Masyarakat gemar belajar dapat menciptakan peluang pendidikan nonformal di tempat yang mudah dijangkau dengan cara-cara yang sesuai dengan; potensi, keterampilan dan kecakapan warga belajar serta sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupannya. Meta-konsep “educability” ini memungkinkan warga belajar “fully able to take advantage of any available educational opportunities” lebih giat mencari informasi baru yang berkaitan dengan kepentingan hidupnya melalui media elektronika, media cetak, nara sumber, obyek langsung dan lainnya. Dengan konsep itu, warga belajar dapat menambah pengetahuan dengan membaca buku, jurnal, surat kabar, majalah, menulis dan menyampaikan informasi mengenai pengalaman kerjanya serta belajar berkelanjutan untuk memperkaya pengetahuan dan keterampilan, belajar memecahkan masalah dan meningkatkan kualitas kehidupan diri dan masyarakatnya.
Konsep belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sebagai landasan pendidikan nonformal telah menjadi suatu kebutuhan vital untuk kelangsungan hidup setiap individu, masyarakat dan bahkan bangsa. Peran dan tanggung jawab pembelajar, tutor secara gradual mengalami pergeseran ke warga belajar sehingga warga belajar dapat berperan lebih bebas dan proaktif serta bertanggungjawab dalam memahami dan mengendalikan diri dan lingkungannya.
Bagi masyarakat yang tidak sempat mengikuti pendidikan persekolahan atau pendidikan tambahan lainnya perlu mempelajari cara-cara belajar yang sesuai dengan kemampuannya. Biarpun memiliki keahlian tertentu, mereka juga tetap perlu belajar terus dan menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan. Mereka harus memiliki kecakapan dan kemampuan dalam menunaikan berbagai peran dan fungsi sosial dan organisasi. Jika tidak, mereka secara pribadi akan frustrasi dan kecewa. Mengingat bahwa masyarakat pada umumnya bukanlah “students by profession”, tetapi mereka adalah mayoritas buruh, petani, pengrajin, tukang, nelayan, pengusaha kecil, ibu rumah tangga dan mayoritas pegawai rendahan yang kurang atau tidak memiliki akses informasi seperti academic society.
Pendidikan nonformal sebagai modes of learning, memberikan akses pendidikan dan belajar lebih luas kepada warga belajar. Oleh karena itu warga belajar berpeluang memiliki daya suai (adaptability), daya-lentur (flexibility), kapasitas inovatif dan “entrepreneurial attitudes and aptitudes”. Sehingga warga belajar tertantang mencari dan memperkuat “basic knowledge and competences, curiosity and motivations, critical and creative behaviors” untuk menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan dirinya lebih mapan “to know how to learn, how to be, and know how to become:
- Belajar berahlak mulia;
- Belajar untuk memahami;
- Belajar berbuat;
- Belajar hidup dalam kebersamaan; dan
- Belajar mewujudkan jati dirinya.
Pada sisi lain, warga belajar diarahkan untuk memiliki:
- kepribadian harmonis, seperti: “positive, self-image, and psychological stability”,
- kemampuan dasar, seperti mengetahui cara mengamati sesuatu, membaca secara efisien, dan kemampuan mengungkapkan pendapat,
- kemampuan kognitif, seperti kemampuan meneliti, menganalisis, mensintesis, mengambil keputusan secara kritis, dan mengevaluasi diri, serta
- kemampuan beradaptasi dengan situasi secara fleksibel, memikul fungsi dan tanggungjawab, semangat, kritis, kreatif, kemandirian, bekerja sama dengan berbagai pihak, memahami masalah, mampu berkomunikasi, berpartisipasi dalam masyarakat baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
Belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sebagai core pembuka akses bagi pendidikan nonformal adalah kunci memasuki abad baru bagi warga belajar. Dengan pendidikan nonformal warga belajar di dorong belajar menguasai kompetensi tertentu supaya dapat hidup dalam situasi yang berubah-ubah dan belajar untuk hidup lebih mandiri dan bertanggung jawab baik kepada diri pribadinya maupun kepada masyarakatnya. Di samping itu pula melalui pendidikan nonformal warga belajar mampu belajar untuk hidup bersama orang lain terutama dalam membangun rasa kebersamaan dan saling ketergantungan serta kemampuan dalam menganalisis resiko dan menganalisis tantangan masa depan dengan cara cerdas dan damai.
Perubahan teknologi baik teknologi informasi maupun teknologi komunikasi yang lebih luas memacu terjadinya pergeseran masyarakat dari masyarakat agraris, ke masyarakat industri dan terus ke masyarakat informasi. Oleh karena perubahanperubahan tersebut, warga belajar dituntut untuk belajar mengenal perubahan dan perkembangan itu serta sekaligus dapat membuka peluang terciptanya konsepsi belajar yang berdasar pada “learning how to learn, learning how to think, learning to be and to become and learning revolution”. Munculnya gagasan inovatif dan kritis tentang konsep-konsep tersebut memberi “perspectives dan horrizons” lebih luas kepada warga belajar untuk terus belajar sepanjang hayat.
Hakekat keilmuan dalam proses pembelajaran pendidikan nonformal adalah mempelajari proses pembentukan kepribadian manusia dan kegiatan belajar yang dirancang secara sadar dan sistematis dalam interaksi antara tutor/sumber belajar dan warga belajar. Kepribadian adalah kondisi dinamis yang merupakan keterpaduan antara pola berpikir, sikap, dan pola tingkah laku warga belajar dan sumber belajar.
Pembentukan kepribadian dapat mencakup proses transfer dan transformasi pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai aspek logika, etika dan estetika yang masing-masing mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam mengkaji objek tersebut di atas, pendidikan nonformal sebagai suatu ilmu menyusun batang tubuh pengetahuan teoritis berdasarkan epistimologi keilmuan secara logis, analisis, dan teruji dengan mengembangkan postulat, asumsi, prinsip, dan konsep yang berdasar pada ilmu pendidikan itu sendiri dengan dibantu oleh teori-teori keilmuan di luar bidang pendidikan. Teori pendidikan sebagai bahan acuan keilmuan pendidikan nonformal terutama bersumber dari filsafat, psikologi, sosiologi dan antropologi, serta menjelaskan realitas pendidikan (educational reality) dari
pengalaman pendidikan (educational experience) dan objektifitasnya (objectification) sebagai phenomenon bene fundamentation, yaitu dasar suatu teori. Jadi ilmu pendidikan nonformal tidak dapat dipahami dari pengalaman individual semata, melainkan harus melalui analisis anatominya yang sistematis. Seperti dikemukakan Trisnamansyah (1995:3); Ilmu pendidikan nonformal dapat diartikan sebagai ilmu yang secara sistemik mempelajari interaksi sosial-budaya antara warga belajar sebagai objek dengan sumber belajar dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan, dengan menekankan pada pembentukan kemandirian, dalam rangka belajar sepanjang hayat.
Konsep keilmuan pendidikan nonformal pada prinsipnya menunjukkan sifat reflektif studi aktivitas kemanusiaan yang terjadi di dalamnya. Subyeknya, yaitu manusia pengamat dan obyeknya yaitu manusia yang bertindak, oleh karenanya komponen utama ini tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Dengan demikian teori dan realitas dalam keilmuan pendidikan nonformal adalah suatu kesatuan yang satu sama lain saling mencampuri (interfere). Maka keilmuan pendidian luar sekolah adalah suatu kesatuan disiplin ilmu (multireferential discipline) yang membangun sistem teori yang bersifat khusus dengan memiliki ciri khas sebagai realita dari ilmu pendidikan itu sendiri sebagai acuan utamanya bagi pengembangan keilmuan pendidikan nonformal.
Dari bahasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan nonformal sebagai suatu ilmu memiliki fundamen dasar sebagai suatu multireferential discipline yang dibangun dari sistem teori yang khas dan memiliki kekhususan yang berkenaan dengan ciri khas realita dari pendidikan nonformal. Fundamen dasar yang dibangun pendidikan nonformal memiliki objek dan subjek, sehingga pendidikan nonformal disusun berdasarkan atas batang tubuh pengetahuan teoritis dengan argumen dasar epistimologi keilmuan secara logis, analisis, sistematis, dan teruji dengan pengembangan postulat, asumsi, prinsip, dan konsep pendidikan nonformal dengan tidak melewatkan bantuan dari teori-teori keilmuan di luar bidang pendidikan nonformal. Di luar itu pendidikan nonformal dalam konsep keilmuannya memiliki ciri khas di bandingkan dengan teori ilmu pendidikan formal. Karena batasan ilmu pendidikan nonformal memiliki cakupan yang sangat kaya dan luas.
Pendidikan nonformal selalu terkait dengan norma tertentu, fakta empiris pendidikan nonformal selalu sarat nilai dalam arti bahwa setiap fakta selalu ditafsirkan dengan mengacu pada norma tertentu serta dalam konteks tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu Sutaryat Trisnamansyah (1995:3) menyimpulkan bahwa:
- Interaksi sosial budaya antara warga belajar dan sumber belajar mengandung arti, proses pendidikan itu berlangsung secara sadar, dengan diwujudkan melalui media tertentu dan situasi lingkungan tertentu, dapat ditinjau dari aspek mikro dan aspek makro, sarat makna dan nilai serta terarah pada pengembangan kemandirian melalui proses belajar sepanjang hayat.
- Tujuan pendidikan nonformal yang ingin dicapai melalui interaksi tersebut terkandung makna pengembangan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Secara lebih khusus tujuan itu juga mencakup; Pelayanan terhadap warga belajar, pembinaan warga
belajar, dan memenuhi kebutuhan warga belajar dan masyarakat yang tidak terpenuhi melalui jalur formal (sekolah). (Sutaryat Trisnamansyah, 1995:4) Sebagai suatu ilmu pendidikan nonformal memiliki sifat ilmu yang berdasarkan pada otonomi disiplin ilmunya tersendiri. Karena pendidikan nonformal mampu memberikan argumen dasar struktur ilmu yang jelas baik struktur ilmu yang bersifat internal maupun eksternal. Dengan jelasnya struktur dan otonominya ilmu pendidikan
nonformal mampu mengkaji dan menghasilkan generalisasi-generalisasi, serta konsep, teori tentang belajar dalam rangka mewujudkan kemandirian, baik itu melalui magang (learning by doing) atau pemberdayaan (empowering process).
Hakekat keilmuan pendidikan nonformal, baik sebagai teori maupun sebagai pengembangan program, secara lebih jelas dapat dilihat dari berbagai definisi yang berhubungan dengan konsep keilmuan pendidikan nonformal, seperti diuraikan berikut ini. Ilmu pendidikan nonformal memiliki landasan filosofis. Landasan filosofis pendidikan nonformal merupakan dasar tempat berpijak, mengkaji dan menelaah kegiatan pendidikan nonformal. Kata filosofis, dari kata filsafat, berarti cenderung ke arah filsafat. Kemudian filsafat sendiri dapat diartikan sebagai suatu metode berfikir, cara memandang atau melihat sesuatu secara komprehensif. Sebagai suatu metode, filsafat merupakan cara berfikir menganalisis dan mengutak-atik pendidikan nonformal secara mendalam sehingga kehadiran pendidikan nonformal pada dunia pendidikan khususnya dan kehidupan manusia pada umumnya dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai suatu cara pandang, filsafat diharapkan dapat memberi suatu nilai dan pemikiran mengenai eksistensi, landasan dan pedoman pendidikan nonformal sehingga dapat memberi nilai tambah dan kontribusi terhadap individu atau masyarakat dalam menyikapi hidup dan kehidupannya. Landasan filosofis pendidikan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh landasan ideologi yang dianut oleh bangsa itu sendiri. Landasan filosofis Bangsa Indonesia berbeda dengan landasan filosofis pendidikan bangsa lainnya. Pancasila sebagai landasan idiologi bangsa, merupakan landasan pembangunan dan pengembangan pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Melalui program pembelajaran dalam pendidikan nonformal diharapkan dapat membantu warga belajar memilih dan mengembangkan wawasan keTuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakansanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial. (Sudjana, 1989:197).
Mengacu pada landasan idiologi bangsa, maka falsafah pendidikan yang dijadikan dasar atau landasan fundasional pendidikan nonformal, mempunyai sifat spekulatif, preskriptif, dan analitik. Sifat spekulatif ini muncul tatkala falsafah pendidikan menelusuri teori-teori yang berhubungan dengan hakekat manusia, masyarakat, dan dunia. Penelusuran teori-teori ini dilakukan melalui pengkajian hasilhasil penelitian dan berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku manusia (behavioral sciences). Sifat preskriptif timbul ketika falsafah pendidikan merinci tujuan-tujuan pendidikan yang harus dicapai dan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Sifat analitik muncul pada waktu falsafah pendidikan menguji dasar-dasar pikiran yang digunakan dalam rumusan tentang gagasan-gagasan pendidikan. Konsistensi antara gagasan pendidikan dengan gagasan-gagasan lain, dan metode-metode yang digunakan pengujian gagasan-gagasan itu sendiri. Sifat analitik diterapkan ketika menguji secara logis semua konsep yang berkaitan dan berkenaan
dengan kenyataan atau realitas yang dihadapi. Dengan demikian spekulatif, preskriptif, dan analitik saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Ada dua kategori yang perlu diperhatikan dalam menganalisis pokok-pokok utama filsafat pendidikan yang dipandang melandasi eksistensi dan pentingnya pendidikan nonformal sesuai dengan sifat tersebut di atas;
- filsafat sebagai suatu metoda dan filsafat sebagai suatu pandangan. Sebagai suatu metoda filsafat dapat ditelusuri dari cara berfikir dan cara menganalisis Pendidikan nonformal yang dapat dipertanggung-jawabkan.
- filsafat sebagai suatu pandangan memberikan suatu nilai serta pemikiran mengenai persepsi, landasan dan pedoman tingkah laku seseorang (individidu) atau masyarakat dalam seluruh kehidupan dan citacitanya.
Sebagai suatu metoda filsafat penting dalam menganalisis Pendidikan Nonformal:
1) Pendidikan nonformal dalam konteks pengembangan programnya seringkali berhubungan dengan pemecahan masalah yang dialami manusia, terutama masalah yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan, keterampilan dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan dalam konteks pendidikan persekolahan.
2) Dalam penyelenggaraan program pendidikan nonformal memiliki karakteristik sasaran didik tersendiri, yang secara filosofis karakteristik tersebut memiliki kesamaan dan perbedaan dengan sasaran didik pendidikan formal.
3) Mengembangkan satu bentuk program pendidikan nonformal diperlukan adanya
idealisme bagi tercapainya keberhasilan program tersebut.
4) Dalam pengembangan program pendidikan nonformal penelusuran minat, bakat
dan kebutuhan adalah merupakan daya dukung tersendiri bagi pencapaian tujuan
program secara utuh dan dapat diterapkan dalam kehidupannya (learning to be)
Mengacu pada keempat dasar analisis kajian tersebut di atas, beberapa ahli
memberikan gambaran bagi landasan fundasional pendidikan nonformal, seperti
Darkenwald, (1982), Sahakian (1972), Beder (1972), Craver (1981), Sudjana (1991),
Merriam, (1980). Pada intinya anggapan-anggapan para ahli tersebut mengisyaratkan
bahwa eksistensi dan pentingnya pendidikan nonformal secara fundasional memiliki
konsep dasar yang mengacu pada filsafat pendidikan, atau aliran filsafat lainnya.
Konsekwensi tersebut memberikan isyarat bahwa mengapa pendidikan nonformal
penting, karena konsekwensi filosofis pendidikan nonformal secara fundamental tidak
bertentangan dengan atribut yang diinginkan oleh aliran dan filsafat pendidikan.
Disamping itu pula pendidikan nonformal sebagai salah satu bentuk dari pendidikan
senantiasa memiliki sumber nilai yang didasarkan pada konsep-konsep yang berlaku
dan relevan bagi proses dan perkembangannya.
Pendidikan nonformal baik sebagai praktek maupun sebagai teori, akan dilakukan
atas dasar kerangka-kerangka kerja tertentu. Dengan kata lain kerangka-kerangka
tersebut bersumber dari filsafat. Salah satu pengujian filosofis pendidikan nonformal
adalah ditujukan pada hubungan antara filsafat yang mendasarinya dengan kegiatannya
(antara teori dan praktek) Sehingga kekuatan filosofis yang mendasari pendidikan
nonformal tergantung pada kemampuannya membuat warga belajar (individu,
masyarakat) dapat memahami dan mengekpresikan aktivitasnya sehari-sehari dengan
cara-cara yang lebih baik. Pengujian filosofis pendidikan nonformal perlu didasarkan
pada faktor-faktor berikut :
- Hakekat kehidupan yang baik menjadi tujuan pendidikan nonformal. Kehidupan yang baik itu menyangkut norma dan nilai-nilai kehidupan yang ideal yang harus dapat dicapai oleh manusia melalui pendidikan, khususnya pendidikan nonformal.
- Hakekat masyarakat itu sendiri sehubungan dengan pendidikan nonformal sebagai proses yang terjadi di tengah-tengah masyarakat luas di luar persekolahan. Masyarakat senantiasa berubah sesuai dengan ruang dan waktu.
- Hakekat manusia yang menjadi warga belajar pendidikan nonformal. Warga belajar sebagai mahluk individual, religius, sosial dan unik memiliki kesamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah individu memiliki potensi untuk berkembang, dan perkembangan itu akan mantap apabila melalui pendidikan, keterbatasan jangkauan pendidikan formal memberikan tendensi bagi berlakunya pendidikan nonformal untuk berkiprah di dalamnya secara lebih luas.
- Hakekat kebenaran yang menjadi kajian berbagai ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya pendidikan nonformal. Kebenaran itu berkaitan dengan kebenaran yang disepakati (agreement reality) dan kebenaran yang dialami (experiential reality).
Secara lebih khusus fiilsafat pendidikan nonformal dapat dikaji dari cabang filsafat ontologi, menyangkut objek materi keilmuan pendidikan nonformal itu, epistimologi bertalian cara pemerolehan dan pembelajaran keilmuan pendidikan nonformal dan aksiologi yang berhubungan dengan kegunaan keilmuan pendidikan nonformal bagi kehidupan warga belajar yang lebih luas. Cabang-cabang filsafat tersebut dikaji secara integratif sehingga memperoleh konsep yang jelas dan dapat dijadikan pedoman untuk menyusun kebijakan, menetapkan visi, misi serta menetapkan tujuan pendidikan nonformal yang lebih jelas.
1 komentar:
terimakasih dan salam hangat,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
Posting Komentar