namun dengan syarat bahwa nisbah bagi
hasil yang akan dihasilkan dibagi dua 90% untuk shahibul maal dan 10% untuk
mudharib. Secara fiqh, akad mudharabah yang dilakukan oleh kedua belah pihak di
atas adalah sah. Karena telah memenuhi semua rukun dan syarat akad mudharabah.
Namun secara “nilai”, akad tersebut cacat karena tidak memberikan porsi
keadilan bagi mudharib. Mudharib hanya mendapatkan keuntungan 10% sementara
shahibul maal 90%. Untuk itulah, dalam menjalankan usaha asuransi syariah, juga
sangat diperlukan tegaknya nilai-nilai syariah, agar operasional asuransi
syariah benar-benar mencerminkan ruh syariah yang sesungguhnya. Berikut adalah 10
nilai yang mendasar dalam pengelolaan asuransi syariah, yaitu :
1.
Prinsip Tauhid
Tauhid
merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap
muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas
kehidupannya, tidak terkecuali dalam bermuamalah (baca ; berasuransi
syariah). Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah
berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam
berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap
peluang pasar yang sedang cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan
awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia asuransi.
Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk
bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan
bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan
demikian, maka nilai tauhid terimplementasikan pada industri asuransi
syariah. Allah SWT berfirman :
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51 :
56)
Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam
pengimplementasian asuransi syariah adalah prinsip keadilan. Artinya bahwa
asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola
hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan
asuransi syariah, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi
syariah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan
atau merugikan nasabah.
Ditinjau dari sisi asuransi sebagai sebuah
perusahaan, potensi untuk melakukan ketidak adilan sangatlah besar. Seperti
adanya unsur dana hangus (pada saving produk), dimana nasabah yang sudah ikut
asuransi (misalnya asuransi pendidikan) dengan periode tertentu, namun karena
suatu hal ia membatalkan kepesertaannya di tengah jalan. Pada asuransi syariah,
dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus
dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya. Bahkan
terkadang asuransi syariah merasa kebingungan ketika terdapat dana-dana saving
nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi,
lalu tidak mengambil dananya tersebut kendatipun telah dhubungi baik melalui surat maupun melalui
media lainnya. Mau dikemanakan dana ini? Karena dana tersebut bukanlah milik
asuransi syariah, namun milik nasabah. Namun telah bertahun-tahun diberitahu atau
dihubungi, nasabah bersangkutan tidak juga mengambilnya. Hal ini tentu berbeda
dengan asuransi pada umumnya. Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/ 5 :
08)
Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat
penting dalam operasional asuransi syariah. Karena pada hekekatnya, konsep
asuransi syariah didasarkan pada prinsip ini. Dimana sesama peserta bertabarru’
atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah
tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah, peserta berderma hanya
kepada sesama peserta saja. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai
pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau
mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee)
atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan
dengan pembayaran kontribusi (premi). Perusahaan asuransi syariah
mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara syariah) lalu
kemudia dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan
konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan
saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka.
Allah SWT berfirman :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا
عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan
bertolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian
bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah : 2)
Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin
kerjasama, tergantung dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharabah
musytarakah (nanti akan dijelaskan tersendiri mengenai akad ini dalam
pembahasan khusus akad), terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai
shahibul maal (pemilik modal) sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai
mudharib (pengelola/ pengusaha). Apabila dari dana tersebut terdapat
keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya
40% untuk perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama
terjalin dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, demikian juga
perusahaan asuransi syariah menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka
akan terjalin pola hubungan kerjasama yang baik pula, yang insya Allah akan
membawa keberkahan pada kedua belah pihak.
5. Prinsip Amanah
Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting. Karena
pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam mengelola
dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek resiko yang
menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam artian mengada-ada sesuatu
sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang tentunya akan berakibat
pada ruginya para peserta yang lainnya. Perusahaan pun juga demikian,
tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang berdampak pada ruginya
nasabah. Dan transaksi yang amanah, akan membawa pelakunya mendapatkan surga.
Rasulullah SAW bersabda :
التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ اْلأَمِيْنُ مَعَ النَّبَيِّيْنَ
وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاء (رواه الترمذي)
Seorang
pebisnis yang jujur lagi amanah, (kelak akan dikumpulkan di akhirat) bersama
para nabi, shiddiqin dan syuhada’. (HR. Turmudzi)
Dalam transaksi apapun, aspek an taradhin
atau saling meridhai harus selalu menyertai. Nasabah ridha dananya
dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan profesional. Dan
perusahaan asuransi syariah ridha terahdap amanah yang diembankan nasabah dalam
mengelola kontribusi (premi) mereka. Demikian juga nasabah ridha dananya
dialokasikan untuk nasbah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, untuk
meringankan beban penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah
menjadikan saling tolong menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena
semuanya menolong dengan ikhlas dan ridha, bekerjasama dengan ikhlas dan ridha,
serta bertransaksi dengan ikhlas dan ridha pula.
7. Prinsip Menghindari Riba
Riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari
sejauh-jauhnya khususnya dalam berasuransi. Karena riba merupakan
sebatil-batilnya transaksi muamalah. Tingkatan dosa paling kecil dari riba
adalah ibarat berzina dengan ibu kandungnya sendiri (baca dahsyatnya dosa-dosa
riba, dalam blog ini). Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah, harus
diinvestasikan pada investasi yang sesuai dengan syariah dan sudah jelas
kehalalannya. Demikian juga dengan sistem operasional asuransi syariah juga
harus menerapakan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad
tabarru’, sehingga menghilangkan unsur riba pada pemberian manfaat asuransi
syariah (klaim) kepada nasabah.
8. Prinsip Menghindari Maisir.
Asuransi jika dikelola secara konvensional akan memunculkan
unsur maisir (gambling). Karena seorang nasabah bisa jadi membayar premi hingga
belasan kali namun tidak pernah klaim. Di sisi yang lain terdapat nasabah yang
baru satu kali membayar premi lalu klaim. Hal ini terjadi, karena konsep dasar
yang digunakan dalam asuransi konvensional adalah konsep transfer of risk.
Dimana perusahaan asuransi konvensional ketika menerima premi, otomatis premi
tersebut menjadi milik perusahaan, dan ketika membayar klaim pun adalah dari
rekening perusahaan. Sehingga perusahaan bisa untung besara (makala premi
banyak dan klaim sedikit), atau bisa rugi banyak (ketika premi sedikit dan
klaimnya banyak).
9. Prinsip Menghindari Gharar
Gharar adalah ketidakjelasan. Dan berbicara mengenai
resiko, adalah berbicara tentang ketidak jelasan. Karena resiko bisa terjadi
bisa tidak. Dan dalam syariat Islam, kita tidak diperbolehkan bertransaksi yang
menyangkut aspek ketidak jelasan. Dalam asuransi (konvensional), peserta tidak
mengetahui apakah ia mendapatkan klaim atau tidak? Karena klaim sangat
bergantung pada resiko yang menimpanya. Jika ada resiko, maka ia akan dapat
klaim, namun jika tidak maka ia tidak mendapakan klaim. Hal seperti ini menjadi
gharar adanya, karena akad atau konsep yang digunakan adalah transfer of risk.
Sedangkan jika menggunakan aspek sharing of risk, ketidak jelasan tadi tidak
menjadi gharar. Namun menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai, yang apabila
terjadi sesama nasabah akan saling bantu membantu terhadap peserta lainnya yang
tertimpa musibah, yang diambil dari dana tabarru’ yang dikelola oleh perusahaan
asuransi syariah (bukan dari dana perusahaan).
10. Prinsip Menghindari Risywah
Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah
maupun pihak nasabah harus menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari aspek risywah
(sogok menyogok atau suap menyuap). Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan
menguntungkan satu pihak, dan pasti akan ada pihak lain yang dirugikan. Nasabah
umpamanya tidak boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaaat
(klaim). Atau sebaliknya perusahaan tidak perlu menyogok supaya mendapatkan
premi (kontribusi) asuransi. Namun semua harus dilakukan secara baik,
transparan, adil dan dilandasi dengan ukhuwah islamiyah.
Inilah sepuluh prinsip dasar dalam mekanisme pengelolaan
asuransi syariah. Dan alangkah indahnya sepuluh prinsip ini, apabila
diimplementasikan secara baik dalam asuransi syariah. Dan setelah membaca
sepuluh prinsip ini, tidakkah anda tertarik untuk berasuransi secara syariah…?
0 komentar:
Posting Komentar