Kurikulum
memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam
pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa
kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang
telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak
memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas
memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara
administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan
kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik,
pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa
setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa
kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi
dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum
merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap
lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang
ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa
yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat
memberikan "academic accountability" dan "legal
accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin
mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan
oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum.
Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman
belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan
tersebut.
Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah
jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah
didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah
kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum.
Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah
didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas,
di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan
kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan
sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang
dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan
sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas
apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu
lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi
peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi
diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme.
Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam
kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah
social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan
sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan
masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak
dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan
rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus
dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah
kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat
memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya
pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan
kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama
adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer
apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk
dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan
pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi
pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk
menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi
ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan
filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun
kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai
rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan
kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam
tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan
pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar
pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar.
Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan
nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh
bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh
setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi,
tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang
dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi
kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs)
atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan
yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam
pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas.
Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs
baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang
kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36
ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:
- peningkatan
iman dan takwa;
- peningkatan
akhlak mulia;
- peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
- keragaman
potensi daerah dan lingkungan;
- tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
- tuntutan
dunia kerja;
- perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
- agama;
- dinamika
perkembangan global; dan
- persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek
pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan
pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya,
seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah
memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini
dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada
setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam
bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan
bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system
pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti
sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat
kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap
senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan
fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat
diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan
pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya
pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran
perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah
kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan
pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks
lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri
pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan
mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa
Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang
"penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para
pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab
keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab
sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya
penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes
seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di
masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak
menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi
kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena
kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan
dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam
mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum
merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan
masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan
bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif
untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga
ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk
generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan
potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa
mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia
Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas
minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3)
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi
kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus
mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah
mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan
tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni,
inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin,
kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan
sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk
memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa
yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki
peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas
kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi
dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan
menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu
memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum
SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau
ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan
kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian
psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek
kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada
pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan
kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang
diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia
kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi
tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan
yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas
kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat
aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum
pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba
memberikan perhatian kepada aspek ini.
0 komentar:
Posting Komentar