Hans Kelsen
menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan
tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak,
dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak
konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus
yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol
terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan
kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang mengontrol
tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak
konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan
jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas
undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam
kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak
konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.
George Jellinek pada
akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut
diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di
Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan
menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik
berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas,
mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft
atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri
di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The
Kelsenian Model”. Gagasan
ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu
Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima
dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah
Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara
prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the
Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the
supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian
baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan
juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review).
Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup
kemungkinan dilakukan pengujian a priori.
Walaupun demikian, keberadaan
lembaga Mahkamah konstitusi secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia
ketatanegaraan. Hingga saat ini baru terdapat 78 negara yang membentuk mahkamah
ini secara tersendiri. Negara-negara
ini pada umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian
menjadi negara demokrasi.
Di Indonesia,
Mahkamah Konstitusi merupakan produk dari perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24
ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman merupakan satu
kesatuan sistem yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang
mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 Agustus
2003. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kemudian diatur dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan
pada tanggal 13 Agustus 2003. Namun
lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri baru benar-benar terbentuk pada tanggal 17
Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah jabatan sembilan hakim konstitusi pada
tanggal 16 Agustus 2003.
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk; (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
(b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945; (c) memutus pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Selain itu
Mahkamah Konstitusi juga (e) wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Kewenangan pertama
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai judicial review. Namun
istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah constitutional
review atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep
constitutional review merupakan perkembangan gagasan modern tentang
sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule
of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta
perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights).
Dalam sistem constitutional review itu tercakup dua tugas pokok, yaitu
(a) menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau interplay
antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; dan (b) melindungi setiap individu warga negara dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental
mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Sedangkan kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan
kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip
supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya
tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan
pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat
mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar
lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini
menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan
budaya demokrasi. Pengaturan
kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the
constitutionalization of democratic politics”. Hal ini
semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan
demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische
reshtsstaat).
Kewenangan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).
Kewenangan ini dilaksanakan untuk menjaga ketentuan undang-undang agar
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan atau merugikan hak konstitusional warga
negara. Batu ujian yang digunakan tentu saja adalah UUD 1945 yang terdiri dari
Pembukaan dan Pasal-pasal. Yang dijadikan alat untuk menguji apakah suatu
ketentuan undang-undang melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar tidak hanya Pasal-Pasal, melainkan juga cita-cita dan prinsip
dasar yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, berbagai permasalahan baru yang mendasar
senantiasa muncul dalam proses penataan kehidupan bernegara terkait dengan
dasar negara Pancasila dan perkembangan dunia yang didominasi oleh ideologi
kapitalisme. Permasalahan tersebut diantaranya adalah; (a) hubungan ekonomi
dengan wilayah hukum dan politik; (b) kerangka institusional negara; (c) tujuan
dan peran pemerintahan; (d) akibat dan batasan intervensi negara dalam
masyarakat; dan (e) masalah kedaulatan negara berhadapan dengan perkembangan
hukum internasional.
Putusan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang
telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai permohonan pengujian
yang diajukan juga selalu melihat secara utuh UUD 1945. Dalam putusan-putusan
tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait dengan
pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi berdasarkan cita negara (staatside)dan
landasan filosofis (filosofische grondslag) bangsa Indonesia. Hingga
saat ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang
politik, ekonomi, dan sosial terkait
dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila
sebagai batu ujian atas permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
0 komentar:
Posting Komentar