Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan di Indonesia baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung pada kepemimpinan para kepala daerah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan kepala-kepala daerah, terutama di Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-kepala daerah yang memerintah pada masa belakangan masih keturunan dari kepala daerah yang berkuasa pada masa sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari dari silsilahnya.
Berdasarkan laporan mengenai struktur pemerintahan desa yang disusun oleh DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan oleh suatu panitia di bawah pimpinan camat. Sebagai calon kepala desa atau pimpinan desa, maka realitanya dapat disimak pada kutipan di bawah ini.
Dalam praktiknya, para calon yang dipilih biasanya bukan orang–orang yang memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini disebabkan kebiasaan warga desa memilih seorang calon bukan berdasarkan kemampuan calon itu, melainkan berdasarkan banyaknya pemberian kepada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas di desa–desa yang makmur, sehingga pemilihan lurah menjadi suatu gelanggang pertikaian yang ramai sekali. Alasan utama dari konflik itu berpangkal pada tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan pada calon yang sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).
Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih tidak hanya didasarkan pada keturunan, namun juga pada pemberian yang biasanya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan kepada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan jika para calon kepala desa pada masa kampanye melakukan berbagai cara dalam rangka mendapatkan dukungan dari warga masyarakat yang telah memiliki hak pilih. Mereka bahkan tidak segan-segan untuk melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji manis kepada warga masyarakat agar mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini tidak dibenarkan baik oleh negara maupun agama. Namun demikian praktik semacam itu tetap berjalan dengan lancar dan seolah-olah tidak tersentuh oleh hukum.
Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan dalam masyarakat tradisional ataupun pedesaan dipengaruhi oleh kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan oleh Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik dan agama juga memiliki pengaruh yang penting dalam kepemimpinan di pedesaan.
Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yang terpilih harus mendapatkan legitimasi dari anggotanya atau warga masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dapat memiliki wewenang untuk memimpin secara resmi setelah mendapat legitimasi berdasarkan pada prosedur yang telah ditetapkan dalam adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja dapat berbeda baik antara masyarakat yang satu dan yang lain maupun dari waktu ke waktu.
Dalam masyarakat tradisional, misalnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau dewa-dewa. Pada zaman kerajaan, prosedur untuk melegitimasi kepemimpinan seseorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan oleh sebagian masyarakat. Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, dan mimpi juga merupakan unsur-unsur yang berperan penting baik dalam pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8).
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekuasaan dalam kepemimpinan, seseorang harus menempuh berbagai jalan (laku) yang panjang. Kekuasaan dapat juga diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman modern ini, kepemimpinan dapat pula diperoleh melalui pendidikan dan pemilihan berdasarkan keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan pada berbagai level tidak lagi didasarkan terutama pada keturunan, melainkan pada tingkat pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).
Calon pemimpin yang berhasil terpilih harus mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Masyarakat Indonesia, terutama yang berada di daerah pedesaan, masih mempercayai bahwa seorang pemimpin mempunyai wibawa, wewenang, kharisma, dan kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin di tingkat kota atau pedesaan, sebab mereka pada masa sekarang atau zaman demokrasi dipilih secara langsung oleh rakyat.
Model Kepemimpinan
Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan dan sikap hormat kepada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, bangsa, negara, dan agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa umumnya juga mengutamakan keselarasan dalam hidup bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hidup dan pola pikir yang demikian sudah barang tentu sangat mempengaruhi masyarakat Jawa dalam meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan dan kebudayaan. Apabila hal ini dihubungkan dengan masalah kepemimpinan, maka seorang pemimpin sedapat mungkin harus mampu memperlihatkan sikap hidup yang sederhana, jujur, adil, bertenggang rasa (tepa selira), hemat, disiplin, dan taat kepada hukum (Koentjaraningrat, 1981: 64).
Berbagai piwulang dan pitutur telah mengajarkan tentang sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan, misalnya, dinyatakan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tiga pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian pula dalam kakawin Ramayana dan Mahabarata, dinyatakan bahwa seorang pemimpin harus memperlihatkan sikap yang merujuk pada ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh sikap delapan dewa, di antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, dan Baruna Dewa Air yang antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak istilah tentang sifat-sifat pemimpin yang yang dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–sebagai pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, dan tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).
Model Islam dan Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yang mengagungkan multikulturalisme sebagai pandangan hidup, etika kedaifan identik dengan menghargai orang lain (liyan) atau menganggap diri sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan keberadaan orang lain dalam menjalani kehidupan bersama yang semakin berat. Kehidupan dalam etika kedaifan, menurut Goenawan Muhammad sebagaimana disitir oleh Triyanto Tiwikromo, sama halnya dengan tidak menganggap orang lain seperti yang dikatakan oleh Sartre yaitu sebagai neraka. Semangat multikulturalisme dan demokrasi menempatkan rakyat sebagai sahabat, kanca, untuk mencapai masyarakat yang aman dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin harus mempunyai kualitas spiritual, terbebas dari segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan realitas, tidak terjebak pada dan menjauhi kenikmatan dunia, dan harus memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini dapat dipahami sebagai cara menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin dapat dilihat dari bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyatnya.
Melihat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka tantangannya adalah bagaimana cara mengembangkan pluralisme dalam konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri dan khadimul ummah, artinya amanah jabatan dan kekuasaan harus digunakan sesuai dengan tuntutan Allah dan Rasul–Nya, berlaku adil, dan melindungi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, meskipun Islam adalah agama mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam mengakibatkan negara lebih banyak melayani kepentingan segelintir orang yang mengusai aparatur negara. Sementara mereka yang berusaha menyuarakan ide-ide demokrasi, pluralisme, dan perlindungan hak-hak asasi manusia cenderung dituding tidak memiliki nasionalisme.
Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), terdapat lima jaminan dasar dalam menampilkan universalisme Islam, baik pada perorangan atau kelompok. Kelima jaminan dasar yang dimaksud meliputi keselamatan fisik masyarakat dan tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan keselamatan profesi.
Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima jaminan dasar umat manusia akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam harus menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, dan heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai apabila terjadi keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir semua masyarakat termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karena itu, rahmatan lil alamin harus dibuktikan dalam wujud kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu pada modernisasi religiusitas, artinya harus berlandaskan pada keagamaan dan pembebasan masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia mutlak diperlukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam universalisme Islam terdapat beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian terhadap unsur-unsur utama kemanusiaan, dan perhatian dengan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan serta kemiskinan (Wahid, 1988).
Universalisme Islam juga berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yang demikian bukan berarti bahwa negara Islam maupun kepemimpinan Islam adalah yang ideal. Universalisme Islam dan pluralisme lebih tepat dipahami sebagai ruh dalam konteks membangun kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat tidak harus menjadi fondamen dan jiwa dari agama dan negara.
Perlu diperhatikan pula bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia dapat bermakna ganda, ibarat dua sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan modal sosial yang dapat menghasilkan energi positif dan memperkaya kultur bangsa, namun di sisi sebaliknya juga dapat menjadi energi negatif berupa ledakan destruktif yang setiap saat dapat menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yang krusial adalah bagaimana cara mengatasi dan mencari solusi atas perpecahan yang terjadi akibat keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan kebijakan politik yang demokratis dan egaliter termasuk di dalamnya pola-pola kepemimpinan. Apabila ditangani dengan baik, keanekaragaman itu justru merupakan aset dan kekayaan bangsa.
Oleh karenanya, penting dibangun hubungan intersubjektif yang mampu melahirkan keikhlasan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke dalam pelayaran kepentingan seluruh bangsa. Harus ada konsensus antarpemimpin dan ketundukan pada keputusan yang dirumuskan sang pemimpin. Untuk mencapai hal itu ada dua prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kejujuran sikap dan ucapan yang disertai dengan sikap mengalah untuk kepentingan bersama (Wahid, 2006).
Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri karena sifat seseorang berbeda satu sama lain. Kepribadian ikut mempengaruhi sifat dan perilaku kepemimpinan seseorang. Pemimpin harus senantiasa meningkatkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan mengembangkan potensi anak buah. Sebagai pedoman bagi pemimpin adalah “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan dari sudut pandang orang lain atau tenggang rasa.
Merujuk pada pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur dengan memperhatikan sejumlah hal berikut:
- Yakinkan bahwa dirinya seorang pemimpin,
- Banyak orang yang mencari bapak untuk minta dipimpin atau bertanya,
- Kembangkan dan terapkan ide-ide baru,
- Mainkan peranan aktif dalam kehidupan masyarakat,
- Tingkatkan kekuasaan dan hilangkan kelemahan,
- Tingkatkan program dan rencana tentang kepemimpinan,
- Belajarlah dari kesalahan terdahulu,
- Berorientasilah kepada hasil dan selesaikan sesuatu yang telah dimulai,
- Gunakan kekuatan sebagai pemimpin untuk membantu orang lain,
- Yakinkan orang lain tentang kemampuan,
- Dengarkan masukan, saran, dan nasihat atau kritik sekalipun, dan
- Lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.t.: 18-21).
0 komentar:
Posting Komentar