Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: 
  1. Rumah-rumah dan tanah beserta rumah; 
  2. Tanah kapling rumah dan ruang tanah beserta rumah; dan 
  3. Tapak rumah dan perkarangan rumah. 

Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek. Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.

Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa kota menurut Koestoer (1995), pembentukkannya berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannyapun ditata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal.

Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur transportasi antar wilayah.

Perumahan di tepi kota (desa dekat dengan kota) membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada saat pengaruh perumahan kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya. Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian kelompok perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang terbentuk, tetapi dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi permanen.

Pekarangan
Hasil penelitian pekarangan yang dilakukan Arifin, Sakamoto & Chiba (1998) menunjukkan bahwa semakin ke hilir rataan area RTH pekarangan dan penutupan kanopi tanaman semakin luas. Rataan jumlah species tanaman per pekarangan pun semakin besar. Hasil penelitian berikutnya menunjukkan keragaman vertikal didasarkan pada kehadiran stratifikasi tanaman mulai dari rerumputan, herba, semak, perdu, liana dan pohon tinggi. Selanjutnya hasil penelitian Arifin (1998) menunjukkan strata tanaman yang tumbuh dipekarangan meliputi 5 klas, yaitu starta I (< 1m), starta II (1-2m), strata III (2-5m), strata IV (5-10m) dan strata V (>10m). Kombinasi antara tanaman tahunan dan semusim, antara tegakan pohon dan cash-crops tersebut dipraktekkan secara tumpangsari pada satu unit lahan (Arifin, 1998). Perubahan iklim mikro, antara lain suhu yang semakin sejuk di tengah dan hulu menyebabkan berkurangnya tegakan pohon tinggi dibandingkan dengan hilir (Arifin, Sakamoto & Chiba, 1998). Dilihat dari keberadaan tanaman (keragaman horizontal dan vertikal) dan
didasarkan pada kajian ekologis pekarangan di 120 contoh pekarangan di Cianjur dan Bogor diperoleh luas area minimum secara kritis (the critical minimum size) lahan pekarangan adalah 100 m2 (Arifin, 1998).

Praktek agroforestri di pekarangan, kebun campuran dan talun tidak hanya menghasilkan dari tumpangsari tanaman saja, tetapi juga hasil ternak serta ikan kolam. Hasil tersebut memberi kontribusi 27% tambahan pendapatan dihitung dari ketersediaan bahan pangan baik skala subsisten maupun ekonomis (Arifin, 2000). Biaya produksi di hulu lebih tinggi daripada di hilir karena usahataninya berorientasi komersial. Akan tetapi penghasilan yang tinggi dari usahatani pekarangan di hulu tidak diikuti oleh pendapatan yang tinggi, karena biaya produksi yang tinggi. Jika dilihat R/C ratio memiliki nilai lebih dari 1, berarti usaha tani tersebut menguntungkan. R/C ratio usaha tani di pekarangan hilir merupakan yang tertinggi dibanding dengan yang lainnya. (Arifin, Chozin, Sarma & Sakamoto, 2005).

Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan (Manan 1983). Sheng (1968) mendefinisikan DAS sebagai suatu kawasan yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang mengalir dari hulu menuju ke muara atau tempat-tempat tertentu. Tempat tertentu tersebut antara lain dapat berupa danau atau lautan. Oleh karena itu batas ekosistem suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari aliran airnya. Kawasan tersebut dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh pemisah topografi. Di Amerika Serikat daerah bersistem sungai-sungai biasa disebut “watershed” sedangkan di Inggris disebut “cathchment areas of river basin”. Dalam istilah pembangunan biasanya disebut river basin development apabila berkaitan dengan pembangunan bendungan dan sistem irigasi, dan watershed apabila berkaitan dengan pembangunan yang berkaitan dengan penatagunaan tanah, perlindungan terhadap erosi dan pengelolaan bentang alam (Haeruman 2002). 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger