- Pertama, untuk kepentingan ideologi dalam memantapkan identitas bangsa.
- Kedua, untuk kepentingan akademik, sebagai sumber data bagi tujuan akademis seperti penelitian, studi dan kajian.
- Ketiga, untuk tujuan Ekonomi, yaitu pemanfaatan “sumberdaya budaya” dalam bentuk barang (goods) dan jasa (service) guna melahirkan income bagi masyarakat (Cleere, 1989).
Dalam rangka memelihara dan memantapkan existensi nilai-nilai budaya di kalangan generasi muda dilakukan melalui aktivitas belajar baik intra maupun extra kurikuler. Hal ini bahkan diikuti dengan program kunjungan ke obyek-obyek budaya seperti obyek sejarah, museum, obyek ziarah/keramat, dll. Disamping itu para siswa/mahasiswa dibawa menyaksikan penampilan atraksi budaya seperti pagelaran seni, festival, perlombaan, prosesi adat, upacara tradisional, dll.
Kegiatan kunjungan tersebut di atas menjadikan obyek-obyek budaya dikunjungi oleh ramai pengunjung. Hal ini berpeluang bagi masyarakat untuk menjadikan tempat itu sebagai tempat mencari nafkah terutama dengan membuka kios-kios makanan/minuman, kerajinan tangan dan berbagai dagangan lainnya.
Potensi “sumberdaya budaya” dapat juga dijadikan sebagai data akademik. Aktivitas ini sering melahirkan berbagai kegiatan seperti penelitian, kajian ilmiah, seminar, diskusi, dsb. Para peserta kegiatan biasanya bukan saja “lokal” melainkan juga diikuti oleh peserta dalam negari (nasional) bahkan luar negeri (internasional). Kegiatan inipun mampu membuka peluang usaha bagi masyarakat terutama bagi usaha akomodasi, rumah makan, Biro Perjalanan, transportasi, dsb.
Potensi “ sumberdaya budaya” juga diolah untuk tujuan ekonomi, yaitu mengolah “ sumberdaya budaya” untuk menjadi barang (goods) atau jasa (service) sehingga dapat dijual kepada konsumen. Aktivitas tersebut akan memberikan dampak ekonomis berupa penghasilan bagi masyarakat yang terlibat dengan kegiatan itu.
Upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya budaya untuk kesejateraan rakyat, diperlukan keterlibatan masyarakat dalam merubah benda-benda sumberdaya budaya kedalam bentuk miniatur barang-barang (goods) seperti aneka ragam kerajinan (crafts) tangan, aneka ragam masakan dan makanan/kue khas, aneka ragam obat-obatan tradisional, dsb. Sedangkan sumberdaya budaya yang diolah dalam bentuk jasa (service) muncul dalam bentuk cara pengobatan tradisional atau untuk kebugaran seperti obat-obatan tradisionil, jamu, mandi uap (sauna), pijat, pengobatan patah tulang, pengobatan secara magic, dll.
Disamping itu sumberdaya budaya juga dapat dijadikan obyek dan atraksi wisata sehingga menjadi daya tarik kunjungan ke suatu daerah. Hal ini melahirkan paket-paket wisata (tour packages) untuk tujuan ziarah, studi, kebudayaan, mengunjungi teman dan famili (Visit Friends and Relatives), MICE
(meeting, incentive, Conference dan Exibition), dsb. Oleh karena itu, jika di suatu daerah terdapat banyak sumberdaya budaya seperti obyek sejarah dan situs kepurbakalaan, rumah adat, monumen, bangunan tua, dll. maka sangatlah bijaksana jika di daerah itu dikembangkan ”pariwisata budaya”. Hanya saja diperlukan perencanaan yang baik dan matang serta monitoring yang berkelanjutan agar para pelaku pariwisata selalu berada dalam koridor yang diterima oleh norma-norma agama, adat istiadat dan budaya masyarakat setempat.
Sehubungan dengan hal itu, di dalam perencanaan pembangunan jangka panjang pariwisata Indonesia, sumberdaya budaya dalam berbagai ragam performance mendapat perhatian, khususnya dalam bidang pengembangan produk pariwisata (Nuryanti, 1991).
Dengan demikian, pemanfaatan sumberdaya budaya untuk kesejahteraan rakyat lebih mengarah kepada pemanfaatan sumber daya budaya untuk tujuan ekonomi. Barang-barang sumber daya budaya tersebut dijadikan model untuk menjadi contoh dalam memproduksikan barang-barang yang serupa, (kemungkinan dalam ukuran yang lebih kecil) sebagai komoditi handy crafts. Barang-barang tersebut kemudian dijadikan souvenir dan dijual kepada wisatawan agar menghasilkan uang bagi masyarakat.
Sebenarnya, pemanfaatan sumberdaya budaya untuk kepentingan pariwisata telah dimulai pada abad ke 16 di Eropa dimana kalangan elit di Inggris pergi mengunjungi kota-kota dan bangunan kuno di Eropa Barat dengan motif perjalanan untuk tujuan pendidikan, budaya dan liburan (Zeppel & Hall, 1992).
Akhir-akhir ini kecenderungan wisatawan dunia dalam memilih sasaran kunjungan ke daerah-daerah yang menawarkan daya tarik budaya menjadi semakin besar (WTO, 1985). Hal ini telah terbukti di Australia, dengan menawarkan paket wisata gabungan alam dan budaya yaitu kunjungan ke Ayers Rock, singgah di reservasi aborigin dan menyaksikan lukisan purba di dinding gua batu (Zeppel & Hall, 1992). Paket ini telah mampu manarik minat kunjungan wisatawan yang cukup besar ke Australia dalam era akhir tahun delapan puluhan. Begitu juga di Thailand dengan tawaran paket wisata kombinasi treking dan etnik di Propinsi Petani (Thailand Selatan) yang berpenduduk mayoritas muslim juga menarik minat kunjungan yang cukup besar ke Thailand di awal tahun 90an yang lalu (Dearden & Harron, 1992).
Untuk tercapainya tujuan yang direncanakan, perlu dilakukan pendekatan yang intensif dalam rangka meletakkan partisipasi masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan perencanaan dan pengoperasian pariwisata” di daerah itu (Brandon, 1993).
Sementara Atmaja, 1989 mengemukakan, “Melalui pendekatan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan wisata budaya akan melahirkan harmonisasi hubungan antara “pelaku pariwisata” dan “penduduk setempat”, disamping itu, juga mampu mengurangi kesenjangan ekonomi (Atmaja, 1989)
0 komentar:
Posting Komentar