Telah diuraikan
bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa. Pancasila
adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan
Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah
pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat
legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya
pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila
disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan
menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen
yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas
yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah
seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu
Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der
rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang
formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan
peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm
adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum
dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara.
Menurut Nawiasky,
norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm)
dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan
Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada
dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan
cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori
Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen
dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan
struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD
1945).
2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap
MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3) Formell
gesetz:
Undang-Undang.
4) Verordnung
en Autonome Satzung:
Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau
Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm
pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.
Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang
pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk
mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum
positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai Pancasila.
Namun, dengan
penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti
menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak
termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk
membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma
dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky,
serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas
validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai
validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa
konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya
mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh
individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi
terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan
hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah
konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi
dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi
inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma hukum
adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak
kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi
pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan,
dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir
jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas
validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum
oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara
tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan
dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia
dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen
tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara
presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?.
Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara
staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm
dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm
dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.
Pendapat Nawiasky
tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan
bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian
menjadi berbeda dengan norma hukum biasa. Selain itu,
Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara
keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau
revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh
tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya
presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang
lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan
materi yang sama dengan tata hukum lama.
Berdasarkan uraian
antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm
yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi
pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya
Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan
bagian dari konstitusi?
Pancasila lahir dan
dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato
Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische
grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya
akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan
istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar
atau lima asas.
Pidato yang
dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang
membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga
mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai
pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim
perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M.
Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis,
Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan
yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada
tanggal 10 Juli 1945. Dokumen
inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan
pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan
dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan
sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini
disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat
pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar
negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung,
maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang
selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische
grondslag dan Weltanschauung
bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain Pancasila,
telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu;
(1)
bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala
paham golongan dan paham perseorangan;
(2) bahwa Negara Indonesia hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3) bahwa Negara Indonesia
menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan
berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4) bahwa Negara Indonesia adalah negara
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Jika mencermati
Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan
filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang
Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan
adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang
panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa
Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia
akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual
kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya
sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat
menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak
dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita
bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara
Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar
negara.
Keseluruhan
Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup,
tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana
telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische
grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945
sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik,
Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm
di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamentalnorm maka Pembukaan UUD
1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm
Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam
bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD
1945.
Penjelasan UUD 1945
yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok
pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee)
yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang
Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan
pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga
menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi
kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya
memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan
UUD 1945.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan
dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain
dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah
negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Status
Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat
tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang
Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri
atas Pembukaan dan pasal-pasal.”
Jika Pembukaan UUD
1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat
memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms
yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi
dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal
UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi
validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya
Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya
tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar
keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas
pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking.
UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung)
yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18
Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan
UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma
abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma
hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip
dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian
dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk
Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata
hukum Indonesia.
Jika Pancasila bukan
merupakan staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar
keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas
UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku
pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ
hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang
menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu
tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah
diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking)
sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia.
Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum
Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai
sebuah sistem.
0 komentar:
Posting Komentar