Josef Bleicher (2007) membagi hermeneutika kedalam tiga bagian yaitu Teori Hermeneutika, Filsafat Hermeneutika, dan Hermeneutika Kritis. Tiga bagian tersebut memiliki kajian berbeda. Teori hermeneutika bertitik pada kajian untuk memahami apa yang dimaksud dengan konsep hermeneutika. Filsafat hermeneutika terfokus pada kajian dalam menemukan metode hermeneutika. Hermeneutika kritis mengkaji bagaimana menerapkan konsep hermeneutika kedalam tindakan praktis.
Meskipun terdapat perbedaan kajian, ketiga bidang hermeneutika tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun memiliki kesatuan historis. Hal ini dilihat dari pemikir- pemikir hermeneutika yang kajian hermeneutiknya tidak dibatasi oleh ruang pembagian tersebut. Misal, Hans Goerg Gadamer oleh Josef Bleicher ditempatkan pada bidang kajian filsafat hermeneutika. Meskipun demikian, Gadamer juga mengkaji hermeneutika pada bidang kritis dan mengkaji pemahaman epistimologis hermeneutika. Inilah yang dimaksud dengan kesatuan historis.
Kenapa Josef Bleicher menggolongkan Gadamer pada bidang filsafat hermeneutika? Satu alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut, Gadamer menghabiskan banyak waktu dalam membicarakan pertanyaan, metode apa yang tepat untuk melakukan pemaknaan (penafsiran) terhadap teks, dan bagimana menerapkan pemaknaan. Hal ini dapat dijumpai pada isi bukunya yang berjudul Truth and Method. Pertanyaan pertama terkait dengan filsafat, dan pertanyaan kedua terkait dengan ontologis hermeneutika. Dapat disimpulkan, hermeneutika Gadamer berada pada dua wilayah kajian yaitu filsafat dan praktis (ontologis) hermeneutika. Inilah yang melatar belakangi Agus Darmaji mengatakan pergeseran pemikiran Gadamer dari epistimologis ke ontologis. Pergeseran tersebut melalui fokus kajian Gadamer tentang bahasa. Berikut ini diuraikan khusus pemikiran Gadamer tentang Ontologis Hermeneutika. Uraian berikut penulis menjadikan Tesis Agus Darmaji tentang Pergeseran Hermeneutika Ontologis melalalui Bahasa dalam Pemikiran Hans Georg Gadamer sebagai rujukan utama.
Merujuk pada Buku Gadamer yang berjudul Truth and Metodh, Agus Darmaji menulis,
Bagi Gadamer, hermeneutik lebih bersifat ontologis ketimbangan epsitemologis. Ia mengawali dengan analisa hermeneutis pengalaman estetis. Analisis tersebut mendasari analisis hakikat pemahaman hermeneutik. Baginya, pemahaman selalu terikat dengan aspek historisitasnya dan tidak melakukan usaha pemahaman dari kesadaran kosong. Aspek kesejarahan dan unsur-unsur subjektik penafsir menjadi prasyarat usaha pemahaman (dalam abstraksi tesis Agus Darmaji,1999).
Dalam penjelasan ontologis hermeneutik, Gadamer menguraikannya dengan proposisi berikut ini:
1. Historikalitas.
Proposisi historikalitas adalah penyadaran bagi subjek (interpretator teks) dalam melakukan analisis (penafsiran teks) diharuskan untuk tidak terlepas dari kajian pengalaman- pengalaman (historis) yang berkatian dengan teks. Pemahaman Gadamer tentang sejarah tidak seperti pemahan orang pada umunya, yang menganggap sejarah adalah bagian dari teks ”mati” (teks mati adalah pemahan positivistik yang beranggapan sejarah itu mati dan tidak berkontribusi bagi masa kini atau masa depan). Bagi Gadamer, sejarah adalah objek dinamis yang perlu dikaji oleh subjek dalam menentukan objektivitas teks (objek).
2. Prasangka Historikalitas
Proposisi ini berangkat dari pemikiran Heidegger yang beranggapan dalam penafsiran sejarah, diusahakan subjek melakukan visualisasi dan imajinasi pemikiran.Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja prasangka subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan untuk melakukan prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam penafsiran sejarah, subjek tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus berangkat dari prasangka, ide dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak bisa menggiring sejarah pada posisi dinamisasi. Karena pada intinya, kerja hermeneutika adalah kerja dialogisasi. Oleh karean itu sejarah harus dibentuk sebagai objek dinamisasi melalui prasangka subjek. Prasangka subjek adalah pertanyaan awal atas objek. Ingat, pertanyaan atau prasabgka hanyalah proses bukan akhir.
3. Dialogisasi Hermeneutika
Propoisi ini menjadi hal yang penting dalam hermeneutika Gadamer dengan alasan, pertama,melalui dialogisasi subjek dan objek mampu menghindari pemahaman dogmatisasi atas kebenaran (menurut Gadamer, dogmatisasi adalah istilah haram dimliki oleh hermeneutikasian),kedua, dialog adalah prasyarat utama dalam membahasakan teks, ketiga, dialog adalah prsayat utama dalam menemukan titik tengah atas multitafsiran teks.
4. Linguistikalitas hermeneutik.
Bagi Gadamer, dalam hermeneutika bahasa menjadi kata kunci utama setelah dialogisasi. Bahasa dalam pandangan Gadamer tidak seperti yang dipahami oleh orang pada umumnya. Menurut Gadamer, bahasa adalah individu dan struktur sosial (tradisi, budaya, norma, dan nilai). Bahas berperan penting bagi pembentukan prilaku subjek maupun teks. Oleh karena itu memahami bahasa adalah memahami teks.
0 komentar:
Posting Komentar