PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA

Pada hakikatnya, pendidikan karaktermerupakan suatu sistem pendidikan yang berupaya menanamkan nilai-nilai luhur kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, semua komponen sekolah harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.

Dalam pendidikan karakter dan budaya bangsa ini, segala sesuatu yang dilakukan guru harus mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Sebagai pembentuk watak peserta didik, guru harus menunjukkan keteladanan. Segala hal tentang perilaku guru hendaknya menjadi contoh bagi peserta didik. Misalnya, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, cara guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.

Kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum didasarkan pada nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dan budaya bangsa dalam konteks pendidikan adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang disebut sebagai kaidah emas (the golden rule). Pendidikan karakter dapat
memiliki tujuan yang pasti apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar sebagaimana diungkapkan di atas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak pada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilainilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri (Sudrajad, 2010).

Dewasa ini, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun, juga terdapat perbedaan pendapat di antaranya mengenai pendekatan dan modus pendidikan. Berkaitan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial- kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Menurut Foerster (Koesoema, 2010), terdapat empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Keempat ciri tersebut sebagai berikut.

  • Pertama adalah keteraturan interior. Setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
  • Kedua adalah koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombangambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar
  • yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
  • Ketiga adalah otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi, tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
  • Keempat adalah keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya

tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. Orangorang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan performansi seorang pribadi dalam segala tindakannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger