Pendidik itu bisa guru,
orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk
pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai
masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta
Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di
antaranya:
- Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
- Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
- Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
- Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
- Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain
yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan
Megawangi, 2006) adalah:
(1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang
melibatkan partisipatif aktif siswa,
(2) pendidik perlu menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif,
(3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara
eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and
acting the good, dan
(4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa
masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum
yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa
pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui
pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya
mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan
penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis
lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan
non formal, pendidik
(1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu
melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran,
(2)
harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap,
(3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan
metode pembelajaran yang variatif,
(4) harus mampu mendorong dan membuat
perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan
hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya,
(5) harus
mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa
menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan
belajar soft skills yang berguna bagi
kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada
siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara
dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau
orangtua/tokoh masyarakat
(1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi
anak-anaknya,
(2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan
menunjukkan rasa kasih sayang,
(3) harus memberikan lingkungan atau suasana
yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan
(4) perlu mengajak
anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan
beribadah secara rutin.
Berangkat
dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas,
diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki
kemampuan unggul di antaranya:
(1) karakter mandiri dan unggul,
(2) komitmen
pada kemandirian dan kebebasan,
(3) konflik bukan potensi laten, melainkan
situasi monumental dan lokal,
(4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan
(5)
mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama
(Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
0 komentar:
Posting Komentar