Dampak Globalisasi terhadap Efektifitas Implementasi Hukum Lingkungan : Kasus Terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004

Meskipun hak atas lingkungan telah dijamin dalam instrument hukum, namun penegakannya mendapatkan hambatan karena pengaruh globalisasi. Dengan demikian justiciability hak ini tidak efektif lagi dalam menjamin penikmatan hak atas lingkungan.

            Pemberian izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk meneruskan kegiatan penambangan secara terbuka (open-pit mining) di hutan lindung menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki visi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kenyataan itu sekaligus mempertegas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia sekadar jargon. Keppres Nomor 41 Tahun 2004 tersebut ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 12 Mei 2004, menyusul keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu) No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan, 11 Maret 2004. Perpu itu menegaskan, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Terkait dengan justiciability hak atas lingkungan hidup yang baik, efektifitas hak ini mendapatkan hambatan dari institusi peradilan. Ironisnya hambatan ini berasal dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas sebagai the guardian of the constitusion. Salah satu buktinya adalah penolakan  MK  terhadap permohonan judicial review. terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang diajukan oleh 11 LSM dan 81 warga masyarakat yang tinggal di lokasi 13 perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan lindung itu. MK dapat memahami alasan pemerintah soal perlunya ketentuan transisional bagi izin eksplorasi hutan lindung. Padahal dampak dikeluarkannya perizinan tersebut berdampak pada kerusakan hutan  dan kelestarian lingkungan dan nyata-nyata melanggar hak atas lingkungan yang telah menjadi hak konstitusional warga negara Indonesia.

            Keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tersebut dan dukungan yuridis dari MK merupakan manifestasi nyata negara memfasilitasi kepentingan korporasi global  melakukan investasi melalui kontrak karya. Sebenarnya negara ini mempunyai kedaulatan berdasarkan prinsip hak menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) untuk mengelola kekayaan alamnya.    Pengalaman  Pemerintah Kosta Rika pada bulan Juni 2002 perlu dijadikan rujukan untuk menentukan sikap terhadap intervensi kekuatan korporasi global. Karena menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, presiden Abel Pacheco ketika itu,  berani membuat keputusan  melarang praktik tambang terbuka dengan sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan.

Praktik-praktik seperti ini akan berdampak pada eksploitasi secara massif terhadap sumber daya alam. Jika dibiarkan akan mengarah pada tindakan pengerusakan dan pemusnahan ekosistem lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan. Deplesi ekologi yang terjadi  saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan hidup dan  masa depan generasi manusia yang akan datang. Praktek ecoside semakin tampak melalui fenomena dan praktik pengrusakan lingkungan hidup. Franz J. Broswimmer mengartikan ecoside is the killing of an ecosystem, termasuk mereka yang ikut serta dalam membuat kebijakan dan mengkonsumsikannya secara massif.

            Realita di atas menunjukan bahwa globalisasi secara langsung berdampak pada pengelolaan lingkungan hidup.  Apabila dianalisis lebih jauh kondisi ini menunjukkan bahwa implementasi dan penegakkan hukum lingkungan di Indonesia mengalami kendala yang justru berasal dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
            Kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia dilakukan melalui kerja dan relasi yang sistematis dan massal.  Melalui dukungan modal sebagai komprador atau negara sebagai fasilitator dan regulator, akan tetapi  juga melibatkan pengarahan massa sebagai konsumen aktif. Oleh karenya terbitnya Perpu tersebut perlu dikaitkan dengan diskursus ecoside karena, pertama, eksploitasi lingkungan  hidup selama ini telah mengarah pada tindakan pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia. Kedua, pemusnahan tersebut merupakan tindakan yang berkaitan erat dengan praktik penghilangan hak-hak hidup manusia bahkan telah menyebabkan hak hidup ekosistem di dalamnya ikut kehilangan kelayakannya. Ketiga,  menjadi bagian dari ekspolitasi sumber daya alam yang mengarah terancamnya keamanan hidup manusia saat ini dan kehiduoan generasi yang akan datang, demikian pula ancaman terhadap punahnya keberagaman hidup dan keanekaragaman hayati lainnya.

Senada dengan itu, Hardjasoemantri menghubungkan masalah lingkungan dengan aktivitas pembangunan. Menurutnya, pembangunan dapat menimbulkan risiko-risiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan. Risiko-risiko tersebut dapat berupa: 
  1. Rusaknya berbagai sistem pendukung peri-kehidupan yang vital bagi manusia, baik sistem biofisik maupun sosial; 
  2. Munculnya bahaya-bahaya baru akibat ciptaan manusia, seperti bahan berbahaya beracun atau B3 serta hasil-hasil bioteknologi; 
  3. Pengalihan beban dan risiko generasi berikutnya atau kepada sektor serta kepada daerah lain; 
  4. Kurang berfungsinya sistem organisasi sosial dalam masyarakat. Risiko-risiko ini terutama akan berdampak pada: pertumbuhan penduduk, pertumbuhan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan lembaga-lembaga masyarakat termasuk teknologi yang dikembangkan untuk meningkatkan produksi 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger