Persoalan
ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem
commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik
commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya
mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada
persoalan tentang kausalitas.
Yang
ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik
ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada
beberapa pendirian :
a. Tidak
mungkin orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan
kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif
tidak mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena
dalil pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani
(seperti hukum pidana ini).
b. Yang
disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada
saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan
tidak memberi susu, yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan
ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan
“teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu
itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu.
c. Yang
disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori
ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal seorang penjaga wesel yang
menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut
ajaran ini yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori
inipun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan
jabatan dengan akibat yang timbul.
d. Seseorang
yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia
mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak
hanya yang nyata-nyata tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga dari
peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku
dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada
kewajiban berbuat atau tidak :
1) Ada
anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat
apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam
pembunuhan ?
Jawab
(Hof Amsterdam 23 Oktober 1883): tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat
tercela (laakbaar) dan tidak patut.
2) Seorang
penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat
dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan
berbuat sesuatu.
Kesimpulan
mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan
lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak
berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per
omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu
bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang
diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak
berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat
menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate,
mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan
kausal ini terletak dalam segi obyektif (yang menyangkut perbuatan) dari
keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan kesalahan
atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang
menyangkut orangnya.
0 komentar:
Posting Komentar