Proses
pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying
desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes,
and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to
serve. Unruh dan Unruh (1984)
Kurikulum memang
harus dibuat. Disusun
dengan proses tertentu. Negara yang memiliki UU tentang Sistem Pendidikan
Nasional mempunyai kepentingan untuk menyusun kurikulum tersebut berdasarkan
amanat yang ada di dalam undang-undang tersebut.
Untuk menyusun kurikulum nasional, sudah
barang tentu ada lembaga tertentu yang telah diberikan tugas dan tanggung jawab
untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum yang akan digunakan secara
nasional. Di Indonesia, lembaga itu dikenal sebagai Pusat Kurikulum, yang
berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional
(Balitbang Diknas). Di negara lain tentu saja ada lembaga seperti itu. Ada beberapa
pemangku kepentingan yang menurut David G. Amstrong biasanya dilibatkan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu:
1.
Curriculum specialist (spesialis kurikulum, ahli
kurikulum);
2.
Teacher/instructors (guru/instruktur);
3.
Learners (peserta didik);
4.
Principals/corporate unit supervisors (kepala
sekolah/unit pengawas sekolah);
5.
Central office administrators/corporeate administrators (administrator kantor pusat/administrator perusahaan;
6.
Special experts (ahli special);
7.
Lay public representatives (perwakilan
masyarakat umum).
Yang dimaksud pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan
penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi
bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Definisi yang dikemukakan
terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan
(kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang
menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya
perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan
bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga
tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang
benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga
berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik
pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli
kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun
pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang
teoritik dan tujuan yang berbeda.
Unruh dan Unruh
(1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process
of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for
instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and
personal needs that the curriculum is to serve.
Berbagai faktor
seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam
proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain
mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih
lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. curriculum responds
to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological
principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in
history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum
fokus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut
kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan
dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih
banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang
dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang
harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan
sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas
pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat
atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum.
Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model
yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri
dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dapat digambarkan
sebagai berikut:
Sumber: Prof.Dr.H.Said
Hamid Hasan , MA
Dalam proses
pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu
lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi
kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan
utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks
social-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan
Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal
dan internal:
The environment of the curriculum is external
insofar as the social order in general establishes the milieu within which the
schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our
mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum
should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions
about what the schools should be doing. The internal environment is a
multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our
educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets
about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing,
current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan
kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses
pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat.
Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu
komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas
yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh
kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai
dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur
dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Sumber: Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA
0 komentar:
Posting Komentar