Nilai Budaya
Meskipun suku bangsa Batak telah banyak berpindah dari kampung halaman di kawasan Danau Toba ke tempat perantauan baik di desa maupun di kota di berbagai tempat di Indonesia bahkan di berbagai tempat di belahan dunia serta sungguh pun suku bangsa Batak telah bergaul dengan suku-suku bangsa lain di Indoneisa bahkan dengan bangsa lain di berbagai belahan dunia, suku bangsa Batak masih tetap mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai utama budayanya sebagai kearifan tradisional (local wisdom) dan sekaligus sebagai modal pengembangan kemanusiaan (human capital). Sudah barang tentu, implementasi nilai-nilai utama itu dan operasionalisasi nilai-nilai penunjang budayanya sudah mengalami pergeseran.
Nilai utama budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai local wisdom dan human capital sangat bermakna dalam membangun suatu suku bangsa dan daerahnya seperti suku bangsa Batak. Nilai utama budaya Batak mengandung tiga bagian besar, yakni identitas kesukubangsaan, visi tujuan hidup, dan pedoman interaksi. Ketiga nilai budaya itu harus dibermaknakan agar kelak dapat menjadikan masyarakat pemilik kebudayaan itu lebih sejahtera.
Identitas kesukubangsaan merupakan internalisasi nilai yang diwariskan oleh orang tua secara informal kepada setiap anak sejak dari kecil untuk membangun eksistensi ke-Batakan-nya (habatahon), yang kelak dapat merupakan jalan, wahana, dan alat memasuki tujuan hidup suku bangsa Batak. Dengan demikian, identitas budaya ini disebut sebagai nilai instrumental (instrumental values). Visi suatu suku bangsa adalah tujuan hidup suatu kolektif, dalam hal ini tujuan suku bangsa Batak, yang merupakan tujuan akhir yang diidam-idamkan masyarakat. Dengan demikian, visi tujuan hidup ini disebut sebagai nilai terminal (terminal values). Pedoman interaksi merupakan landasan interaksi masyarakat, yang berfungsi menentukan kedudukan, hak, dan kewajiban masyarakat, mengatur serta mengendalikan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sosial sehari-hari, dan menjadi dasar demokrasi untuk penyelesaian masalah terutama secara musyawarah dan mufakat dalam masyarakat Batak Toba. Pedoman interaksi ini disebut dengan nilai interaksional (interactional values).
Pensejahteraan suatu suku bangsa Batak sebaiknya didasari ketiga nilai budaya tersebut. Nilai adalah prinsip, aturan, pedoman, keyakinan atau panduan umum yang didambakan oleh masyarakat sebagai hasil kesepakatan masyarakat itu. Inti kebudayaan terletak pada nilai kebudayaan itu sehingga nilai budaya itulah yang digali sebagai modal sosial-budaya dan kemudian diwariskan apabila kita hendak membangun sumber daya manusia. Kebudayaan memiliki nilai karena kebudayaan juga merupakan pedoman hidup masyarakat sebagaimana terlihat dalam definisi kebudayaan berikut ini. Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban terhadap masyarakatnya. Nilai budaya merupakan dasar dan pedoman yang mengatur tingkah laku yang benar pada waktu yang tepat. Nilai budaya sekaligus mengatur manusia dalam kelompoknya untuk mengetahui mana yang baik atau yang buruk, yang harus dilakukan atau yang harus diabaikan, yang diinginkan atau dihindari, dan yang diyakini benar atau salah.
Nilai budaya sebagai identitas pada suku bangsa Batak, adalah marga, bahasa-aksara, dan adat-istiadat. Marga adalah nama persekutuan sekelompok masyarakat yang merupakan keturunan dari seorang kakek menurut garis keturunan bapak (patrilineal), yang pada umumnya memiliki tanah bersama di tanah leluhur. Sekelompok masyarakat yang merupakan keturunan dari seorang kakek itu disebut semarga dan membubuhkan marga itu di belakang nama kecil mereka. Dengan demikian, orang-orang yang semarga adalah orang-orang yang keturunan dari kakek yang sama. Bagi suku bangsa Batak, marga sebagai identitas lebih dominan daripada nama karena dapat menunjukkan hubungannya dengan sesema orang yang semarga, bahkan dengan marga lain dan dapat juga menunjukkan dari mana asalnya di Bona Pasogit karena setiap marga memiliki tanah di daerah asal.
Bahasa dan aksara juga merupakan indentitas suku bangsa Batak. Berbeda dengan marga yang secara otomatis dimiliki oleh setiap orang Batak, bahasa dan aksara hanya dilmiliki jika dipelajari dan dikuasai. Jika setiap orang Batak memiliki marga, tidak semua orang Batak sekarang ini yang dapat berbahasa Batak dan mampu menulis serta membaca aksara Batak. Sudah dipastikan bahwa semua orang Batak yang tinggal di Bona Pasogit dapat berbahasa Batak, meskipun sangat sedikit yang menguasai aksara Batak, tetapi mayoritas anak-anak dan generasi muda yang lahir dan dibesarkan di kota-kota tidak lagi dapat berbahasa Batak, apalagi menguasai aksara.
Adat-istiadat seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara kematian, norma, dan kebiasaan-kebiasaan juga merupakan jati diri suku bangsa Batak, yang membedakan suku bangsa ini dengan suku bangsa lain.
Identitas ini merupakan jalan, cara, dan alat untuk memungkinkan orang dapat menuju nilai budaya lain karena tanpa memiliki dan mengetahui identitas ini, sulit orang memahami dan memiliki nilai budaya interaksional dan nilai budaya terminal. Itulah sebabnya identitas ini disebut nilai instrumental.
Sistem interaksi pada masyarakat Batak adalah Dalihan Na Tolu ”Tungku Nan Tiga”, yang terdiri atas dongan tubu (pihak semarga), boru (pihak penerima istri), dan hula-hula (pihak pemberi istri). Dalam interaksinya, setiap orang akan memiliki sikap berperilaku yang berbeda pada masing-masing pihak itu. Orang akan manat mardongan tubu ”hati-hati pada teman semarga”, elek marboru ”membujuk pada pihak penerima istri” , dan somba marhula-hula “hormat pada pihak pemberi istri”. Jelas bahwa nilai interaksional ini hanya bisa dipahami, bahkan dijelaskan, setelah memiliki dan memahami nilai identitas.
Visi orang Batak sangat jelas, yakni ingin memiliki Hagabeon-Hamoraon-Hasangapon. Istilah hagabeon berarti ”mempunyai keturunan terutama anak laki-laki”, hamoraon berarti ”kekayaan atau kesejahteraan” , dan hasangapon berarti ”kehormatan”. Hamoraon dan hagabeon sangat jelas indikatornya, tetapi hasangapon agak abstrak: hasangapon adalah hagabeon plus hamoraon. Untuk mencapai hagabeon, orang harus menikah; untuk mencapai hamoraon, orang harus mandiri, kerja keras, gotong royong, dan berpendidikan, yang kesemuanya membuat orang dapat mencapai hasangapon. Oleh karena hagabeon-hamoraon-hasangapon itu merupakan visi dan tujuan kehidupan orang Batak, maka itulah yang disebut dengan nilai terminal.
Akhirnya, nilai utama Budaya Batak, yakni identitas sebagai instrumental values, sistem interaksi sebagai interactional values, dan visi sebagai terminal values dapat difungsikan dan diwariskan dalam pembentukan sumber daya manusia untuk mencapai keberhasilan pembangunan suku bangsa Batak. Pewarisan, internalisasi, dan resosialisasi nilai-nilai budaya di atas sejak dini kepada masyarakat Batak akan menciptakan sumber daya manusia yang betul-betul menjadi human capital terutama di daerah bonapasogit.
Manusia sebagai sosok dan tokoh selalu menarik diperbincangkan dari aneka sudut pandang. Perbincangan akan lebih menarik bila sosok dan ketokohan seseorang relevan dan kontributif bagi pengembangan sumber daya generasi muda. Sosok dan tokoh yang menyejarah dapat menjadi acuan untuk membangun sikap dan semangat patriotisme. Manusia dalam konteks budaya adalah individu yang mampu berperan sebagai penggagas, pelaku, dan penghasil. Ketiga peran ini terakumulasi dan termanifestasi dalam prestasi (achievement). Gagasan, tindakan dan kinerja manusia yang berlandaskan pada prestasi gemilang sampai kapanpun akan menjadi idaman dan sumber inspirasi bagi tiap-tiap individu. McClelland, (1987) berkata bahwa ada tiga motif sosial yang dapat membuat orang berhasil, yakni motif berprestasi (the achievement motive), motif berkuasa (the power motive), dan motif persahabatan (the affiliation motive). Ketiga motif sosial itu ternyata ditentukan oleh lingkungan budayanya. Dalam kajian kebudayan Batak, yakni motif berprestasi (the achievement motive) dan motif berkuasa (the power motive) dilandasi oleh visi Hagabeon-hamoraon-hasangapon, sedangkan motif persahabatan (the affliliation motive) dilandasi oleh nilai Dalihan Natolu, yang kesemuanya dapat dimanfaatkan untuk menjadi faktor penentu keberhasilan.
Dalam konteks menatap perjuangan Raja Sisingamangaraja XII di panggung sejarah, nilai budaya apakah yang dapat diwariskan dan direvitalisasi untuk generasi mudaa di abad XXI ini?
Nilai Budaya dalam Perjuangan Sisingamangaraja XII
Sosok Raja Sisingamangaraja XII sebagai Power Motive
Patuan Bosar Sinambela atau Ompu Pulo Batu lahir di Bakkara, Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 1849. Ompu Pulo Batu yang menjadi Sisingamangaraja XII mulai tahun 1875 sampai 1907 adalah Pahlawan Nasional dari Tanah Batak, yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pada 9 November 1961.
Patuan Bosar atau Raja Ompu Pulo Batu ditabalkan menjadi Si Singamangaraja XII pada tahun 1875 dalam usia 17 tahun setelah berhasil mencabut piso gaja dompak dari sarungnya sebagai syarat mutlak pemangku gelar Singamangaraja. Di samping itu, Si Singamangaraja XII memiliki kemampuan mendatangkan hujan di saat musim kemarau dan melakukan mukjizat di wilayah kekuasaannya. Pada saat penabalannya, Tapanuli Utara masih berstatus “daerah Batak merdeka” (onafhankelijk gebied van de Batak) (Sijabat,1983:152). Sebagai Raja Imam Batak (priester koning), Si Singamangaraja XII bertanggung jawab untuk melanjutkan tugas sebagai pemimpin (primus interpares) masyarakat Batak seperti yang telah dilakukan oleh Si Singamangaraja I- XI.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia karena perjuangannya untuk melawan penjajahan membebaskan Tanah Batak pada khususnya dan Indonesia pada umumnya dari penjajahan. Dia berperang melawan penjajah Belanda kurang lebih 30 tahun (1877-1907). Perjuangannya tidak mengenal menyerah dan perjuangannya berakhir karena mati tertembak pada tanggal 17 Juni 1907 di tepi sungai Sibulbulon, Gunung Sitapongan, Desa Sionomhudon, Parlilitan, Tapanuli Utara.
Si Singamangaraja XII dikenal sebagai sosok pemimpin (primus interpares) dalam masyarakat Batak. Beliau juga seorang tokoh historis dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menyongsong era kemerdekaan dengan menyandang gelar Pahlawan Nasional. Perjuangan Si Singamangaraja XII dari tahun 1877 sampai 17 Juni 1907 membuktikan kehebatan strategi perang yang dimainkannya. Dalam tengggang waktu 30 tahun Si Singamangaraja XII mampu menghempang dan membayangi kekuatan kolonial Belanda di Tapanuli dengan melakukan perlawanan. Beliau tidak tinggal diam di istananya di Bakara, tetapi terjun langsung ke medan juang untuk menegakkan kembali kebebasan masyarakatnya. Mampu menjalin kerja sama dengan penguasa lokal di sekitarnya dan mengikutsertakan anggota keluarga dan masyarakat pimpinannya bersama-sama berjuang mengusir penguasa asing dan sekaligus mempertahankan kedaulatannya. Nilai juang yang diraih Si Singamangaraja XII atas tiga peran yang dilakukan sekaligus sebagai manusia berbudaya Batak di medan perang mengorbitkan dirinya sebagai sosok dan tokoh historis yang bertaraf nasional.
Singamangaraja bermakna Singa yang melampaui dan Singa yang tak terlampaui. Tugas dan tanggung jawab Si Singamangaraja XII adalah sebagai pemimpin agama, adat-istiadat, hukum, ekonomi, pertanian, pendidikan, dan militer
(Sijabat, 1983:11). Si Singamangaraja XII tidak hanya berfungsi sebagai priester koning (raja imam) sebagaimana dikemukakan oleh pihak kolonial Belanda, tetapi beliau merupakan seorang pemimpin yang cakap menyelesaikan aneka ragam permasalahan sosial yang mengemuka di wilayahnya di masa lalu. Lagu Tampollong ma di si mengungkapkan kecakapan Si Singamangaraja menyelesaikan persoalan-persoalan intern dan ekstern semasa hidupnya. Beliau merupakan sosok pemimpin yang peka terhadap penderitaan rakyatnya, pemimpin yang selalu dinanti kehadirannya setiap saat, pembawa kebebasan dan kesejahteraan bagi orang terpasung, para tawanan, dan budak hutang, tumpuan dan harapan hidup rakyat pimpinannya.
Menyoroti sosok dan tokoh historis Si Singamangaraja XII sebagai manusia berbudaya Batak merupakan kebanggaan tersendiri. Gagasan, tindakan, dan kinerjanya pantas diperbincangkan dan diperkenalkan kepada generasi penerus. Bagaimana beliau sebagai pemimpin menjalin kerja sama dan membangun kekuatan massa untuk bersama-sama melakukan konfrontasi terhadap pihak kolonial Belanda? Bagaimana sikap dan tindakan aktual beliau mendapatkan simpati dan empati dari lingkungannya untuk ikut dan ambil bagian dalam perang yang dipimpinnya terhadap kolonial Belanda?
Nilai Budaya Interaksi sebagai Affiliation Motive
Si Singamangaraja XII, sebagai pemimpin menunjukkan kebolehannya menjalin hubungan dan kerja sama yang baik dengan masyarakatnya atas dasar Dalihan Na Tolu dan juga dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya termasuk Aceh, Raya, dan Hilir. Untuk lebih memperkokoh hubungan dan kerja sama, Si Singamangaraja XII menciptakan “raja merampat” (paung na opat). Raja merampat (paung na opat) merupakan wakil Si Singamangaraja XII di daerah-daerah yang berfungsi sebagai pemangku (stadhouders) kerajaan Raja Imam Si Singamangaraja. Sistem raja merampat ini diadopsi Si Singamangaraja dari Aceh dan diterapkan di wilayah kekuasaannya. Sistem ini merupakan salah satu dasar kekuatan dan ketahanan perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap Belanda di Bahalbatu, Balige, Uluan, dan lain-lain.
Si Singamangaraja XII, seorang pemimpin yang mampu dan cakap mengerahkan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah menjadi kekuatan militer dalam pertempuran karena memiliki wibawa di bidang kerohanian dan di bidang kemasyarakatan.
Kemampuan Si Singamangaraja XII untuk memadukan Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan Batak dengan sistem raja merampat untuk menciptakan hubungan yang lebih berkualitas dan diaktualisasikan dalam bentuk kerja sama dalam misi pertempuran melawan kolonial Belanda mencuatkan kepermukaan salah satu kelebihan Si Singamangaraja XII. Sisingamangaraja XII menerapkan nilai budaya interaksi sebagai motif afiliasi (affiliation motive). Budaya Batak bercirikan kerja keras, ulet, dan kerja sama melekat kuat pada pribadi Si Singamangaraja I-XII, tampak na do tajomna, rim ni tahi do gogona. Di dalam catatan sejarah, Batak menjalin hubungan dan kerjasama yang baik dengan Aceh. Ekspansi dan aneksasi Belanda ke Sumatera sebagai konsekuensi dari Traktat ‘s Gravenhage (1871) memunculkan dua Perang Si Singamangaraja (1878). Perang Si Singamangaraja XII di Bahalbatu tahun 1878 mendapat bantuan pasukan dari Aceh sebagai salah satu bentuk kerja sama yang telah terjalin sebelumnya.
Di Simalungun, raja merampat juga dibentuk yang terdiri atas kerajaan Tanah Jawa, Dolok Silau, Pane dan Siantar untuk menjalin hubungan dan kerja sama. Si Singamangaraja XII juga menjalin hubungan erat dan kerja sama dengan Tuan Rondahaim Saragih sebagai penguasa kerajaan Raya untuk bersama-sama berkonfrontasi kepada Belanda. Kerja sama Si Singamangaraja XII dengan Rondahaim Saragih terealisasi dalam perlawanan terhadap Belanda di daerah Bedagai. Fakta mengungkapkan bahwa setelah kunjungan Si Singamangaraja XII ke Raya, maka pendukung Rondahaim Saragih berani membakar gudang-gudang tembakau di daerah Deli Serdang. Para kuli kontrak juga diberi masing-masing 20 ringgit asal mau membakar gudang pengeringan tembakau tersebut. Hubungan dan kerja sama terus diperkuat dan diperluas ke daerah Singkel, Karo, Deli Serdang, dan lain-lain.
Nilai Budaya Visi sebagai Achievement Motive dan Power Motive
Van der Tuuk seorang ilmuan Belanda menamakan Si Singamangaraja sebagai Koning aller Bataks (raja dari segala orang Batak). Si Singamangaraja XII adalah seorang pemimpin dermawan, suka menolong, anti perbudakan, penjunjung nilai kekebasan, dan cepat bertindak. Nilai budaya visinya sangat jelas, yakni menjadikan rakyatnya menjadi terbebas dan sejahtera untuk dapat mengarah pada hagabeon-hamoraon-hasangapon. Si Singamangaraja XII memiliki kepekaan sosial. Tindakannya teraktualisasi dalam tiap-tiap kunjungannnya ke daerah-daerah. Sapaan pertama yang dilontarkan pada tiap kunjungannya adalah Adakah orang yang sedang dipasung? Bila di daerah kunjungannya terdapat manusia terpasung dan tertawan akibat kalah perang dan hutang, maka dengan kewibawaannya, dan sesuai dengan hukum yang berlaku, yakni menebus dengan membayar binsang dan ampang, beliau melepaskan para terpasung dan tawanan tersebut. Wibawa kepemimpinan Si Singamangaraja XII adalah anti perbudakan dan pemasungan.. Salah satu bukti kedermawanan Si Singamangaraja XII adalah membayar hutang Tuan Dolog Kahean (Sijabat, 1983:244).
Si Singamangaraja XII, sebagai manusia berbudaya Batak, tokoh historis yang berskala nasional menjunjung tinggi nilai-nilai kekebasan sebagai salah satu hak azasi manusia. Beliau rela melepaskan kekayaannya untuk mendapatkan kebebasan bagi orang-orang yang terdominasi ekonomi dan politik. Di dalam catatan sejarah, pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, praktek perbudakan ditemukan di masyarakat Batak . Praktek perbudakan ini terjadi karena sering terjadi perang antar huta (kampung) dan musim kemarau. Konsekuensi perang antar huta menciptakan kelompok yang mengalami kekalahan menjadi taban-tabanan (tawanan) pihak yang menang dan selanjutnya pihak yang menang akan memperlakukan para tawanannya sebagai budak. Musim kemarau panjang merupakan salah satu penyebab perbudakan. Masyarakat petani yang sering mengalami gagal panen akibat kekeringan tentu akan berhutang untuk bisa menyambung hidup. Selama hutang belum terbayar, maka orang yang berhutang akan menjadi budak bagi si pemberi hutang.
Selain perang antar huta dan musim kemarau, perbudakan juga terjadi akibat ulah para pambarobo (perampok). Para pambarobo menyergap laki-laki dan perempuan untuk diperjual-belikan di pasar budak di Tongging. Di dalam catatan von Brenner, harga seorang budak wanita muda yang berasal dari Toba di Tongging dan Silalahi 70-120 ringgit dan wanita dewasa seharga 20-50 ringgit. Posisi seorang budak pada masyarakat Batak kuno sangat rendah. Di Lontung, Samosir, seorang keturunan budak diberi nama huting (kucing). Bila raja Lontung kedatangan tamu, maka sibudak harus mengeong seperti kucing. Budak dan keturunannya tidak boleh mengadakan pesta, tidak diperkenankan memakai ulos ragi idup, rumahnya bertangga genap, dan lain-lain ciri yang bersifat merendahkan martabatnya sebagai manusia dalam lingkup sosial Batak Upaya dan tindakan Si Singamangaraja XII untuk menghapuskan perbudakan (hatoban dan taban-tabanan) menciptakan simpati dan empati masyarakat terhadap dirinya, baik dari individu yang mendapatkan kebebasan, maupun dari masyarakat sekitar yang menyaksikan. Selain sebgai achievement motive, usaha yang dilakukan Sisingamangaraja XII ini sekaligus sebagai power motive karena dengan demikian dia menjadi mendapat pengaruh dan simpati dari masyarakat.
Nilai Budaya Identitas
Dalam usahanya melawan penjajah dengan kerja sama keluar dan untuk menyamakan kedudukannya dengan raja-raja atau sultan-sultan Melayu, Sisingamangaraja XII-lah yang pertama menggunakan kertas dan cap sebagai legalitas surat yang ditujukan kepada otoritas kolonial Belanda dan missionaris Jerman I.L. Nommensen.
Sebagai pelegalitas surat-suratnya selama masa perjuangan, ada tiga jenis cap Sisingamangaraja XII (Kozok, 2000:254), dua di antaranya (cap B dan C) lebih sering digunakan, sedangkan satu lagi (cap A) jarang digunakan, tetapi ada ditemukan dalam arsip Vereinigte Evangelische Mission (pengganti RMG) di Wuppertal, Jerman. Ketiga cap itu ditulis dengan bahasa dan aksara Batak yang ditulis ditengah cap dan bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Jawi yang ditulis di pinggir sekeliling cap.
Cap A berbentuk bulat bergerigi sepuluh dengan diameter 60 mm. Kondisi cap ini kurang bagus dan kelihatannya dibuat terbalik, aksaranya baru jelas terbaca setelah menggunakan cermin seperti berikut ini: (CAP A) Cap B berbentuk bulat bergerigi 12 dengan diameter 74 mm. Ini yang lebih sering digunakan dalam surat-surat Sisingamangaraja XII sebagaimana terlihat berikut ini: (CAP B) Cap C berbentuk bulat bergerigi 11, yang tampaknya lebih ”mudah” dibaca seperti terlihat berikut ini:(CAP C) Tulisan Aksara Batak yang ada pada ketiga cap itu, terutama lebih banyak tafsiran dalam cap B, memiliki variasi bacaan dan tafsiran seperti ini:
- Ahus sap tuwana Sisingamangaraja tiyan Bagara.
- Ahu sasap tangan sisingamangaraja mian Bakkara.
- Ahu sasap tuwana Sisingamangaraja mian Bakkara.
- 4. Ahu ma sap tuana Sisingamangaraja sian Bagara.
- 5. Ahu sahap ni tuwan Sisingamangaraja tian Bakara.
- 6. Ahu sahap tuan Sisingamangaraja tian Bakara.
- 7. Ahu sahap ni Sisingamangaraja sian Bakara.
- 8. Ahu sasap tuana Sisingamangaraja tian Bagara.
- 9. Ahu ma sap tuan Sisingamangaraja tian Bangkara.
Namun, dari semua tafsiran itu, inti tulisan pada cap itu adalah ”Ahu sap ni Sisingamangaraja sian Bakara”, yang artinya ”Aku cap Sisingamangaraja dari Bakara”.
Tulisan Arab Melayu, yang berada di sekeliling cap itu berbunyi, ”Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat Nabi 1304. (Kozok, 2000:265). Di samping sebagai legalitas surat dalam memainkan peran politik dan militernya, cap Sisingamangaraja XII yang bertuliskan aksara dan bahasa Batak serta aksara Jawi dan bahasa Melayu menggambarkan beberapa hal:
- Perlunya mempertahankan nilai identitas etnik, yang ditandai oleh bahasa Batak dan aksara Batak di dalam cap itu.
- Perlunya mempertahankan nilai identitas ke-Melayu-an atau sekarang ke-Indonesia-an, yang ditandai oleh bahasa Melayu dan aksara Jawi oleh karena itu diperlukan untuk menjalin kerja sama dengan etnik dan religi lain terutama dengan mereka sesama penutur bahasa Melayu, yang dalam konteks sekarang ini adalah masyarakat penutur bahasa Indonesia atau masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, etnisitas dalam bingkai nasionalisme.
Nilai-Nilai Keluarga
Kepentingan umum tidak selalu berbanding sama dengan kepentingan pribadi. Dalam diri seorang tokoh, jika dia mementingkan kepentingan umum, sering dia “mengabaikan” kepentingan pribadi atau kepentingan keluarga. Apakah itu terjadi pada kehidupan perjuangan Sisingamangaraja XII? Jawabannya, boleh “ya” dan boleh juga “tidak”. Pada hakikatnya, pihak keluarga lebih mengetahui masalah ini atau paling tidak (in-depht, open-ended interview) wawancara terbuka dan mendalam kepada pihak keluarga dapat menjelaskan ini. Itulah sebabnya, nilai keluarga di sini tidaklah menyangkut ranah yang demikian, tetapi lebih menyangkut nilai keluarga yang berkenaan dengan perjuangan Sisingamangaraja XII.
Namun, sebagai nilai keluarga yang tergambar dalam perjuangan Sisingamangaraja XII dimotivasi oleh visi hagabeon-hamoraon-hasangapon terutama dalam hagabeon. Berdasarkan silsilah Sisingamangaraja XII didapatkan informasi bahwa dari istri pertamanya boru Simanjuntak hanya memiliki seorang putri dan dari istri keduanya boru Situmorang tidak ada anak , barulah dari istri ketiganya boru Sagala ada 3 putra dan 6 putri, dari istri keempatnya boru Nadeak ada 3 juga putra dan 2 putri, dan dari istri kelimanya boru Siregar ada 1 putra . Dengan demikian, Sisingamangaraja XII memiliki 16 anak: 7 putra dan 9 putri (Sijabat, 1982: 456-457). Ini adalah cermin nilai hagabeon dengan konsep nilai keluarga dahulu, “banyak anak, banyak rejeki” serta meminjam istilah McClelland (1987) sebagai power motive dan achievement motive. Nilai hagabeon “berketurunan” masih tetap dijunjung tinggi sekarang, tetapi tidak lagi dengan konsep “banyak anak, banyak rejeki”. Pada masa Sisingamangaraja XII, konsep Bintang na Rumiris, tu ombun na sumorop, maranak periris, marboru pe torop “banyak putra dan putri” memang cocok sebagai nilai keluarga dan beristri lebih dari satu juga tidak bertentangan dengan religi yang dianutnya.
Nilai kebersamaan (hasadaon ni roha) juga tercermin dalam keluarga Sisingamangaraja XII pada waktu itu karena Sisingamangaraja XII bersatu hati dengan seluruh keluarganya untuk berjuang untuk menghambat, melawan, bahkan kalau mungkin mengusir Belanda dari wilayah kekuasaannya. Nilai kebersamaan yang dimiliki keluarga Sisingamangaraja XII pada masa perjuangannya harus tumbuh dalam generasi muda sekarang terutama di keluarga keturunan Sisingamangaraja XII.
Mengakhiri tulisan ini, ada lagi nilai keluarga yang perlu dikemukakan, yakni istri-istrinya yang turut mendampinginya sangat memegang rahasia dan turut membantu perjuangan Sisingamangaraja XII. Kutipan ini hanya salah satu ungkapan penting tentang salah satu istrinya boru Sagala, yang walaupun dia telah ditangkap Belanda, dia tetap tidak mau memberitahukan kepada pihak Belanda di mana Sisingamangaraja XII berada, “Jonggi Manaor Limbong pun, turut hadir di tangsi itu ialah untuk membantu pihak Belanda. Dia “langsung ditampar” oleh boru Sagala, ketika Jonggi Manaor mulai angkat bicara dan memastikan dia memang istri Si Singamangaraja dan ibu Patuan Nagari”.
0 komentar:
Posting Komentar