Analisis Feminist Legal Theory terhadap Substansi Hukum Lingkungan

Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang memberikan ijin kepada perusahaan tambang untuk membuka tambang terbuka di kawasan hutan lindung    berdampak pada kerusakan lingkungan  dan lebih jauh berdampak pada penderitaan perempuan.  Jika kerusakan lingkungan ditilik berdasarkan perspektif feminis maka harus dilihat penderitaan perempuan secara personal. Mengingat perspektif feminisme menjunjung nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman personal, rumusan tentang diri sendiri, kekuasaan personal, dan otentitas.

Dalam konteks lingkungan hidup, terdapat keterpautan antara pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam. Dalam titik ini muncul aliran ekofiminisme. Karen J. Warren menspesifikan lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminismeyang meliputi :
  1. Ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; 
  2. Pemahaman terhadap alam dalam kaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; 
  3. Teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi; dan 
  4. Pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminisme.

Terkait dengan perspektif feminisme, maka untuk melihat suatu substansi peraturan perundang-undangan berperspektif feminis atau tidak, termasuk hukum lingkungan atau hukum yang terkait dengan aspek lingkungan, dapat mempergunakan pisau analisis Feminist  Legal Theory. Teori ini mendekonstruksi terhadap konsep dasar ilmu hukum terutama wacana prinsip netralitas dan objektivitas. Hukum merupakan hasil konstentasi politik sehingga suara yang berkuasa di parlemen yang mayoritas laki-laki akan mendominasi materi muatan hukum yang dihasilkannya. Situasi serupa juga terjadi di lembaga eksekutif dan yudikatif.  Netralitas dan objektif  pada akhirnya berdampak tidak adil bagi perempuan.

Feminist Legal Theory menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hukum berperspektif feminis dan praktik hukum berperspektif feminis. Teori hukum berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di hadapan hukum. Untuk itu karakteristik dasar teori hukum berperspektif feminis menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi hukum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (i) mengubah pandangan bahwa hukum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii) mengidentifikasi implikasi hukum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (iii) bagaimana hukum itu bekerja dalam konteks yang lebih luas. Kemudian praktik hukum yang berperspektif femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama,  bagaimana hukum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan terhadap mereka. Kedua, bagaimana hukum digunakan untuk meningkatkan posisi sosial perempuan.

            Jika substansi hukum lingkungan dianalisis dengan perspektif feminist legal  theory maka perspektif ini dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi sampai sejauhmana substansi tersebut berpihak pada perempuan atau malah menyumbang terjadinya subordinasi terhdap perempuan.  Dalam kerangka ini maka analisis substansi, proses pembentukan hukum, metode pemikiran hukum dan epistemology hukum yang berobyek lingkungan perlu dilakukan. Di samping itu upaya mengajukan permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada perempuan melalui proses penyelesaian melalui mekanisme hukum, baik melalui pengadilan maupun alternative dispute resolution perlu terus diupayakan.  Upaya ini dilakukan dengan landasan bahwa hak perempuan atas lingkungan hidup yang sehat  bersifat justiciable dan enforceable dalam arti kata dapat diputuskan pemenuhannya lewat pengadilan dan dipaksa pemenuhannya lewat sebuah vonis hakim karena pelanggaran HAM menerbitkan upaya pemulihan bagi korbannya.

Terkait dengan upaya pemulihan korban, studi van Boven mengemukakan bahwa hak-hak korban pelanggaran HAM secara komprehensif tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice), tetapi mencakup juga hak atas reparasi (right to reparation). Pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM. Aspek-aspek pemulihan bagi korban meliputi kompensasi, retitusi, rehabilitasi, kepuasan (satisfaction) dan jaminan terhadap tidak terulanginya lagi pelanggaran (guarantees of non-repetition).

Dalam titik ini dapat terlihat apakah hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang telah menjadi hak konstitusional efektif berhadapan dengan kekuatan arus utama neoliberalisme yang digawangi oleh korporasi global.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger